Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional melalui lima satelit yang ada mendeteksi 1. 973 titik panas dalam lima bulan terakhir. Jumlah titik panas terbanyak ditemukan pada Juli 2020, mencapai 855 titik panas.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional melalui lima satelit yang ada mendeteksi 1. 973 titik panas dalam kurun waktu empat bulan dan 22 hari terakhir. Jumlah titik panas terbanyak ditemukan selama Juli 2020, yakni 855 titik panas. Titik panas itu terjadi dipicu hari tanpa hujan lebih dari 60 hari berturut-turut. Kebakaran berdampak buruk terhadap kekeringan dan gagal panen.
Kepala Stasiun Metereologi Kelas II El Tari, Kupang, Agung Sudiono Abadi di Kupang, Nusa Tenggara Timur, Jumat (23/10/2020), mengatakan, saat ini di sebagian wilayah NTT sudah terjadi hujan ringan dan sedang, seperti Flores bagian barat. Akan tetapi, di tempat lain, seperti Pulau Timor, Sumba, dan sebagian wilayah Pulau Flores, masih terjadi kekeringan ekstrem dengan jumlah hari tanpa hujan lebih dari 60 hari berturut-turut.
Dijelaskan, dalam empat bulan dan 22 hari terakhir, yakni Juni sampai dengan 22 Oktober 2020, tercatat 1.973 titik panas. Pada Juni terdapat 31 titik, Juli 855 titik, Agustus 370 titik, September 412 titik, dan tanggal 1-22 Oktober 2020 sebanyak 305 titik.
”Meski saat ini sedang terjadi hujan ringan di beberapa titik di Pulau Timor dan Sumba secara sporadis, ini berlangsung beberapa menit saja. Seusai hujan terjadi panas terik dan angin kencang sehingga memicu terjadi hotspot,” kata Sudiono.
Jumlah 1.973 titik panas itu dipantau oleh satelit Terra, Aqua, Suomi, NPP, dan NOA A20 yang dioperasikan dan diakses oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).
Kekeringan identik dengan gagal panen. Itu sama dengan rawan pangan dan ancaman lanjutan, yakni gizi buruk dan stunting serta ancaman berbagai penyakit karena daya tahan tubuh rendah.
Pemantauan dilakukan setiap hari, mulai dari pukul 05.00 Wita sampai dengan satu hari berikutnya, pada pukul 07.00 Wita. Dalam tenggat itu, selama 4 bulan dan 22 hari, jumlah titik panas terbanyak terjadi pada 28 Agustus pukul 05.00 Wita sampai dengan 29 Agustus pukul 07.00 Wita, yakni 79 titik panas.
Wilayah yang paling sering terjadi titik panas adalah Kabupaten Kupang, hampir merata di 24 kecamatan dan 177 desa/kelurahan. Namun, titik panas yang terpantau Lapan itu bukan kebakaran hutan. Satelit hanya menangkap adanya titik panas, tidak berarti kebakaran hutan. Namun, hasil pantauan satelit itu 80 persen benar, sesuai fakta.
Menurut Agung, titik panas merupakan suatu area di mana suhu udara lebih tinggi dibandingkan dengan suhu di tempat lain di wilayah itu yang dapat ditangkap satelit. Secara kualitas, jumlah titik panas yang banyak dan menggerombol memang menunjukkan kejadian kebakaran hutan dan lahan di suatu wilayah.
Hingga saat ini, titik panas yang dideteksi satelit masih menjadi data yang paling efektif dalam memantau kebakaran hutan dan lahan untuk suatu wilayah yang luas.
Satu titik panas memiliki luas wilayah sekitar 1 kilometer persegi atau setara dengan 100 hektar (ha). Jika ada 1.973 titik panas, kemungkinan telah terjadi kebakaran seluas 197.300 ha, tetapi ini perlu dipastikan langsung di lapangan.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumba Umbu Manurara mengatakan, kebakaran saat ini ibarat berpacu dengan kedatangan musim hujan atau musim tanam, awal Desember 2020. Sistem perladangan berpindah menjadi penyebab kebakaran hutan di sejumlah wilayah di NTT.
Menurut Umbu, di daerah yang sudah terjadi hujan tidak lagi terjadi kebakaran, tetapi di wilayah yang belum ada hujan, kebakaran terjadi hampir setiap hari secara bergilir di setiap desa. Ada dugaan masyarakat kejar waktu musim tanam ini. ”Setiap tahun, persiapan lahan hanya dengan sistem tebas, bakar, dan tanam. Musim tanam tahun berikut, lahan yang ada ditinggalkan dan dibuka lahan baru dengan cara yang sama,” katanya.
Pemicu kebakaran hutan di NTT ada tiga faktor, yakni sistem perladangan berpindah, menumbuhkan pakan ternak dari rumput baru, dan sikap iseng masyarakat membuang puntung rokok di jalan. Sepanjang musim kemarau, yakni Juni-November, kebakaran itu sulit dibendung.
Koordinator AMAN Bali-Nusa Tenggara Aleta Baun mengatakan, saatnya semua pihak berusaha memberi pemahaman kepada masyarakat mengenai pentingnya fungsi hutan. Jika kebakaran hutan terus terjadi, wilayah NTT umumnya serta daratan Timor dan Sumba khususnya paling berdampak, terutama kekeringan dan gagal panen.
Ia mengatakan, ketersediaan air baku masyarakat setiap tahun terus berkurang karena terjadi kekeringan sumber-sumber air permukaan. Sebagian masyarakat memanfaatkan sumur bor, tetapi itu pun tidak mengatasi masalah kekeringan karena sejumlah sumur bor pun mengalami kekeringan pada puncak kemarau.
Sejumlah bendungan yang dibangun pemerintah di daratan Pulau Timor saat ini mengalami kekeringan. Itu pertanda bahaya bagi pulau ini. Pemerintah tidak boleh diam dan menunggu nasib pada alam, iklim, dan cuaca. Akan tetapi, harus ada aksi konkret bagaimana mengatasi masalah kekeringan ini.
”Kekeringan identik dengan gagal panen. Itu sama dengan rawan pangan dan ancaman lanjutan, yakni gizi buruk dan stunting (tengkes) serta ancaman berbagai penyakit karena daya tahan tubuh rendah,” kata Aleta.
Memasuki musim hujan 2020/2021, harus ada aksi luar biasa untuk mengembalikan hutan yang rusak karena dibakar, ditebang, dan dihancurkan untuk proyek pembangunan fisik. Semua kelompok masyarakat harus terlibat melakukan penghijauan lingkungan, dimulai dari pekarangan rumah, lorong-lorong, ruang publik, dan merambat ke hutan-hutan sekitar permukiman warga.
Kegiatan menanam pohon tidak perlu menargetkan tumbuh 100 persen, tetapi 20-30 persen saja sudah cukup. Kegiatan itu juga untuk mengingatkan dan memberi efek jera kepada masyarakat untuk berhenti membakar lahan.