Transformasi Desa
Tujuan akhir transformasi desa adalah perbaikan tingkat kesejahteraan warga desa dalam pemenuhan hak-hak dasar (kesejahteraan rakyat). Keterlibatan golongan muda desa faktor penting perwujudan transformasi desa.
Dua tahun lagi, tepatnya 2024, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa berumur satu dekade. Waktu yang tepat untuk melakukan evaluasi tentang kontribusi Undang-Undang Desa terhadap kemajuan desa.
Banyak pihak mengungkapkan bahwa UU Desa sangat membantu dan membuka ruang terjadinya perubahan desa ke arah yang lebih baik sehingga tujuan pembangunan menyejahterakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa dapat tercapai.
Pendekatan ”desa membangun” yang berangkat dari partisipasi warga desa menjadi warna baru dalam pembangunan di perdesaan. Namun, tidak sedikit pula pihak mempertanyakan sejauh mana kemajuan yang diperoleh desa dengan kehadiran UU Desa ini, termasuk kontribusi desa terhadap penyelesaian isu-isu strategis nasional, seperti kemiskinan, kelaparan, pengangguran, akses pendidikan, dan pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19.
Polemik ini menjadi berkepanjangan karena tidak adanya pijakan yang bisa menjadi pegangan bersama (pusat, daerah, dan desa) untuk mencermati situasi-kondisi (sikon) perubahan desa. Alhasil, kemajuan desa terkait kontribusi terhadap isu-isu strategis nasional tidak mampu terjawab dengan baik meski standar normatif kemajuan desa banyak kita baca dari berbagai laporan pemerintah dan kita dengarkan dari pemberitaan media.
Dalam konteks inilah dibutuhkan apa yang disebut transformasi desa.
Transformasi mensyaratkan pijakan yang sama dalam melihat desa.
Data presisi sebagai pijakan
Transformasi desa adalah ikhtiar melakukan proses perubahan (pembangunan) yang sistematis dan komprehensif untuk menjadikan sikon desa dan masyarakat lebih baik, lebih maju, dan sejahtera. Transformasi mensyaratkan pijakan yang sama dalam melihat desa. Pijakan yang berbeda dalam melihat sikon desa berdampak terhadap terjadinya polemik yang berujung pada pembangunan semu dan penolakan dari pemangku kepentingan pembangunan desa.
Sikon ini dapat kita cermati beberapa bulan terakhir, di mana Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) melakukan penolakan terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 104 Tahun 2021 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2022. Penolakan ini sangat wajar karena kedua institusi pemerintah (pusat-desa) tidak memiliki pijakan yang sama untuk melakukan evaluasi dan menentukan arah serta agenda transformasi desa.
Pada satu sisi, pemerintah menganggap bahwa pengalokasian dana desa yang diatur dengan Perpres Nomor 104 Tahun 2021 sudah merepresentasikan permasalahan di desa. Sebaliknya di sisi lain, Apdesi beranggapan bahwa pengalokasian dana desa tersebut tidak sesuai dan tidak akomodatif terhadap keputusan musyawarah perencanaan pembangunan desa (musrenbangdes) yang telah dilaksanakan desa.
Baca juga:Urgensi Penguatan Institusi Ekonomi Pedesaan
Padahal, UU No 6/2014 tentang Desa memberikan hak rekognisi dan subsidaritas kepada desa. Dalam konteks mengakhiri polemik yang berujung pada penolakan tersebut, maka dibutuhkan data desa presisi (DDP) sebagai pijakan. DDP adalah data yang memiliki tingkat akurasi dan ketepatan tinggi untuk memberikan gambaran kondisi aktual desa yang sesungguhnya.
Data ini diambil, divalidasi, dan diverifikasi oleh warga desa dibantu pihak luar desa, seperti perguruan tinggi, organisasi masyarakat sipil, dan lainnya dengan biaya yang murah (Sjaf dkk, 2019). Sebagai pijakan, DDP dapat mengarahkan dan mengorientasikan terjadinya transformasi desa.
Pengalaman penulis dan para peneliti IPB University dalam mengimplementasikan DDP di 6 pulau, 7 provinsi, 10 kabupaten, dan 33 desa menunjukkan, pola nafkah ekonomi di perdesaan adalah pertanian dan pesisir. Ini senada dengan Sjaf (2019) yang menyebutkan, 73,14 persen dari total desa/kelurahan bertipologi pertanian dan 15,11 persen dari total desa/kelurahan bertipologi pesisir.
Dari desa/kelurahan yang berhasil di-DDP-kan saat pandemi Covid-19 dua tahun terakhir, angka rasio gini (ketimpangan) berada di bawah 0,4 (ketimpangan rendah), tetapi angka persentase kemiskinan dan pengangguran di perdesaan cukup tinggi, yakni 15,07-20,07 persen keluarga miskin dan 6,12-13,25 persen keluarga pengangguran.
Peringatan atas angka kemiskinan dan pengangguran tersebut menambah kerisauan dengan cukup besarnya angka persentase penduduk yang hanya menyelesaikan pendidikan sekolah dasar (SD)/sederajat dan sekolah menengah pertama (SMP)/sederajat, yaitu 34,94 persen, dibandingkan penduduk yang menyelesaikan sekolah menengah atas (SMA)/sederajat 26,03 persen. Apalagi warga desa yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi hanya 11,78 persen.
Meski demikian, informasi menggembirakan datang dari golongan muda desa (16-30 tahun) yang jumlahnya 23,61 persen dari total penduduk. Sebanyak 50,73 persen di antara mereka sudah menyelesaikan SMA/sederajat dan 12,80 persen menyelesaikan pendidikan tinggi (PT). Hanya 19,13 persen yang menyelesaikan SMP/sederajat dan 6,67 persen menyelesaikan SD/sederajat.
Dalam kondisi pandemi Covid-19, sebanyak 37,26 persen golongan muda desa ini sudah memiliki pekerjaan dan hanya 29,95 persen belum atau tidak memiliki pekerjaan. Dengan demikian, tesis kemiskinan ekstrem dari golongan muda di negara-negara Asia Tenggara perlahan-lahan memperoleh bantahan.
Satu dekade UU Desa adalah momentum tepat melakukan transformasi desa.
Agenda transformasi desa
Satu dekade UU Desa adalah momentum tepat melakukan transformasi desa. Oleh karena itu, terdapat dua hal yang perlu dipertimbangkan. Pertama, era disrupsi yang ditandai dengan digitalisasi, kebangkitan ekonomi pasca-Covid-19, dan perubahan iklim. Kedua, pola nafkah ekonomi warga di perdesaan yang sebagian besar bergantung pada sektor pertanian dan perikanan.
Kedua pertimbangan menjadi perspektif dalam penyusunan strategi, agenda aksi, dan tujuan transformasi desa. Untuk strategi transformasi desa, terdapat tujuh langkah yang perlu dilakukan: (1) membangun sistem nilai dan sikap; (2) memperbaiki literasi dan keterampilan; (3) mengembangkan sistem produksi yang terkoneksi satu sama lain, saling menguntungkan, memajukan, dan memberdayakan.
Selain itu, (4) membangun ekosistem kelembagaan yang dapat dipertanggungjawabkan; (5) menjembatani terbangunnya faktor pendukung, seperti: peraturan yang berpihak, inovasi untuk warga desa, dan lain-lain; (6) membangun ekosistem usaha. Ekosistem usaha penting untuk memberikan gambaran tentang keterkaitan pemangku kepentingan yang terlibat, komoditas bisnis yang diusahakan dan lain-lain. Dan, (7) membangun kualitas serta daya saing sumber daya manusia (SDM).
Baca juga: Refleksi Kedesaan Kita
Kemudian untuk aksi transformasi desa, terdapat empat agenda utama: (1) transformasi sistem produksi dan bisnis perdesaan. Agenda ini menitikberatkan pada perubahan pola produksi dan bisnis dari individual menjadi kolektif atau berjemaah; (2) transformasi sistem rantai nilai dan rantai pasok. Agenda ini memfokuskan pada industrialisasi perdesaan berbasis desa dan kawasan perdesaan yang mengubah pola subsisten ke bisnis pertanian.
Kemudian; (3) transformasi sistem informasi, pemasaran, dan transaksi. Penekanan pada agenda transformasi ini adalah optimalisasi digital platform yang mengubah pendekatan konvensional ke pendekatan desa cerdas; serta (4) transformasi sistem kemitraan, pembiayaan, dan jejaring usaha secara partisipatif. Agenda transformasi ini adalah mendorong keterlibatan bersama pemerintah, swasta, akademisi, dan warga desa.
Selanjutnya, tujuan akhir transformasi desa adalah perbaikan tingkat kesejahteraan warga desa dalam pemenuhan hak-hak dasar (kesejahteraan rakyat), meliputi sandang-pangan-papan; pendidikan dan kebudayaan; kesehatan, pekerjaan, dan jaminan sosial; kehidupan sosial, perlindungan hukum dan HAM; infrastruktur dan lingkungan hidup.
Kehadiran golongan muda desa merupakan faktor penting perwujudan transformasi desa yang dimulai dari pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan per desa.
Untuk mencapai tujuan ini, penting melakukan lima perbaikan mendasar, yaitu perbaikan kualifikasi SDM dan sumber daya sosial; perbaikan rantai nilai dan rantai pasok produksi; perbaikan kapabilitas dan kapasitas produktif; perbaikan penghasilan/pendapatan; serta perbaikan akses dan daya beli warga.
Dengan demikian, pencapaian strategi, agenda aksi, dan tujuan transformasi desa membutuhkan pembuktian agar menjadi gerakan kolektif. Kehadiran golongan muda desa merupakan faktor penting perwujudan transformasi desa yang dimulai dari pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan per desa.
Dalam hal ini, DDP berhasil menunjukkan bahwa potensi perputaran uang di desa untuk memenuhi kebutuhan pangan mencapai rata-rata Rp 1,5 miliar per bulan. Artinya, jika pasar domestik ini potensial untuk dipenuhi melalui pengelolaan sumber daya pangan di perdesaan, mengapa harus melakukan impor pangan? Di sinilah arti penting kebangkitan ekonomi pasca-Covid-19!
Sofyan Sjaf, Sosiolog Perdesaan IPB University