Anomali Cuaca Perburuk Musim Hujan
Anomali cuaca La Nina dan aliran udara sepanjang khatulistiwa yang membawa siklus basah (MJO) membuat risiko bencana hidrometeorologi di musim hujan tahun ini meningkat.
Sebagian besar wilayah Indonesia mulai memasuki musim hujan pada Oktober 2020. Ancaman bencana hidrometeorologi banjir dan tanah longsor makin mengancam seiring munculnya anomali cuaca di skala regional. Semua daerah harus mengantisipasi besarnya kerugian karena bencana.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat, setidaknya 34,8 persen wilayah Indonesia telah beralih ke periode basah mulai Oktober 2020. Periode basah ini akan diwarnai turunnya hujan dengan puncak musim hujan diperkirakan terjadi pada Januari-Februari 2020.
Fase perubahan musim dari kemarau ke hujan adalah hal normal bagi negara-negara di wilayah ekuator. Namun, kondisi berbeda muncul tahun ini saat hasil pemantauan BMKG hingga akhir September 2020 menunjukkan anomali iklim global di Samudra Pasifik Ekuator.
Suhu permukaan laut di wilayah tersebut dalam kondisi dingin selama periode Agustus-September 2020. Saat pemantauan, suhu menunjukkan angka minus 0,6 derajat celsius dan minus 0,9 derajat celsius. Catatan suhu tersebut telah melewati angka minus 0,5 derajat celsius sehingga dikategorikan fenomena La Nina.
Pantauan BMKG beserta pusat layanan iklim lain, seperti NOAA di Amerika Serikat, BoM di Australia, dan JMA di Jepang, memperkirakan La Nina dapat berkembang hingga mencapai intensitas moderate pada akhir 2020. La Nina akan menyeluruh pada Januari-Februari dan berakhir sekitar Maret-April 2021.
Anomali La Nina harus diwaspadai sebab mampu meningkatkan jumlah curah hujan bulanan hingga 40 persen. Secara spasial, dampaknya cukup beragam di wilayah Indonesia. Curah hujan akan meningkat di hampir seluruh wilayah, kecuali Sumatera, pada Oktober-November 2020. Sementara pada Desember 2020-Februari 2021 berpindah ke Kalimantan bagian timur hingga Papua.
Fase awal La Nina yang sedang terjadi mulai menunjukkan peningkatan intensitas hujan. Kondisi saat ini ternyata diperparah dengan munculnya penjalaran kolom udara besar di atmosfer dari arah barat ke timur di wilayah ekuator, atau dikenal dengan Madden Juliaan Oscillation (MJO).
Hasil pengamatan kondisi dinamika atmosfer menunjukkan adanya aktivitas MJO di atas wilayah Indonesia. Aktivitas tersebut ditunjukkan melalui banyaknya kluster atau kumpulan awan berpotensi hujan. Kombinasi La Nina dan MJO tentu berkontribusi signifikan terhadap pembentukan awan hujan.
Munculnya MJO di awal fase La Nina membuat setidaknya 85 persen wilayah Indonesia mengalami hujan dengan intensitas lebat disertai petir dan angin kencang hingga minggu ketiga Oktober 2020. Secara global, MJO dikenal sebagai fenomena alam yang mampu mengubah variabilitas cuaca karena merupakan gabungan antara sistem perairan laut dan atmosfer.
Banjir dan longsor
Prediksi La Nina yang berlangsung hingga awal tahun depan perlu disikapi dengan tepat. Sebelumnya, anomali cuaca tersebut pernah terjadi pada Oktober 2017-April 2018 dan Agustus-Desember 2016. Fenomena La Nina dengan intensitas kuat pernah terjadi pada tahun 2008 dan 2010 silam.
Hujan yang turun dengan intensitas tinggi akan mengakibatkan banjir dan merendam area persawahan serta permukiman warga. Kerugian yang disebabkan dapat berjumlah sangat besar, termasuk ancaman gagal panen.
Sebagai antisipasi bencana pada musim hujan tahun ini, pemerintah menglokasikan dana penanggulangan banjir sebesar Rp 4,5 triliun. Dana tersebut digunakan untuk normalisasi sungai, pemeliharaan sungai, perkuatan drainase, perkuatan tebing sungai, pembangunan kolam retensi, dan perencanaan teknis lainnya.
Berdasarkan data BNPB, setidaknya ada 834 kejadian banjir selama tahun 2020. Hasil penilaian risiko banjir, luas lahan berisiko mencapai hampir 20 juta hektar dengan jumlah orang terpapar sebanyak lebih dari 100 juta jiwa.
Selain banjir, ancaman tanah longsor tentu meningkat selama musim hujan. Pengelolaan penggunaan lahan sering tidak sesuai dengan daya dukung lahan sehingga kondisi lahan terdegradasi dan menyebabkan longsor.
Hasil kajian risiko bencana tanah longsor di Indonesia oleh BNPB menunjukkan ada sekitar 57 juta hektar lahan yang berisiko sedang-tinggi. Total penduduk yang terpapar pun mencapai sedikitnya 14 juta jiwa. Sementara kerugian ekonomi diperkirakan triliunan rupiah.
Tingginya peningkatan curah hujan akibat La Nina tentu meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi, seperti banjir dan tanah longsor. Semua wilayah perlu bersiap, salah satunya dengan melakukan evaluasi dan pengawasan tata kelola sumber daya air, mulai dari hulu hingga hilir.
Antisipasi secara teknis dapat dilakukan dengan penyiapan kapasitas sungai dan kanal apabila debit air naik drastis. Ancaman lain yang tidak kalah penting adalah terjadinya banjir bandang di sejumlah wilayah di Indonesia karena kerusakan wilayah tadah hujannya.
Antisipasi anomali
Antisipasi kejadian bencana perlu dilakukan di seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan catatan BNPB, hingga pertengahan Oktober 2020 ada 2.307 kejadian bencana, di mana lebih dari separuhnya termasuk bencana hidrometeorologi banjir dan tanah longsor. Wilayah terbanyak terkonsentrasi di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Mengingat tingginya angka kejadian bencana, BNPB telah merumuskan beberapa kebijakan strategis. Pertama, mempercepat pembangunan sistem peringatan dini nasional untuk bencana lama. Kedua, meningkatkan kapasitas masyarakat serta membangun sistem logistik kebencanaan nasional.
Ketiga, meningkatkan riset risiko bencana seiring kesiapan sumber daya manusia menghadapi keadaan darurat bencana. Terakhir, merumuskan kajian percepatan pemulihan pascabencana. Semua kebijakan tersebut dijalankan berbasis kolaborasi hingga ke level daerah dan individu.
Selain sisi kebijakan, antisipasi kejadian bencana juga dapat dilakukan secara teknis, yaitu pengadaan alat dan sistem pantau yang relevan dengan tingkat akurasi tinggi. Semakin kecil kesalahan yang muncul dari pemodelan dan pemantauan, maka mampu menekan besarnya dampak yang akan ditimbulkan.
Pemutakhiran peralatan pengamatan atmosfer dan suhu permukaan laut juga perlu dilakukan sebab posisi Indonesia termasuk wilayah prioritas iklim global. Setidaknya ada tiga kawasan penting di dunia yang ditetapkan oleh World Meteorological Organization (WMO) sebagai lokasi terjadi perubahan iklim global, yaitu Indonesia, Brasil, dan Kongo.
Dari tiga wilayah tersebut, Indonesia menjadi wilayah yang mendapatkan perhatian terbanyak karena memiliki perairan yang luas dan kawasan kepulauan. Kondisi tersebut menyebabkan penyimpangan kolom udara bersuhu hangat sehingga meningkatkan pembentukan banyak awan, termasuk kumulonimbus, awan hujan.
Anomali cuaca La Nina dan aliran udara sepanjang khatulistiwa yang membawa siklus basah (MJO) tentu membuat risiko bencana hidrometeorologi meningkat. Kesadaran terhadap kondisi ekstrem tersebut perlu dimiliki oleh setiap individu, khususnya di wilayah berisiko terpapar bencana. Sinergi pemerintah dan masyarakat menentukan keberhasilan penanganan situasi darurat hingga April 2021. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mewaspadai Siklon Tropis Dekat Indonesia