Persepsi bahwa diri tidak cukup baik ada kalanya membuat kita memiliki opini rendah tentang diri sendiri meskipun ada bukti yang bertentangan. Ada bagian dari diri yang merasa tidak pantas mendapatkan hal-hal baik itu.
Oleh
Agustine Dwiputri
·5 menit baca
Beberapa klien yang datang berkonsultasi merasa dirinya tidak baik. Ini membuat mereka ragu, kurang percaya diri, dan berdampak tak mampu mengatasi masalahnya. Apa yang sebenarnya terjadi?
Citra diri atau identitas seseorang adalah persepsi tentang diri sendiri yang acap kali tidak disadari oleh yang bersangkutan karena sifatnya sangat samar atau abstrak (Chaplin, 2006). Persepsi bahwa diri tidak cukup baik ada kalanya membuat kita memiliki opini rendah tentang diri sendiri meskipun ada bukti yang bertentangan. Ada bagian dari diri yang merasa tidak pantas mendapatkan hal-hal baik atau tidak pantas untuk dicintai apa adanya.
Banyak anak berkembang dalam lingkungan di mana orangtua, saudara kandung, guru, teman sebaya, dan orang penting lain dalam hidupnya mengatakan bahwa dia tidak cukup baik. Beberapa dari pesan ini terlontar secara eksplisit atau berbentuk perundungan. Ada pula yang terselubung dan sangat halus sampai sang anak tidak menyadari ada hal yang salah sedang terjadi.
Darius Cikanavicius (2018), seorang konsultan psikologi dan pelatih ahli di bidang kesehatan mental, memerinci empat alasan di masa kanak-kanak yang membuatnya berkembang menjadi orang dewasa yang meyakini dirinya tidak cukup baik.
1. Diperlakukan secara tidak berharga atau kurang manusiawi
Banyak orangtua dan figur otoritas lainnya melihat anak sebagai bawahan atau bagian dari milik mereka. Akibatnya, mereka memperlakukan anak secara kasar dan merusak, terkadang secara permanen. Sering kali anak diperlakukan seperti budak atau hewan peliharaan. Mereka dianiaya secara fisik, seksual, verbal, ataupun cara lainnya.
Banyak anak dibesarkan sedemikian rupa sehingga tujuan utamanya adalah untuk memenuhi kebutuhan orangtua, bukan seperti yang seharusnya. Jika anak gagal, mereka dihukum, dimanipulasi, dipermalukan, dan dibuat bersalah agar taat. Tidak mengherankan jika anak-anak seperti ini mengembangkan citra diri yang menyimpang dan harga diri yang rusak. Lalu, semua itu terwujud dalam berbagai masalah psikologis, emosional, dan perilaku.
2. Diperlakukan dengan standar tidak realistis dan disalahkan secara keliru
Orang dewasa sering menangani anak dengan standar sangat tidak realistis, yang orang dewasa sendiri tidak akan pernah bisa penuhi. Contoh di sekolah, anak diharapkan mendapat nilai sempurna/tertinggi untuk semua mata pelajaran. Jika tidak, anak dicap sebagai ”bermasalah” atau ”sakit”. Akibatnya, ada trauma lebih lanjut melalui hukuman atau penolakan.
Anak juga dipaksa mengikuti aturan yang tidak masuk akal, bahkan kontradiktif. Anak sering dipaksa mengambil tanggung jawab atas hal-hal yang tidak semestinya, membuat anak mengembangkan rasa bersalah dan malu yang kronis, yang terus terbawa sampai dewasa.
3. Dibandingkan dengan orang lain
Orangtua sering membandingkan anak mereka dengan orang lain hingga membuat anak merasa buruk tentang dirinya dan mau mengubah perilaku mereka. Jika pengasuh secara negatif membandingkan anak dengan orang lain dan menempatkan anak dalam lingkungan kompetitif yang tidak perlu, hal ini menambah perasaan tidak aman, waspada berlebih, dan cacat, tidak percaya, serta citra diri buruk. Anak berkembang dengan dorongan untuk terus membandingkan dirinya dengan orang lain, merasa ”lebih rendah” atau ”lebih tinggi” daripada orang lain.
4. Diajar untuk merasakan ketidakberdayaan
Banyak anak dibesarkan untuk tetap bergantung pada orangtuanya. Mereka sering kali tetap kekanakan karena tidak diizinkan atau diberi pengalaman untuk membuat keputusan sendiri. Anak tidak berkesempatan mengeksplorasi, berbuat kesalahan dan kemudian memperbaikinya.
Anak-anak seperti itu tumbuh dengan keyakinan bahwa mereka tidak kompeten, mereka dikontrol dengan ketat sejak kecil. Dalam psikologi, fenomena ini disebut ketidakberdayaan yang dipelajari. Mekanisme yang mendasari adalah bahwa orangtua secara sadar atau tidak sadar membesarkan anak sedemikian rupa sehingga anak tidak menjadi mandiri sepenuhnya dan akan tetap melekat pada orangtua.
Citra diri merasa tidak cukup baik tersebut bisa termanifestasi dalam berbagai perilaku dan perasaan, seperti pemberontakan/perlawanan, tidak patuh, tidak merasa aman, kurang percaya diri, mudah menyerah/tak berdaya, ataupun tidak merasa layak terus-menerus.
Cara memperbaiki
Berikut saya cuplikkan sebagian saran dari Carolyn Rubenstein (2010) dan Raven Ishak (2016) yang dapat membantu orang dewasa mengatasi citra dirinya.
a. Temukan akar penyebab
Penting untuk menemukan sumber mengapa Anda merasa tidak cukup baik. Apakah ini didasarkan pada kenyataan, atau berdasarkan apa yang kita anggap orang lain pikirkan tentang kita? Jika kita membiarkan diri memiliki pikiran dan keyakinan bahwa apa yang dikatakan orang secara positif tentang kita mungkin benar, kita mulai menanam benih perasaan cukup baik. Jadi, tak perlu menyalahkan orangtua ataupun menyesali masa lalu.
b. Fokus pada keberhasilan masa lalu
Terkadang sulit untuk bersikap positif ketika situasi saat ini tidak terlihat bagus. Namun, ketika itu terjadi, pikirkan tentang kesuksesan masa lalu untuk membantu mengatasi ketakutan kita karena tidak cukup baik. ”Fokus pada keberhasilan masa lalu. Ingat apa yang kita lakukan untuk mengatasi tantangan atau mencapai tujuan tertentu. Putar ulang perasaan itu dalam pikiran. Visualisasikan hasil yang sukses berulang kali. Tidak peduli seberapa kecil kesuksesan kita, harus dirayakan/disyukuri. Tindakan ini dapat meningkatkan semangat dan memungkinkan untuk mengingat betapa hebatnya kita.
c. Membuat keputusan
Individu dewasa memiliki kekuatan luar biasa untuk memutuskan bahwa kita sebenarnya cukup baik. Kita adalah orang satu-satunya yang memiliki kunci harga diri kita, yang mengatur apa pun yang kita lakukan.
Untuk mencapai perasaan cukup baik, pertama, kita harus meyakininya. Jika memilih tidak melakukannya, tak ada orang lain yang dapat melakukannya untuk kita. Saat menentukan pilihan, kita menjadi pembuat keputusan dan kembali berkuasa.
Kita memegang kunci itu, tetapi sering lupa bahwa kita memegangnya. Jadi, ingatkan diri bahwa, ketika merasa tidak sempurna, kita telah memilih untuk menjadi tidak sempurna. Tentu saja, kesempurnaan hanyalah fasad/wajah yang menahan kita untuk tidak bergerak maju. Dengan benar-benar yakin bahwa kita cukup baik, memungkinkan kita untuk melepaskan pencarian pada kesempurnaan.
d. Tampilkan diri pada aktivitas yang ditakuti
Salah satu cara terbaik untuk mengatasi rasa takut tidak cukup baik adalah dengan benar-benar melakukan hal yang paling ditakuti. Jika takut akan suatu aktivitas atau peristiwa atau interaksi dengan orang lain, cara terbaik untuk menaklukkannya adalah dengan mengekspos diri pada aktivitas tersebut.
Eksposur (dan peningkatan eksposur secara bertahap) dapat membantu mengurangi rasa takut dan kecemasan seputar perasaan tidak memadai. Pada gilirannya ini akan membantu meningkatkan harga diri dan identitas.
Dengan melepas beban masa lalu dari pundak kita, kita dapat melangkah lebih ringan dan bebas untuk menjadi orang dewasa dengan citra diri yang lebih baik.