Covid-19 di Indonesia Diperkirakan Sampai Awal 2022
›
Covid-19 di Indonesia...
Iklan
Covid-19 di Indonesia Diperkirakan Sampai Awal 2022
Hasil permodelan menunjukkan wabah Covid-19 di Indonesia bisa berlangsung hingga 2022. Penerapan protokol kesehatan secara disiplin akan signifikan mengurangi jumlah korban jiwa dan menekan penularan.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS-Indonesia harus menyiapkan strategi jangka panjang menghadapi pandemi Covid-19 yang diproyeksikan baru akan berakhir hingga awal 2022 dengan jumlah korban bisa mencapai 400.000 jiwa. Selain meningkatkan tes, pelacakan, dan isolasi; jumlah kasus dan korban bisa dikurangi dengan kedisplinan masyarakat menerapkan protokol kesehatan.
Proyeksi tim Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia, bekerjasama dengan Badan Perencanaan dan Pembangunan Indonesia (Bappenas) ini disampaikan dalam diskusi di Jakarta, Jumat (23/10/2020). Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Bappenas Subandi Sardjoko mengatakan, proyeksi ini merupakan studi akademik untuk masukan kebijakan.
Menurut dia, dalam proyeksi ada ketidakpastian. Namun demikian, studi ini diharapkan bisa memberikan masukan bagi penyusunan kebijakan seperti terkait penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). "Hasil studi diharapkan bisa meningkatkan kepedulian pemerintah daerah terhadap proyeksi kasus dan kematian akibat Covid-19. Selain itu, diharapkan meningkatkan kesiapan pemda dalam mencegah Covid-19 dan penyediaan layanan kesehatan," kata dia.
Epidemiolog FKM UI Iwan Ariawan mengatakan, ada tiga skenario yang diproyeksikan berdasarkan model epidemi yang dibuat timnya. Ketiganya yaitu skenario penanganan seperti sekarang, skenario positif atau intervensi lebih ketat, dan skenario negatif alias lebih longgar.
Wabah ini baru akan terkendali menjelang akhir 2021 atau awal 2022. (Iwan Ariawan)
Dengan skenario pertama, wabah Covid-19 di Indonesia belum akan terkendali sampai akhir 2021. "Wabah ini baru akan terkendali menjelang akhir 2021 atau awal 2022," kata dia.
Menurut skenario ini, puncak wabah baru akan terjadi sekitar trimester pertama pada tahun 2021 dengan penambahan kasus baru lebih dari 40.000. Namun, jika menggunakan skenario kedua, yaitu adanya peningkatan tes, lacak dan isolasi serta cakupan protokol lebih tinggi, penambahan kasus baru saat terjadi puncak menjadi lebih rendah, yaitu sekitar 25.000.
Sedangkan skenario negatif akan ada penambahan kasus baru 60.000 saat puncak wabah. "Jika itu terjadi, layanan kesehatan kita tidak akan bisa menampung pasien, artinya jumlah korban akan lebih besar. Ketiga skenario selesainya sama, tetapi puncaknya lebih rendah kalau intervensi baik," kata dia.
Iwan mengatakan, dengan situasi penanganan seperti sekarang, jumlah korban secara kumulatif bisa mencapai 420.000 jiwa. Sedangkan, skenario positif korban akan berkurang hingga 100.000 jiwa, dan sebaliknya jika skenario negatif yang terjadi akan terjadi penambahan korban secara signifikan.
"Semua skenario menunjukkan, wabah masih lama sehingga kita harus bersiap dalam jangka panjang, sampai 2022. Yang bisa dilakukan adalah meningkatkan intervensi sehingga kasus lebih sedikit sehingga beban layanan kesehatan lebih ringan. Itu berarti risiko kematian lebih kecil," kata dia.
Selain intervensi tes, lacak dan isolasi, upaya lain yang bisa dilakuakn adalah meningkatkan kepatuhan masyarakat untuk mengikuti protokol kesehatan. Iwan menambahkan, berdasarkan sejumlah kajian ilmiah, masker kain bisa menurunkan risiko penularan 45 persen dan masker bedah menurunkan 70 persen. Sedangkan menjaga jarak menurunkan penularan 85 persen dan cuci tangan 35 persen. "Kalau ioni dilakukan bersama-sama, akan lebih besar dampaknya," kata dia.
Dampak Intervensi
Tim studi dari FKM UI, Muhammad N Farid mengatakan, pergerakan penduduk sangat berpengaruh terhadap penambahan kasus. Dengan menggunakan data mobilitas penduduk Quebic yang disediakan Unicef, diketahui ketika proporsi penduduk di rumah di atas 40 persen, tidak ada peningkatan kasus per hari, bahkan cenderung menurun, yaitu sekitar 500 kasus per hari.
Namun, ketika proporsi penduduk di rumah kurang 40 persen, setiap ada penambahan 1 persen penduduk yang keluar akan ada peningkatan 500 kasus baru. "Jadi besar sekali efek orang yang tetap tinggal di rumah saja," kata dia.
Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, ambang minimal orang yang di rumah perlu lebih tinggi. Ketika proporsi penduduk di rumah saja berada di 55 - 65 persen, tidak ada perbedaan kasus per hari, yaitu sekitar 140 kasus per hari. Ketika proporsi penduduk di rumah saja 50 - 55 persen, setiap penurunan 1 persen penduduk di rumah saja, estimasi kasus meningkat 20 kasus.
Ketika proporsi penduduk di rumah saja kurang dari 50 persen, setiap penurunan 1 persen di rumah saja, estimasi kasus meningkat 100 kasus.
"Kelihatan sekali, jika ada peningkatan penduduk di rumah saja, bahkan di DKI Jakarta di Maret mencapai 60 persen, kurva epidemi sudah mendatar. Namun, mulai Juni saat terjadi pelonggaran terjadi peningkatan jumlah kasus harian. Kasus baru menurun setelah ada pengetatan lagi di bulan September," kata dia.
Farid menambahkan, sekalipun saat ini sudah memasuki masa transisi, belum ada lonjakan kasus baru. "Kompensasi orang boleh keluar, protokol kesehatan harus lebih ketat. Dari data yang dikumpulkan tim pemantau di Jakarta ada memang terjadi peningkatan perilaku memaki masker, cuci tangan, dan jaga jarak memang meningkat setelah Oktober," kata dia.
Data Menjadi Kunci
Tim peneliti FKM UI Pandu Riono mengatakan, berdasarkan studi ini, pilihan PSBB berdampak besar terhadap upaya menahan jumlah kasus. "Namun, PSBB tidak bisa dilakukan terlalu lama karena dampak lain juga. Karena itu, menggunakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan merupakan vaksin kita sekarang. Ini yang kita andalkan sekarang. Jangan andalkan vaksin yang belum ada," kata dia.
Pandu menambahkan, data-data menjadi sangat penting untuk melakukan proyeksi dan menentukan intervensi. "Navigasi kita adalah data sistem kesehatan publik. Dengan data ini kita bisa monitor pencegahan dan surveilans, termasuk perilaku penduduk," kata dia.
Menurut Pandu, surveilans merupakan tugas pokok pemerintah, yang meliputi tes, lacak, dan isolasi. "Ini tujuannya yang benar untuk pencegahan bukan untuk pengobatan. Ini menjadi kunci keberhasilan di banyak negara Asia, seperti Vietnam, Thailand, termasuk juga di China. Jadi, China sukses itu bukan vaksinasi tetapi sistem surveilans yang baik, bahkan isolasinya sangat ketat," kata dia.
Menurut Pandu, dari kajian tim UI ini, data yang paling memadai ada di DKI Jakarta. Daerah-daerah lain masih bermasalah dengan pendataan, termasuk juga data kematian. DKI juga sudah memenuhi jumlah tes hingga tiga kali lebih banyak dari ambang minimal 1 per 1000 penduduk per minggu. Sedangkan daerah lain di Jawa, termasuk Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat belum memenuhi standar minimal.
Iwan menambahkan, selain tes yang memadai, kecepatan tes dan pelacakan juga sangat penting. Setiap keterlambatan akan mempersulit upaya pemutusan penularan, dan pada akhirnya membuat kasus membesar sehingga tidak mampu ditangani layanan kesehatan.