Infrastruktur dan Transportasi, Menjaga Nadi Ekonomi
›
Infrastruktur dan...
Iklan
Infrastruktur dan Transportasi, Menjaga Nadi Ekonomi
Kelindan infrastruktur dan transportasi menentukan efisiensi dan daya saing. Sinergi di antara pemangku kepentingan diperlukan untuk meningkatkan dan memastikan konektivitas yang menjamin keselamatan dan produktivitas.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
Sektor transportasi kerap dijuluki sebagai urat nadi perekonomian. Hal ini tidak lepas dari perannya dalam mendukung pergerakan manusia dan distribusi barang. Di titik ini, ketersediaan infrastruktur bernilai penting karena berkorelasi dengan waktu tempuh dan ongkos distribusi yang menentukan daya saing.
Salah satu strategi menurunkan waktu perjalanan adalah dengan menjadikan jalan bebas hambatan sebagai tulang punggung transportasi. Sebagai gambaran, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menganalisis waktu tempuh perjalanan saat ini masih berkisar 2,3-2,4 jam per 100 kilometer (km).
Ada target jangka panjang untuk mereduksi waktu perjalanan menjadi 1,5 jam per 100 km. Kajian menunjukkan, Indonesia dalam jangka panjang membutuhkan jaringan jalan tol sepanjang hampir 19.000 km untuk mencapai target tersebut. Sebagai perbandingan, total jaringan jalan tol yang telah beroperasi, sejak tahun 1978 hingga Oktober 2020, sepanjang 2.303,8 km.
Pemerintah menargetkan, pada akhir tahun 2024, jalan tol yang telah dibangun dan beroperasi di Indonesia sepanjang 4.817 km. Artinya, masih dibutuhkan sekitar 2.500 km jalan tol lagi untuk menurunkan waktu perjalanan sesuai target.
Para pelaku usaha pun menaruh perhatian terhadap ketersediaan infrastruktur jalan yang memadai. Apalagi, selain berkaitan dengan lama perjalanan, hal ini berkaitan pula dengan aspek kepastian waktu pengiriman barang dari satu lokasi ke lokasi lain.
Sebagai ilustrasi, infrastruktur jalan darat di Pulau Jawa selama ini dilintasi oleh kendaraan pengangkut bahan baku industri, dari barat ke timur dan sebaliknya. Lewat jalan darat pula produk jadi didistribusikan dari pabrik pengolahan ke pasar dan konsumen.
Jaminan efisiensi waktu dan kepastian pengiriman akan memberi kelonggaran bagi pelaku usaha dalam mengelola stok atau pergudangan. Stok yang dulunya dibuat untuk dua minggu, misalnya, dimungkinkan cukup untuk satu minggu. Hal itu berpeluang terjadi ketika ada jaminan kepastian pengiriman logistik yang semakin akurat. Alhasil, uang dan ruang pun dapat dimanfaatkan untuk hal lain yang lebih produktif.
Secara umum, efisiensi yang tercipta dari infrastruktur yang andal pun menumbuhkan harapan dalam mendorong perubahan perilaku bertransportasi. Sistem transportasi atau distribusi yang menjamin efisiensi diharapkan ikut meminimalkan praktik-praktik pelanggaran, semisal menyangkut batasan dimensi kendaraan dan daya muat.
Penyelesaian masalah kelebihan dimensi kendaraan dan muatan (over dimension over load/ODOL) selama ini menjadi salah satu target Kementerian Perhubungan. Apalagi, merujuk data Kementerian PUPR, negara harus mengeluarkan ongkos hingga Rp 43 triliun untuk memperbaiki jalan rusak akibat beroperasinya truk-truk dengan muatan berlebih.
Supply Chain Indonesia (SCI) mencatat berbagai dampak negatif praktik kelebihan muatan dan dimensi, antara lain, konsumsi bahan bakar minyak dan biaya perawatan yang harus ditanggung pengusaha truk meningkat. Produktivitas pun turun ketika waktu tempuh bertambah karena jalan rusak atau macet akibat operasi truk berlebih muatan.
Belum lagi soal keselamatan. Mengacu data Korps Lalu Lintas Polri, kecelakaan truk yang dipicu praktik kelebihan muatan di jalan raya secara nasional naik dari 109.215 kasus di tahun 2018 menjadi 116.395 kasus di tahun 2019. Aspek infrastruktur dan transportasi berkelindan. Ada lapis interaksi di antara keduanya. Sinergi di antara pemangku kepentingan jadi keniscayaan untuk memastikan konektivitas yang menjamin keselamatan dan produktivitas.