Jaga Sumber Mata Air agar Tidak Menjadi Sumber Air Mata
›
Jaga Sumber Mata Air agar...
Iklan
Jaga Sumber Mata Air agar Tidak Menjadi Sumber Air Mata
Menjaga kelestarian sumber mata air Ciliwung menekan risiko bencana sejak dari hulu.
Oleh
AGUIDO ADRI
·5 menit baca
Kotor, sampah, air keruh kehitaman, sempadan yang dipenuhi bangunan rumah, ya, itulah gambaran yang muncul ketika mendengar Sungai Ciliwung. Namun, nanti dulu hilangkan imajinasi negatif tersebut, apalagi mengambinghitamkan kondisi Sungai Ciliwung sebagai penyebab banjir.
Pergilah ke Kampung Cibulao, Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Di sana terdapat sumber mata air bernama Telaga Saat yang merupakan titik nol Sungai Ciwilung atau hulu Sungai Ciliwung. Air Sungai Ciliwung berasal dari sungai-sungai kecil di hutan yang berkumpul di tujuh telaga, yakni Telaga Warna, Saat, Putri, Panjang, Cibulao, Periuk, dan Gayonggong. Dari telaga ini mengalir ke sungai-sungai kecil yang merupakan anak Sungai Ciliwung sebelum semuanya berakhir di aliran Sungai Ciliwung sepanjang 109,7 kilometer dan bermuara ke teluk Jakarta.
Tidak seperti obyek wisata di kawasan Puncak, Bogor, yang memiliki fasilitas infrastruktur dan sarana prasarana yang bagus, untuk menuju Telaga Saat di Kampung Cibulao, kita harus melewati jalan berbatu menanjak dan menurun yang membelah perkebunan teh. Jalan ini pun hanya bisa dilalui satu mobil, bahkan jika memakai sepeda motor pun harus ekstrahati-hati, salah mengambil jalur, pengendara bisa jatuh. Kondisi jalan berbatu dan sempit itu justru menambah pengalaman dan penuh tantangan.
”Jalan masuk ke sini dibiarkan berbatu seperti ini, jangan diaspal. Kalau diaspal, banyak mobil besar masuk,” kata Bupati Bogor Ade Yasin saat ikut program penanaman 1.500 pohon yang bersama Kepala Badan Penanggulangan Bencana Nasional Doni Monardo.
Telaga Saat yang merupakan titik nol kilometer Sungai Ciliwung harus menjadi perhatian bersama agar kawasan sumber mata air tidak rusak dan tetap terjaga. (Doni Monardo)
Bukan tanpa alasan Ade tegas tak ingin jalan masuk menuju Telaga Saat diperbaiki atau diaspal. Ia tak ingin alam di sekitar Telaga Saat rusak dan kotor, bahkan menjadi sasaran tujuan bisnis segelintir orang. Ia juga menentang adanya pembangunan vila.
Ade tidak ingin apa yang sudah selama ini dikorbankan, terutama tenaga dan waktu warga, sukarelawan, serta TNI yang bersama membantu merevitalisasi dan memulihkan kondisi Telaga Saat sejak 2017, menjadi sia-sia.
Setelah menyusur jalan berbatu sekitar 15-20 menit, patung singa dan badak putih menyambut kita masuk ke kawasan Telaga Saat seluas 5,03 hektar yang dikelilingi Gunung Kancana, Gunung Lemo, Gunung Talaga, dan Gunung Baud.
Tidak heran Ade menentang pembangunan vila, selain akan merusak ekosistem air, bangunan-bangunan masif juga akan menghalangi kita memandang barisan empat gunung yang menjadi pagar alami Telaga Saat. Tak perlu terburu menjelajahi kawasan Telaga Saat atau langsung mengitari telaga dengan perahu bambu, duduklah sejenak menghirup segarnya udara sekitar sembari memandangi hamparan air dan deretan barisan pohon-pohon di sekeliling telaga.
Datang ke Telaga Saat, kita tidak hanya merasakan embusan angin yang membuat tubuh terasa dingin. Kita pun bisa merasakan hangatnya sajian kopi asli Kampung Cibulao jenis arabika atau robusta di salah satu warung di sudut telaga. Di warung tersebut alat racik kopi ala kafe tersedia. Jika tidak suka kopi yang ada ampasnya atau kopi tubruk, silahkan pesan kopi dengan metode V60 atau kopi yang disaring. Bagi yang tak mengerti, tak perlu khawatir, sang barista atau peracik kopi yang merupakan warga setempat akan ramah berbagi cerita dan melayani Anda.
Aroma seduh kopi bercampur menyeruak, sajian segelas kopi cukup menghangatkan badan sembari menikmati pemandangan hijau dan hamparan air di telaga.
Kondisi Telaga Saat yang asri, bersih, dan pepohonan yang mulai tumbuh saat ini tidak akan kita temui empat sampai sepuluh tahun yang lalu. Henda Budiman atau biasa akrab disapa Abah Bebeng menuturkan, kondisi kawasan Telaga Saat dan kaki-kaki gunung di sekitar pada 1990 hingga 2000-an cukup parah. Perambahan hutan dan pembukaan lahan perkebunan teh merusak kondisi telaga yang merupakan sumber mata air. Semakin hari luas Telaga Saat semakin sempit tertutup oleh longsoran tanah dan gulma.
”Kondisi tersebut ternyata berdampak luas karena tidak ada daerah resapan dan kondisi telaga yang semakin sempit mengakibatkan daerah hilir banjir. Dampak lainnya, warga dulu sering memancing ikan untuk kebutuhan makan. Ikan semakin sedikit. Burung elang juga tidak lagi banyak kita jumpai karena pohon-pohon tempat tinggalnya ditebang. Dulu banyak elang disini,” kata tetua Kampung Cibuloa itu.
Kondisi yang memprihatinkan tersebut membuat Abah Bebeng resah. Ia berpikir jika kawasan telaga dibiarkan akan semakin merugikan warga. Perlahan ia bersama beberapa warga pun mulai bergerak membersihkan telaga. Namun, tak banyak yang bisa mereka lakukan karena keterbatasan tenaga dan peralatan. Mereka hanya lakukan sebisa yang mereka kerjakan.
Sampai kemudian tahun 2017, gerakan menyelamatkan Telaga Saat semakin massif. Abah Bebeng dan sejumlah warga yang selama ini juga sudah menaruh perhatian terhadap ekosistem di Telaga Saat terbantu dengan kedatangan sukarelawan dan TNI.
Koordinator Relawan Indonesia Pembela Alam (Rimba) Eko Wiwid (43) menceritakan, awal gerakan bersih-bersih di Telaga Saat sebenarnya sudah berjalan 2017 bersama TNI yang dimotori Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus Brigadir Jenderal Mohammad Hasan, saat itu ia masih menjabat Komandan Korem 061 Surya Kencana.
Selain Hasan, Doni Monardo juga berperan besar dalam upaya memulihkan kondisi Telaga Saat yang saat itu hanya terlihat 10-15 persen saja dan kedalaman 1-2 meter. Kini Kawasan Telaga Saat mencapai 5,08 hektar dan kedalaman air mencapai 5-7 meter.
”Febuari 2018, awalnya bersama warga dan sukarelawan hanya 50 orang. Namun, semakin ke sini semakin banyak sukarelawan dan warga yang bergabung memulihkan kawasan telaga. Sampai kemudian jumlahnya mencapai 1.500 sukarelawan. Kami kerja manual bersama TNI. Kemudian gerakan bersih-bersih ini semakin masif dengan bantuan dari Balai Besar Sungai Ciliwung Cisadane, PUPR, dan KLHK,” tutur Wiwid.
Sejak revitalisasi tersebut, setidaknya ada 5.000 lebih pohon agar kawasan Telaga Saat menjadi embung alami seperti sedia kala.
Doni Monardo mengatakan, Telaga Saat yang merupakan titik nol kilometer Ciliwung harus menjadi perhatian bersama agar kawasan sumber mata air tidak rusak dan tetap terjaga. Oleh karena itu, sejak revitalisasi selesai pada akhir 2019, kawasan Telaga Saat terus ditata salah satunya dengan menambah penanaman pohon.
”Ini bagian dari mitigasi bencana, jangan sampai rusak dulu baru kita gerak. Ekosistem sumber mata airnya jaga, perbaiki, dan lindungi. Sampai kelak hutan kita tebang dan gundul yang ada mata air berubah menjadi air mata,” kata Doni.
Doni mengatakan, revitalisasi di Telaga Saat bisa menjadi contoh untuk daerah lain, bukan hanya di Jawa Barat yang rawan bencana, melainkan juga seluruh Indonesia. Kepedulian lingkungan harus menjadi kesadaran tinggi agar generasi selanjutnya merasakan keindahan alam sekaligus terhindar dari segala musibah bencana alam.