Kita Butuh Lebih Banyak Kucing
Aku memutar ke belakang indekos. Hilang sudah niatku untuk mencari si penjambret.
Kompleks perumahanku sedang heboh. Katanya ada seorang anak yang dijambret telepon pintarnya. Kejadiannya persis setelah matahari tenggelam. Padahal, saat itu masih cukup ramai. Warga juga masih banyak yang mengobrol di luar rumah. Jambret itu benar-benar nekat. Aku kenal anak yang dijambret teleponnya itu. Dia suka memberiku makan walaupun ibunya sering mengusirku kalau melihatku.
Aku sengaja lewat di depan rumah anak itu setelah kejadian. Aku ingin tahu keadaannya. Dia berjongkok di depan pagar sambil terisak. Mungkin dia tidak mau orang rumahnya yang lain melihat dia menangis. Aku mendekatinya dan menepuk-nepuk kakinya untuk menenangkan dia. Dia kaget karena aku muncul dengan tiba-tiba. ”Hai, Hitam. Lapar, ya?” Dia masuk ke dalam rumah dan keluar lagi membawa makanan untukku.
Yah, aku juga sengaja lewat di depan rumahnya karena berharap mendapat makanan. Seharian ini aku belum makan. Aku makan dengan lahap ditemani anak itu.
Tadinya aku berniat melewatkan malam ini di atas genteng indekos favoritku. Kebetulan langit sedang cerah. Bintang, bulan, dan benda-benda langit lain pasti terlihat jelas. Namun, aku mengurungkan niat itu. Aku ingin mencari si jambret tadi. Kejadiannya baru beberapa jam lalu. Aku yakin bisa menemukan dia. Selesai makan, aku langsung pergi meninggalkannya. Tenang saja, aku pasti bisa menemukan si maling.
Aku mulai investigasiku dengan menyusuri jalan itu. Jalan masih ramai, masih banyak manusia-manusia di luar rumah. Jika aku adalah si jambret, ke mana aku akan pergi?
Aku mendengar suara Kuki memanggilku. Dia kucing peliharaan berbulu halus. Dia dinamai Kuki oleh pemiliknya karena bulunya yang berwarna coklat seperti kukis. Aku melompati pagar rumahnya yang tinggi. Kuki sering terpeleset ketika melompati pagar ini. Tubuhnya kurang gerak, terlalu sering di rumah.
”Ada apa, Ki?” tanyaku.
”Kamu sedang apa?” tanya Kuki.
Kuceritakan kejadian barusan pada Kuki. ”Kamu lihat manusianya tidak?”
”Tidak,” jawab Kuki sambil menggeleng. ”Semua manusia pakai masker sekarang. Aku suka bingung melihatnya.”
Ah. Ini agak merepotkan. Belakangan ini manusia-manusia itu memang tiba-tiba rajin memakai masker.
”Ya sudah. Aku mau mencari dia lagi. Dah.” Aku melompat turun dari pagar.
”Semoga berhasil!” Aku mendengar Kuki mengeong.
Aku menggoyangkan ekorku, isyarat untuk Kuki bahwa aku mendengarnya.
Aku kembali berjalan. Kali ini aku tiba di indekos favoritku itu. Aku kenal salah satu penghuninya. Namanya Rio. Dia suka meninggalkan makanan di depan pintu kamarnya untukku atau teman-teman yang lain.
Pintu kamar Rio tertutup. Aku melihat ada mangkuk air yang setengah terisi dan satu mangkuk lain yang kosong. Dasar! Pasti si Belang yang menghabiskan makanan di mangkuk itu. Aku menjilati air di dalam mangkuk. Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Rio memakai kaus putih. Satu tangannya menggosok-gosok rambutnya yang basah dengan handuk biru.
”Eh, ada kamu,” ujarnya menyapaku. ”Habis, ya? Sebentar, aku isi dulu.” Aku menutupi wajahku dengan malu-malu karena sebenarnya aku baru saja makan.
Dia mengangkat mangkuk kosong dan masuk lagi ke dalam kamar. Sedikit gendut tidak masalah, kan? Banyak teman-temanku yang videonya viral justru karena mereka sulit bergerak saking besarnya tubuh mereka.
Saat keluar lagi mangkuknya sudah terisi dan handuk birunya tidak ada. Ia meletakkan mangkuk ke depanku. Masih dengan malu-malu aku mendekati mangkuk itu. Anggap saja camilan malam. Toh, besok aku tidak tahu apakah aku bisa dapat makanan.
”Kamu hati-hati, ya. Ada penghuni baru di sini. Dia sepertinya tidak suka kucing,” dia berbisik padaku. ”Tadi pagi aku lihat dia menyiram temanmu dengan selang air. Aku sudah tegur dia. Kubilang kalian cuma cari sisa-sisa makanan. Tapi sepertinya dia tidak peduli. Kalau aku sedang tidak ada di kos, hati-hati, ya.”
Aku kembali berjalan. Kali ini aku tiba di indekos favoritku itu. Aku kenal salah satu penghuninya. Namanya Rio. Dia suka meninggalkan makanan di depan pintu kamarnya untukku atau teman-teman yang lain.
Aku mengangkat kepalaku dan menatap mata Rio sambil menjilati bibirku. Disiram air, dipukul pakai sapu, dituduh membawa penyakit, diperlakukan bagai hama. Semua sudah biasa buatku dan teman-teman yang sering berkeliaran. Aku pernah mengajak Kuki berkeliling lalu dia disiram seember air—dia terlambat menghindari ember air itu. Aku dimarahi pemiliknya habis-habisan saat kami pulang. Kuki sendiri senang-senang saja. Iya, aku akan hati-hati, jawabku.
Rio menggaruk telingaku dan mengeluarkan teleponnya. Aku tahu dia sedang memotret atau merekamku. Aku sengaja berpose imut-imut. Mungkin saja aku jadi viral, atau mungkin jadi kucing selebritas dan ada yang ingin mengadopsiku.
Aku mengeong. Aku mau pergi dulu, ya.
”Malam ini kamu tidur di mana?” tanya Rio.
Aku menggoyangkan ekorku. Di atas atap sini. Maaf kalau tidurku berisik, ya.
”Penghuni baru itu kamarnya di ujung.” Ia menunjuk pintu di deretan paling ujung. Kamar yang paling dekat dengan pagar. ”Hati-hati, ya.” Rio memperingatkanku lagi.
Aku mengangguk. Terima kasih. Sampai besok. Aku meninggalkan Rio dan mendengar pintu kamarnya ditutup.
Aku memutar ke belakang indekos. Hilang sudah niatku untuk mencari si penjambret. Perutku terlalu kenyang untuk berjalan lagi. Aku naik ke atas tempat sampah, lalu memanjat di antara ranting pohon mangga hingga akhirnya berhasil sampai ke genting. Atap indekos ini memang tempat tidur paling nyaman di malam hari. Aku menguap dan menyandarkan kepalaku di kaki depan. Aku akan mulai pencarian lagi besok.
⁂
Aku terbangun karena gersik suara plastik. Masih gelap. Aku menengok ke bawah dan melihat ada seorang manusia sedang membuang plastik ke dalam tempat sampah. Mengganggu tidurku saja.
Manusia itu kemudian berjalan kembali ke depan indekos. Dia masuk ke kamar si penghuni baru. Tidak sampai sepuluh detik dia kemudian keluar lagi. Dia celingak-celinguk sebentar ke sekelilingnya, kemudian pergi. Sekarang kantukku benar-benar hilang.
Kenapa dia pergi keluar malam-malam begini?
Aku meniti langkahku di antara genteng, menuju kamar si penghuni baru, lalu mencari celah masuk ke plafon. Dalam gelap aku melihat sebuah plastik besar. Saat kakiku menginjak-injak plastik itu, aku bisa merasakan bentuk kotak-kotak di dalamnya. Aku berusaha merobeknya, setidaknya sampai aku bisa mengintip isinya.
Telepon pintar! Jumlahnya banyak sekali. Apakah si penghuni baru adalah jambret itu?
Aku kembali ke atas genting, tepat di atas kamar Rio. Aku tidak ingin membangunkannya malam-malam begini. Aku akan menunggu hingga pagi nanti.
Tidurku selanjutnya tidak nyenyak. Sedikit suara saja membuatku terbangun. Matahari sudah tinggi ketika pintu kamar Rio terbuka. Aku langsung melompat ke depannya.
”Aaa!” Rio berteriak kaget. ”Lho, kamu masih di sini?” Dia keheranan melihatku.
Kaus putihnya masih sama seperti semalam.
Aku menggigit sandalnya yang ada di depan pintu dan melesat ke depan kamar si penghuni baru. Kuletakkan sandal itu di sana. Di kamarnya ada plastik mencurigakan. Geledah kamarnya!
”Aduh, kamu kok nakal sekali pagi ini,” Rio berjalan mengikutiku.
Saat Rio membunguk untuk mengambil sandalnya, aku menarik kausnya. Dia mencurigakan! Buka kamar ini!
Tiba-tiba di belakang kami sudah ada tiga orang lain yang memakai masker.
”Lho, Mas Rio, sedang apa jongkok di situ?” Seorang bapak-bapak berkumis bertanya kepada Rio. Dia pemilik kos ini.
”Ini, Pak. Sandal saya digondol kucing ini. Sekarang baju saya ditarik-tarik. Aduh, kamu kenapa, sih?” Rio kemudian menggendongku dan sandalnya. ”Kok ramai. Ada apa, Pak?”
Pak Kumis tidak menjawab pertanyaan Rio. Ia membukakan pintu kamar kos dengan anak kunci di tangannya. Dua orang yang lain langsung masuk dan memberantaki kamar itu. ”Mas Reza tertangkap kamera pengawas mengambil uang di kasir di pertokoan depan semalam. Bapak-bapak ini mau mencari barang bukti lain,” Pak Kumis baru menjawab pertanyaan Rio.
Aku melompat turun dari tangan Rio. Kemudian meliuk-liuk dengan lincah di antara kaki-kaki manusia. Melompat lagi ke atas lemari plastik di pojok kamar. Sayang, lemari itu kurang tinggi untuk mencapai lubang angin yang berada tepat di atasnya. Barang curiannya ada di atas sini! Aku berusaha memberi tahu mereka semua.
”Hei, jangan nakal begitu, ah!” Rio ikut masuk ke kamar. Ia menurunkanku dari atas lemari. Aku memberontak darinya sampai cakarku tidak sengaja menggores tangan Rio.
Tapi, usahaku tidak sia-sia. Seseorang menyadari lubang angin di atas lemari.
”Permisi sebentar, Mas.” Rio keluar kamar sambil menggendongku yang masih berusaha memberi tahu mereka.
Lubang angin dibuka dan mereka menemukan plastik di sana. Saat plastiknya dibuka, mereka menjajarkan satu per satu ponsel di lantai. Jumlahnya sampai memenuhi seluruh lantai kamar itu. Aku mengenali telepon si anak laki-laki yang ada di dekat pintu.
Pak Kumis berjongkok di depan pintu. ”Ini punya Mas Yudha. Hilang kemarin lusa!” Ia menunjuk sebuah telepon yang ada di kaki tempat tidur.
Aku melihat kesempatan. Sekali lagi aku melepaskan diri dari Rio. Tubuh Pak Kumis menghalangi pandangan manusia-manusia itu. Aku yakin tidak ada yang melihatku menggigit telepon itu dan membawanya pergi. Rio masih terperangah melihat telepon-telepon di lantai kamar. Aku berlari ke kamar Rio yang terbuka.
Baca juga : Silentium
Setelah dua orang bermasker tadi meninggalkan kos, aku muncul di depan Rio yang kembali ke kamarnya. ”Kamu nakal sekali tadi!” Dia bertolak pinggang, tapi aku tahu dia hanya pura-pura marah. Rio melihat telepon yang kugigit. Sepertinya dia baru paham sekarang. Dia berjongkok dan menggaruk telingaku.
”Kamu tahu siapa pemilik telepon ini, ya?”
Aku menjilati kakiku dengan puas, sementara Rio membolak-balik telepon itu.
⁂
Aku menunggu Rio selesai mandi, kemudian mengantarnya ke rumah anak laki-laki itu. Rio sekarang juga memakai masker. Begitu tiba di depan rumah, aku memanggil-manggil anak itu.
Yang keluar bukan si anak lelaki, tapi seorang perempuan. ”Hai, Hitam.” Dia kakak perempuannya. Setahuku dia sedang pulang ke rumahnya seminggu terakhir ini. Biasanya dia bekerja di luar kota. Dia menatap Rio. ”Ada apa, ya, Mas? Anda siapa?”
Rio terlihat salah tingkah. Aku menarik-narik celana Rio.
”Eh, ini Mbak. Apa ini punya Mbak?” Rio mengulurkan telepon kepadanya.
Perempuan itu terlihat bingung. ”Loh, ini punya adik saya. Baru dijambret kemarin. Kok, bisa ada di Mas?” Dia menatap Rio dengan curiga.
”Eh, anu. Ceritanya panjang, tapi bukan aku yang mengambil, kok,” ujar Rio cepat-cepat. ”Boleh kenalan dulu? Rio.”
Perempuan itu menunjuk meja kecil di teras. Rio meletakkan telepon di atas meja, setelah itu barulah perempuan itu mengambil telepon. Dia masih curiga dengan Rio. ”Nia. Tangan kamu dicakar si Hitam?” Ia melihat luka gores di tangan Rio.
Aku menghela napas memperhatikan binar di mata Rio. Dasar manusia. Hidup mereka pasti hampa sekali kalau tidak ada kami.
Yahdiani Hakim berdomisili di Bekasi. Menulis fiksi. Berkicau di @denganjudul.