Perbedaan suku, budaya, agama, dan lainnya bukanlah alasan terjadinya perpecahan. Keberagaman tersebut seharusnya menjadi sumber persatuan bangsa.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Semangat nasionalisme mesti diejawantahkan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai peran setiap warga negara. Perbedaan suku, agama, latar belakang ekonomi, dan politik justru menjadi modal untuk memperkuat persatuan Indonesia yang dibangun di atas perbedaan.
Hal itu terungkap di dalam diskusi webinar ”Nasionalisme dan Cinta Tanah Air” yang diselenggarakan Reformed Center for Religion and Society (RCRS), Sabtu (24/10/2020). Panelis webinar adalah tokoh dengan latar belakang berbeda, yakni Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) Basuki Tjahaja Purnama, Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor dan anggota DPR Yaqut Cholil Qoumas, pengusaha yang juga anggota Council dari University of Chicago Booth School of Business Tandean Rustandy, serta Dewan Eksekutif RCRS dan Ketua Sekolah Tinggi Teologi Reformed Pendeta Benyamin F Intan.
Nasionalisme mesti diwujudkan dengan memperjuangkan keadilan, kebenaran, perikemanusiaan, dan kejujuran.
Menurut Basuki, nasionalisme mesti diwujudkan dengan memperjuangkan keadilan, kebenaran, perikemanusiaan, dan kejujuran. Namun, kondisi saat ini, orang atau pejabat lebih berpikir untuk taat kepada konstituen atau yang populer.
Masalah terbesar yang dihadapi Indonesia adalah korupsi. Maka, panggilan warga negara terkait nasionalisme adalah berjuang untuk tidak korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
”Dalam kondisi seperti pandemi ini, kita harus berani berdiri memperjuangkan perikemanusiaan,” kata Basuki.
Menurut Yaqut, nasionalisme mesti diletakkan sebagai sarana menuju pada kesejahteraan rakyat. Mengutip penjelasan Presiden ke-4 Republik Indonesia Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, ciri orang pesantren atau santri adalah memiliki rasa nasionalisme yang kuat.
”Kenapa orang Nahdlatul Ulama ketika Indonesia terancam, baik fisik maupun ideologi, akan maju ke depan? Karena Indonesia adalah martabat, harga diri. Tetapi, harus diingat, Indonesia merdeka bukan hanya kontribusi NU saja, tetapi dari saudara yang beragama Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, Khonghucu, termasuk yang menganut aliran kepercayaan,” kata Yaqut.
Agama seharusnya bukan menjadi sumber perpecahan, melainkan memiliki fungsi sosial, yakni mempersatukan bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, lanjut Yaqut, agama seharusnya bukan menjadi sumber perpecahan, melainkan memiliki fungsi sosial, yakni mempersatukan bangsa Indonesia. Maka, mewujudkan nasionalisme, selain tidak KKN, juga harus menghargai perbedaan karena perbedaan adalah sunnatullah.
Menurut Tandean, pendiri bangsa Indonesia telah berpikir mulia dengan menyatukan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Hal ini mestinya diteruskan oleh pemimpin bangsa berikutnya.
Sebagai pengusaha, perwujudan nasionalisme bisa dilakukan sejalan dengan bidangnya, semisal membangun pabrik di kawasan yang belum berkembang. Meski biayanya lebih besar, hal itu dilakukan untuk membantu masyarakat yang belum banyak tersentuh pembangunan.
Sebagai pengusaha, perwujudan nasionalisme bisa dilakukan sejalan dengan bidangnya, semisal membangun pabrik di kawasan yang belum berkembang.
Selain itu, nasionalisme dapat diwujudkan dengan turut mendukung pendidikan. Sebab, pendidikan yang baik akan menjadi fondasi pembangunan bangsa.
Menurut Benyamin, sejarah bangsa Indonesia telah memberikan contoh bagaimana pendiri bangsa meletakkan Pancasila sebagai dasar, bukan agama maupun sekularisme. Oleh karena itu, di Indonesia tidak dikenal istilah warga mayoritas dan minoritas, melainkan warga negara.
”Pancasila dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa itu tidak hanya posisi sila sebagai yang pertama, tetapi juga menjadikannya sebagai pedoman. Nasionalisme kita bukan nasionalisme sekuler sebagaimana di negara Barat, tetapi juga bukan nasionalisme agama di mana negara dan agama menjadi satu,” kata Benyamin.