Untuk perkuat wadah institusi menjaring masukan, kekhawatiran, dan kecemasan publik terkait isi UU Cipta Kerja, Presiden Jokowi menginstruksikan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Wadah itu juga mengawal hingga PP.
Oleh
REK/AGE/NTA/LAS/HAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Presiden Joko Widodo menginstruksikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto untuk memperkuat wadah institusi menjaring semua masukan, kekhawatiran, dan kecemasan publik terkait isi Undang-Undang Cipta Kerja.
Dalam pertemuan dengan Kompas, Kamis (22/10/2020) secara virtual, Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyatakan, wadah yang bisa memperkuat penjaringan aspirasi kekhawatiran dan kecemasan publik bisa berbentuk satuan tugas atau nama lain. ”Apa pun namanya, satgas atau apa, menurut Presiden, tak hanya mendengar dan menampung, tetapi juga mengawal agar bisa diakomodasi dalam peraturan pemerintah sebagai implementasi UU Cipta Kerja yang harus selesai tiga bulan,” kata Pratikno.
Dampak Covid-19 terhadap kesehatan serta perekonomian dan sosial, tambah Pratikno, diakui tidak mudah ditangani setiap pemerintah mana pun, termasuk Indonesia. Namun, di saat pandemi yang berdampak ekonomi dan sosial sehingga banyak negara slow down, Presiden Jokowi justru berpikir sebaliknya. Yaitu, agar Indonesia memanfaatkan situasi dengan melakukan lompatan di antaranya reformasi struktural dan birokrasi lewat UU Cipta Kerja.
”Apa pun namanya, satgas atau apa, menurut Presiden, tak hanya mendengar dan menampung, tetapi juga mengawal agar bisa diakomodasi dalam peraturan pemerintah sebagai implementasi UU Cipta Kerja yang harus selesai tiga bulan”
”Dengan reformasi struktural ini, diharapkan mata rantai birokrasi yang panjang dan inefisiensi bisa diputus sehingga upaya pengembangan UMKM dan penciptaan lapangan kerja dapat lebih terbuka luas karena investasi dan tumbuhnya ekonomi. Potensi korupsi dikurangi,” jelas Pratikno.
Selain itu, UU ini juga menjamin kemudahan bagi pengembangan usaha baru, terutama UMKM, karena perizinan banyak diganti dengan pendaftaran, penggratisan sertifikasi halal, termasuk penyerapan produk UMKM.
Menurut Pratikno, Presiden Jokowi beberapa kali menegaskan, UU Cipta Kerja ini disiapkan untuk kepentingan anak-anak muda dan mahasiswa calon pencari kerja, serta buruh. Karena itu, mereka seharusnya mendukungnya. ”UU ini disusun untuk ciptakan lapangan kerja seluas-luasnya dengan membuka pengembangan usaha dan perlindungan tenaga kerja,” tutur Pratikno.
Penghapusan pasal
Terkait perbedaan jumlah halaman UU Cipta Kerja dari DPR ke pemerintah, dan dari pemerintah ke PP Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia, Pratikno menegaskan, pemerintah sama sekali tak mengubah substansi UU meskipun berbeda jumlah halamannya. Perbedaan jumlah halaman dari 812 menjadi 1.187 halaman dinilai karena penyusunan format dan ukuran kertas yang berbeda saat di DPR dan Sekretariat Negara.
”Naskah yang sama jika diformat pada ukuran kertas berbeda, dengan margin dan font berbeda, akan menghasilkan jumlah halaman berbeda. Setiap naskah UU yang akan ditandatangani presiden dilakukan di format kertas dan ukuran baku,” ujarnya.
Sejauh ini, lanjut Pratikno, setiap item perbaikan teknis oleh Setneg, seperti perubahan redaksional dan lain-lain, semuanya atas persetujuan DPR, dengan bukti paraf Ketua Badan Legislasi DPR.
Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas yang ditanya di DPR mengakui adanya koreksi Pasal 46 Undang-Undang Migas yang dicantumkan di UU Cipta Kerja. Pasal 46 itu isinya tentang tugas Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas). Pasal itu disebut telah disepakati untuk dikembalikan kepada UU Migas atau UU yang ada.
”Jadi, kebetulan Setneg yang menemukan. Itu seharusnya memang dihapus. Karena terkait tugas BPH Migas. Awalnya ada keinginan pemerintah mengusulkan pengalihan kewenangan BPH Migas soal toll fee, yakni dari BPH ke ESDM. Atas dasar itu, kami bahas di Panja dan diputuskan tidak diterima. Tetapi, dalam naskah yang kami kirim ke Setneg, ternyata masih tercantum,” kata Supratman.
Terkait perubahan itu, karena masih merujuk keputusan Panja, Supratman menilai, tak ada perubahan substansi RUU Cipta Kerja. Perubahan di Setneg hanya terkait dengan teknis karena masih ada pencantuman pasal yang memang seharusnya dihapus di rapat Panja Baleg.
”Jadi, kebetulan Setneg yang menemukan. Itu seharusnya memang dihapus. Karena terkait tugas BPH Migas. Awalnya ada keinginan pemerintah mengusulkan pengalihan kewenangan BPH Migas soal toll fee, yakni dari BPH ke ESDM. Atas dasar itu, kami bahas di Panja dan diputuskan tidak diterima. Tetapi, dalam naskah yang kami kirim ke Setneg, ternyata masih tercantum”
Staf Khusus Presiden bidang Hukum Dini Purwono menyatakan, ”Proses cleansing oleh Setneg sudah selesai, hanya Pasal 46 yang dikeluarkan dari UU Cipta Kerja. Sekarang naskahnya dalam proses penandatangan Presiden,” kata Dini.
Sementara itu, meski sudah dibahas empat hari, perwakilan unsur pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja dalam forum tripartit belum berhasil menyepakati sejumlah isu di rancangan PP turunan kluster ketenagakerjaan UU Cipta Kerja. Kebuntuan berkisar di isu seperti jangka waktu pekerja kontrak, batas jenis pekerjaan alih daya, serta ketentuan formulasi upah minimum.
Sejauh ini, baru rancangan PP Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja Waktu Istirahat, Pemutusan Hubungan Kerja, dan RPP Pengupahan dibahas.