Warisan Penipuan Ponzi di Bisnis Emas ”Pre-order”
Cara memperoleh banyak uang dalam tempo cepat senantiasa memikat. Namun, hasilnya, uang justru melayang dan yang terbukti tersangkut jaringan penipuan siap-siap masuk bui.
Penipu legendaris Charles Ponzi tutup usia 71 tahun silam, empat tahun setelah Perang Dunia II usai. Namun, warisan ilmunya abadi hingga era digital, salah satunya lewat bisnis emas ”pre-order” yang dimotori RPS (31). Para pengecer dan pembeli emas yang bersumber dari ibu rumah tangga itu merugi hingga ratusan miliar rupiah.
Sekar, bukan nama sebenarnya, berutang ke bank hingga Rp 200 juta. Uang sebesar itu cukup untuk mendapatkan satu mobil keluarga yang muat tujuh penumpang. Sayangnya, perempuan 29 tahun itu tidak bisa menikmati uang pinjamannya untuk kebutuhan pribadi.
Keikutsertaan dalam bisnis penjualan emas dengan sistem pemesanan (pre-order) jadi malapetaka bagi perekonomian Sekar. Penyaluran logam mulia yang tersendat berbulan-bulan membuat ia menanggung utang pengembalian uang hingga Rp 400 juta kepada tiga konsumennya. Utang ke bank jadi jalan untuk mencicil utang kepada para pemesan emas.
”Sisanya aku belum bisa lagi. Aku nungguin dari temenku dan dia juga ga bisa ngasih,” tutur Sekar saat dihubungi pada Kamis (22/10/2020). Temannya adalah pengecer perantara bagi Sekar. Pemasok utama kemudian diketahui sebagai RPS.
Jerat mujarab penipuan dengan resep iming-iming keuntungan besar amat terkait dengan mentalitas jalan pintas di masyarakat. Cara memperoleh banyak uang dalam tempo cepat senantiasa memikat.
Sekar mulai jadi pelanggan temannya saat Agustus 2019 ia terpengaruh iming-iming harga emas yang lebih murah jika membeli lewat dia dibandingkan dengan harga pasaran. Bedanya bisa sekitar Rp 50.000 per gram (pada November, Sekar membeli dengan harga Rp 635.000 per gram, sedangkan harga pasaran Rp 690.000 per gram). Syaratnya, Sekar membayar terlebih dulu, kemudian emas dijamin tiba dua pekan setelahnya.
Karena masih coba-coba, Sekar membeli 30 gram dulu. ”Dalam dua minggu beneran langsung ada,” ujarnya.
Teman Sekar membuka gelombang pemesanan lagi pada September. Karena sudah percaya dengan kinerja temannya pada pemesanan pertama, ia membeli lagi. Kali ini, dengan bujukan temannya, ia ikut menggalang pemesanan dengan mengambil untung per gram dari harga yang ditawarkan temannya. Namun, penyaluran emas mulai terlambat, baru diterima setelah sebulan.
Meski demikian, Sekar masih percaya karena barang tetap datang. Pada pemesanan bulan November, ia kembali memesan, menyetor uang kepada temannya untuk mendapatkan total 1,5 kg emas bagi dia dan tiga konsumen.
”Nah, November ini kita merasa aneh karena dibilang barang baru ada Januari, alasannya karena akhir tahun,” ucap Sekar. Ditagih bulan Januari, penyalur emas beralasan lagi, pergantian Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dari Rini Soemarno ke Erick Thohir mengganjal penyaluran mengingat PT Aneka Tambang Tbk (Antam) sebagai sumber emas merupakan perusahaan pelat merah.
Penyalur emas meminta perpanjangan waktu hingga Februari. Saat ditagih lagi, penyalur beralasan sedang ada audit. Meski demikian, teman Sekar masih bisa menyalurkan 400 gram dari total 1,5 kg pesanan. Demi menjaga kepercayaan, Sekar merelakan emas tersebut diberikan kepada para konsumennya terlebih dulu, padahal ia secara pribadi juga memesan 220 gram.
Namun, itikad baik Sekar belum diikuti oleh temannya. Ancaman bahkan tersirat saat Sekar mengutarakan niat melaporkan temannya ke polisi. Temannya menyebutkan, uang dia dan konsumen-konsumennya bisa tidak kembali sepeser pun jika langkah hukum ditempuh.
Lalu, tersiar kabar puluhan pengecer dan pembeli emas, termasuk teman Sekar, menggerebek rumah RPS di Jurang Mangu Timur, Tangerang Selatan, akhir April. Sama seperti Sekar, mereka menuntut pertanggungjawaban atas kemacetan penyaluran emas. Yang meminta pengembalian uang pun mulai kehilangan harapan.
Sekar masih lebih beruntung. MI (29), pengecer lain yang juga tidak berhubungan langsung dengan RPS, telanjur sudah menyetor Rp 1,2 miliar. Selain uang pribadi, jumlah tersebut juga berasal dari 28 konsumen yang memesan kepada MI.
Baca juga: Waspadai Jual-Beli Emas dengan Sistem ”Pre-order”
Pria ini membeli lewat NW (28), teman istrinya, yang mendapat pasokan dari RPS. Ia bercerita, pada awal 2019, NW menawarkan emas dengan harga murah lewat pemesanan. Mereka pun mencoba membeli 5 gram terlebih dulu, dan sebulan kemudian emas benar-benar sampai ke tangan keduanya. Karena itu, mereka percaya itu transaksi yang terjamin meski harga emas tergolong miring.
NW menyampaikan, mereka bisa menawarkan kembali kepada konsumen lain dengan margin Rp 20.000-Rp 30.000 per gram. Ia dan istri pun mencoba berbisnis dengan menawarkan kepada kenalan-kenalan. Banyak yang tertarik.
”Awal-awal lancar, sekali dua kali masih oke. Nah, pas terakhir pada bulan April (2020), macet,” kata MI. Pengakuan NW, penyaluran emas dari RPS kepada dirinya pun macet, padahal NW kabarnya sudah menyetor Rp 5 miliar, termasuk di dalamnya Rp 1,2 miliar yang sudah diserahkan MI.
MI bingung karena konsumen-konsumennya menuntut pertanggungjawaban. Ia mengerti sebab banyak di antara konsumennya yang juga mengecer emas seperti dirinya, yang juga ditagih oleh konsumen masing-masing. Namun, ia pun kesulitan untuk mendapatkan emas atau pengembalian uang dari NW.
Sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada MI dan konsumen lain, NW melaporkan RPS ke polisi dengan dugaan tindak pidana pencucian uang. Namun, MI juga berusaha menunjukkan dirinya bertanggung jawab kepada konsumen-konsumennya, dengan cara mencicil pengembalian uang. Sejauh ini, ia sudah mengeluarkan Rp 100 jutaan dari kocek pribadi. Ia tengah merintis usaha penatu (laundry) agar pemasukan bisa untuk segera menuntaskan cicilan pengembalian uang.
Setelah bencana datang, MI baru menyadari bahwa ia terjebak bisnis skema Ponzi. Istilah itu diambil dari nama imigran asal Italia yang tersohor di Amerika Serikat karena penipuan profesionalnya, yaitu Charles Ponzi (1882-1949).
Dalam tulisan di Kompas (29/8/2014), Kepala Makroekonomi dan Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat menuturkan, Ponzi menawarkan surat utang berupa promissory notes (PN) berbunga 50 persen dalam waktu 90 hari lewat perusahaan bernama The Security Exchange Company, pada akhir Desember 1919. Itu artinya, uang investor akan berganda dalam sekitar tiga bulan.
Ribuan orang terpikat membeli PN Ponzi, yang dijual dengan nilai 10 hingga 50.000 dollar AS, karena melihat keuntungan yang dijanjikannya terbukti kepada investor-investor sebelumnya. Padahal, itu hanyalah permainan uang.
Ponzi memakai uang investor yang masuk belakangan guna membayar kewajiban investor terdahulu. Kewajiban bagi investor yang menaruh uang belakangan dipenuhi dengan dana dari investor yang masuk di gelombang berikutnya lagi. Begitu seterusnya lingkaran setan tersebut berjalan.
Kejatuhan melanda setelah harian lokal terbitan 26 Juli 1920 menggugat keabsahan usaha Ponzi. Massa yang panik lantas secepatnya meminta dia mengembalikan investasi mereka. Bisnisnya dinyatakan bangkrut tanggal 10 Agustus 1920, kemudian ia dipenjara.
Metode gali lubang-tutup lubang Ponzi tidak hanya bisa berlaku di dunia investasi. RPS, misalnya, mengaplikasikan ilmu Ponzi pada perdagangan emas. Jika Ponzi menjanjikan bunga investasi yang kelewat besar, RPS menjanjikan harga emas yang sangat murah dibandingkan dengan harga normal. Karena sangat murah, para pembeli pun turut tertarik menjadi pengecer emas karena bisa meraih keuntungan yang lumayan.
Baca juga: Tersangka Penipuan Jual-Beli Emas Juga Dilaporkan ke Polda Metro Jaya
Kepada para pemesan emas, RPS mengaku memiliki perjanjian bawah tanah dengan pegawai Antam sehingga mendapatkan emas dengan harga lebih miring. Padahal, ia membeli di toko emas dengan harga umum. Untuk menutup selisih harga, ia terlebih dulu menunggu uang masuk dari pesanan gelombang berikutnya.
RPS terancam menghadapi nasib serupa Ponzi. Sebab, sejumlah konsumen sudah melaporkannya ke aparat, antara lain ke Kepolisian Daerah Metro Jaya dan Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Badan Reserse Kriminal (Dittipideksus Bareskrim) Polri. Dari laporan yang masuk, total kerugian para korban mencapai Rp 271,59 miliar. Ia pun sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Dittipideksus Bareskrim.
Dasar yang digunakan adalah Pasal 378 dan atau Pasal 372 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dan atau Pasal 2 Ayat 1, Pasal 3, 4, dan 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Berdasarkan Pasal 378 dan 372 KUHP, RPS menghadapi ancaman hukuman penjara maksimal 4 tahun. Namun, jika berdasarkan UU No 8/2010, ia terancam dibui hingga 20 tahun.
Meski demikian, Direktur Tipideksus Bareskrim Brigadir Jenderal (Pol) Helmy Santika menyatakan, pihaknya tidak menahan RPS karena ia kooperatif. ”Tersangka dikenakan wajib lapor pada Senin, Rabu, serta Jumat, dan selalu hadir,” ujar Helmy.
Hasil pemeriksaan polisi pun menepis kabar kongkalikong RPS dengan pihak lain guna menyediakan emas murah. Menurut Helmy, semua transaksi dilakukan langsung oleh tersangka dengan penjual, baik secara daring maupun luring, di setidaknya lima toko.
Kompas berupaya meminta tanggapan RPS, tetapi nomor ponsel dia dan suaminya, SF, tidak aktif. Saat rumahnya disambangi pada Rabu (21/10/2020), seorang perempuan memberi tahu bahwa pemilik rumah tidak di tempat.
Di Antam, transaksi emas logam mulia dilakukan dengan sistem cash and carry dan tidak menerapkan sistem pre-order atau lelang.
Antam melalui Unit Bisnis Pengolahan dan Pemurnian Logam Mulia (UBPP LM) sebelumnya sudah mewanti-wanti publik agar mewaspadai penipuan jika ingin mendapatkan emas batangan Antam LM. Lewat unggahan di akun Instagram @antamlogammulia, masyarakat didorong untuk hanya membeli di Butik Emas Logam Mulia, atau mengunjungi laman resmi www.logammulia.com.
Menurut SVP Corporate Secretary PT Antam Tbk Kunto Hendrapawoko, di Antam, transaksi emas logam mulia dilakukan dengan sistem cash and carry dan tidak menerapkan sistem pre-order atau lelang.
Namun, janji keuntungan yang besar memang manjur untuk memperdaya masyarakat dari waktu ke waktu. Di Jambi, 2.700-an warga menjadi korban investasi fiktif berkedok bisnis sapi perah berbasis di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Dengan nilai investasi mulai dari Rp 15 juta, calon investor bisa menerima imbal hasil Rp 1,2 juta per bulan selama enam bulan per tahun.
Sama seperti pasokan emas RPS yang lancar dulu, macet kemudian, pembayaran imbal hasil bagi para investor sapi perah di Jambi tidak bermasalah selama tiga tahun. Mulai Januari 2020, pembayaran macet sehingga sejumlah korban mengadu ke polisi (Kompas, 6/3/2020).
Kasus penipuan lain yang fenomenal, paket perjalanan umrah berbiaya murah ala PT First Anugerah Karya Wisata (First Travel). Pemilik perusahaan, pasangan suami istri Andika Surachman dan Anniesa Desvitasari Hasibuan, menawarkan paket dengan harga Rp 14,3 juta saat harga paket wajarnya Rp 19 juta-Rp 22 juta.
Menelusuri data First Travel, ada 72.682 orang yang sudah membayar untuk paket umrah bulan Desember 2016 hingga Mei 2018. Dari jumlah tersebut, baru 14.000-an orang atau 19,26 persen yang sudah diberangkatkan (Kompas, 30/8/2017).
Dalam pandangan guru besar sosiologi ekonomi Universitas Airlangga, Bagong Suyanto, jerat mujarab penipuan dengan resep iming-iming keuntungan besar amat terkait dengan mentalitas jalan pintas di masyarakat. Cara memperoleh banyak uang dalam tempo cepat senantiasa memikat.
Namun, Bagong juga melihat mentalitas itu terbentuk karena tidak ramahnya struktur sosial bagi masyarakat kalangan menengah ke bawah. ”Orang susah naik kelas karena peluangnya terbatas,” ujarnya.
Pada satu titik, kondisi tersebut kemungkinan memicu frustrasi sehingga sejumlah warga jadi sasaran empuk penipu yang menebar janji uang instan. Ini membuat imbauan saja tidaklah cukup untuk membuat masyarakat mewaspadai modus-modus penipuan.
Bagong merekomendasikan agar pemerintah terlibat menciptakan banyak pintu bagi warga untuk naik kelas, misalnya dengan mendorong tumbuhnya usaha-usaha alternatif dan mencegah terjadinya monopoli usaha.
Ia mencontohkan, ada pengusaha yang menguasai bisnis dari hulu hingga hilir sehingga pasar hanya dikuasai segelintir orang. Jika kesempatan usaha bisa diakses banyak orang, potensi warga terjerat penipuan berkurang.
Sepanjang kesempatan warga untuk naik kelas terbatas, selama itu pula sasaran empuk terus tersedia bagi jiwa-jiwa penipu yang kerasukan ”arwah Ponzi”.