Sejumlah gim baru ditemukan melanggar setelah beredar di Google Play Store dan diunduh 20 juta kali.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tiga gim baru untuk anak ditemukan melanggar regulasi pengumpulan data Google Play Store setelah diunduh lebih dari 20 juta kali. Temuan ini pun merupakan hasil investigasi pihak independen. Hal ini menyoroti bagaimana pengawasan Google terhadap aplikasi yang beredar melalui platformnya.
Peneliti di lembaga non-profit International Digital Accountability Council (IDAC) menemukan bahwa tiga aplikasi gim anak-anak bernama Princess Salon, Number Coloring, dan Cats & Cosplay, melanggar regulasi pengumpulan data yang diterapkan Google Play Store. Ketiga aplikasi itu sudah beredar di platform perdagangan aplikasi tersebut untuk sekian waktu. Tidak disebutkan sejak kapan tiga gim tersebut tersedia di Play Store, tetapi secara total telah diunduh lebih dari 20 juta kali. Temuan tersebut telah disampaikan kepada Google.
”Perilaku sejumlah aplikasi tersebut memicu perhatian kami mengenai praktik pengumpulan data yang mereka lakukan,” kata Quentin Palfrey, Ketua IDAC, melalui keterangan resminya, Jumat (23/10/2020) malam waktu Indonesia.
Google, sebagai pengelola Play Store, mengatakan bahwa setelah mendapatkan informasi dari IDAC, pihaknya menggelar investigasi dan mengonfirmasi temuan tersebut. Kini, ketiga aplikasi itu telah diturunkan dari platform perdagangan aplikasi tersebut.
”Kami dapat mengonfirmasi bahwa sejumlah aplikasi yang disebut dalam laporan tersebut telah kami turunkan. Kapan pun kami menemukan aplikasi yang melanggar kebijakan (Play Store), kami akan bertindak,” kata seorang juru bicara Google.
Temuan IDAC menunjukkan bahwa ketiga gim anak-anak tersebut melanggar regulasi Play Store karena menyematkan Android Advertising ID (AAID) dengan identitas permanen perangkat pengguna, yakni Android ID.
AAID adalah sebuah parameter temporer yang dijadikan tempat menyimpan informasi sementara yang dapat digunakan sebagai dasar penargetan iklan. Perilaku pengguna diagregasi di AAID dan data perilaku ini bisa dipakai bersama aplikasi lain.
Misalnya, apabila warganet melakukan pencarian terhadap suatu barang di mesin pencari, sering kali produk serupa juga akan muncul sebagai iklan di sejumlah aplikasi lain.
Google melarang pengembang aplikasi untuk mengombinasikan pelacakan AAID dengan parameter lain yang permanen, seperti Android ID.
Apabila AAID dan identitas permanen ini dikombinasikan, pemasang iklan dapat terus mengikuti pengguna, bahkan lintas perangkat. Di sinilah pelanggaran yang tampaknya dilakukan oleh ketiga aplikasi tersebut.
Temuan IDAC ini menunjukkan bahwa masih ada celah pada proses pengawasan dan inspeksi yang dilakukan oleh Google terhadap setiap aplikasi yang hendak diedarkan melalui Play Store.
Saat ini Google Play Store adalah platform perdagangan aplikasi terbesar di dunia, dengan sekitar 2,7 juta aplikasi yang tersedia, berdasarkan Statista. Jumlah ini hampir 1 juta lebih banyak dibanding Apple App Store yang memiliki sekitar 1,8 juta aplikasi. Jauh di posisi ketiga dan keempat adalah Windows Store (669.000 aplikasi) dan Amazon Appstore (450.000 aplikasi).
Sebelumnya, pada pertengahan 2020, 38 aplikasi beauty camera—aplikasi kamera yang menyertakan filter kosmetik—sempat beredar di Google Play Store sebelum akhirnya diturunkan Google atas pelanggaran regulasi.
Saat itu, sejumlah aplikasi tersebut ditemukan menyusupkan adware yang memungkinkan iklan ditampilkan di luar aplikasi tersebut. Karakteristik ponsel pintar yang telah terinfeksi adware adalah kemunculan iklan di tempat-tempat yang tidak biasa.
”Tidak ada makan siang yang gratis”
Ketua Forum Keamanan Siber Indonesia (Indonesia Cyber Security Forum/ICSF) Ardi Sutedja mengatakan bahwa insiden semacam ini adalah wujud dari idiom populer ”tidak ada makan siang yang gratis”di dunia internet. Mungkin suatu aplikasi ataupun layanan digital dapat digunakan tanpa ditarik biaya, tetapi pengguna membayarnya dalam bentuk lain.
”Masyarakat harus menyadari dulu bahwa semua platform digital adalah sumber daya komunikasi yang teknologinya bukan milik kita, dan kita hanyalah sebagai pengguna yang ’numpang pakai secara gratis’. Secara filosofis, tidak ada makan siang yang gratis,” kata Ardi.
Untuk menghindari aplikasi-aplikasi yang merugikan semacam ini, kata Ardi, masyarakat diharapkan tidak mudah menggunakan aplikasi yang baru muncul, terlebih lagi tidak ada di Google Play Store dan Apple App Store.
Perlu dibiasakan pula, kata Ardi, sebelum mengunduh aplikasi dari kedua platform tersebut untuk membaca hasil penilaian dari para pengguna yang sudah mengunduh aplikasi tersebut. Dari penilaian tersebut akan terlihat bagaimana perilaku suatu aplikasi setelah diunduh dan digunakan.
Keluar dari layanan personalisasi iklan
Bagi para pengguna Android yang ingin mereset AAID untuk menonaktifkan iklan yang terpersonalisasi (personalized ads) dapat melakukannya melalui laman Settings/Pengaturan pada ponsel lalu memilih Google.
Setelah itu, masuk ke bagian Ads, dan aktifkan tombol di bagian ”Opt out of Ads Personalisation”. Apabila ini diaktifkan, artinya Anda memilih keluar dari layanan iklan yang terpersonalisasi.
Sementara bagi pengguna Apple iOS ataupun iPadOS, hal ini dapat dilakukan dengan masuk ke Settings/Pengaturan, lalu pilih Privacy/Privasi. Kemudian pengguna dapat memilih Apple Advertising/Pengiklanan Apple dan kemudian matikan opsi Personalised Ads/Iklan yang dipersonalisasi.
Bagi para pengguna komputer dengan sistem operasi Apple macOS, opsi ini dapat ditemukan melalui System Preferences lalu Security & Privacy. Setelah itu masuk ke bagian Privacy, lalu Apple Advertising dan nonaktifkan Personalized Ads.
Pengaturan ini juga tersedia pada sistem operasi Microsoft Windows 10. Untuk mengaksesnya, pengguna perlu mengklik tombol Start, Settings, dan Privacy. Dari jendela ini, nonaktifkan opsi yang menyatakan “Let apps use advertising ID to make ads more interesting to you based on your app activity”.