Alarm Demokrasi Telah Berbunyi
Hasil survei Indikator Politik Indonesia menunjukkan 36 persen responden memersepsikan Indonesia kini menjadi kurang demokratis. Perlu respons yang tepat dari para pengambil kebijakan untuk mengatasi hal itu.
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah pandemi Covid-19 dan tekanan ekonomi, persepsi publik mengenai demokrasi dinilai cukup kuat. Kendati demikian, gejala regresi demokrasi yang ditandai dengan terkikisnya kebebasan berekspresi dan berpendapat menjadi catatan krusial yang harus diperhatikan semua pihak, terutama elite politik dan pengambil kebijakan.
Persepsi publik itu terlihat dari survei melalui telepon yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia terhadap 1.200 responden selama rentang waktu 24-30 September 2020. Responden dipilih secara acak dari kumpulan responden yang sebelumnya pernah disurvei tatap muka langsung oleh Indikator pada rentang waktu Maret 2018-Maret 2020.
Dari 1.200 responden yang ditanyai tentang sistem pemerintahan, 62,4 persen responden menyatakan demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang terbaik walaupun sistem itu tidak sempurna. Adapun 19,3 persen responden lainnya tidak memedulikan sistem pemerintahan apa yang dianut, apakah demokrasi atau bukan demokrasi. Sebanyak 11,1 persen responden lainnya menjawab dalam kondisi tertentu sistem pemerintahan bukan demokrasi dapat diterima. Sisanya, responden tidak menjawab atau tidak tahu.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi dalam rilis survei yang digelar secara daring di media sosial, Minggu (25/10/2020), mengatakan, hasil riset itu merupakan kabar baik karena sebagian besar masyarakat menilai demokrasi masih merupakan pilihan sistem pemerintahan yang terbaik.
Hadir dalam diskusi itu, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Eva K Sundari; politisi Partai Demokrat, Hinca Pandjaitan; politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera; dan politisi Nasdem, Saan Mustopa.
Namun, Burhanuddin melanjutkan, persentase responden yang menyatakan demokrasi sebagai sistem terbaik menurun jika dibandingkan dengan hasil survei pada Februari 2020 yang besarnya 72,9 persen. Penurunan persepsi mengenai demokrasi ini diyakini dipicu oleh berbagai faktor, salah satunya pandemi Covid-19 dan tekanan berat terhadap ekonomi.
Alarm demokrasi
Ketika dirinci lebih jauh terkait dengan persepsi responden mengenai kondisi demokrasi ini, Burhanuddin menyatakan alarm demokrasi telah berbunyi. Sebab, banyak responden yang memersepsikan Indonesia kini menjadi kurang demokratis. Ada 36 persen responden menyatakan Indonesia menjadi kurang demokratis. Sebanyak 37 persen menyatakan keadaannya tetap sama dan hanya 17,7 persen responden yang menyatakan Indonesia menjadi lebih demokratis.
”Jumlah responden yang memersepsikan Indonesia menjadi kurang demokratis lebih besar (36,0 persen) daripada mereka yang menilai demokrasi menjadi lebih baik (17,7 persen). Ini tentu sesuatu yang perlu diantisipasi oleh para elite politik,” kata Burhanuddin.
Menariknya, sebagian besar responden yang menyatakan demokrasi tidak menjadi lebih baik berasal dari kalangan perempuan, yakni 43,6 persen responden. Selain itu, anak muda menjadi kalangan paling kritis terhadap kondisi demokrasi karena sebanyak 40,3 persen responden yang menilai kualitas demokrasi turun usianya kurang dari 21 tahun. Bahkan, dari kalangan muda lainnya, yakni dari usia 22-25 tahun, persentasenya menjadi lebih besar, yakni 48,8 persen.
”Ini menarik karena tampaknya anak-anak muda merasa kondisi Indonesia tidak lebih demokratis dibandingkan dengan sebelumnya. Ini bisa dipahami karena baseline perbandingan mereka ialah reformasi, sebab ketika anak-anak ini terlahir, mereka sudah berada di nuansa demokratis. Berbeda, misalnya, dengan kalangan yang lebih tua secara demografis, mereka menggunakan baseline Orde Baru sehingga demokrasi saat ini dinilai masih lebih baik,” ungkap Burhanuddin.
Indikasi mengenai persepsi regresi demokrasi ini juga didukung oleh kondisi lainnya yang diukur, yakni tentang makin tingginya persepsi responden atas ketakutan warga untuk menyatakan pendapat.
Sebanyak 47,7 persen responden setuju dengan persepsi warga makin takut menyatakan pendapat; 21,9 persen sangat setuju; 22,0 persen kurang setuju; dan 3,6 persen tidak setuju sama sekali. Mayoritas responden juga cenderung setuju atas persepsi warga makin sulit berdemonstrasi, yakni sangat setuju 20,8 persen responden, agak setuju 53,0 persen, kurang setuju 19,6 persen, dan tidak setuju sama sekali 1,5 persen.
Burhanuddin mengatakan, dari kajian demografi diketahui, sebagian besar responden yang menyatakan situasi kurang demokratis, selain berasal dari kalangan perempuan dan anak muda, juga dari kelompok terdidik, yakni kelas menengah ke atas. Sekalipun jumlah kelompok kritis ini tidak banyak, mereka memiliki pengaruh dan kapasitas untuk bersuara.
Hal lain yang terungkap ialah adanya kaitan antara persepsi responden dan latar belakang mereka secara politis, baik pilihan presiden maupun afiliasi partai politik.
”Pemilih Prabowo Subianto dalam pilpres (pemilu presiden) lalu cenderung menganggap Indonesia kurang demokratis. Begitu juga responden yang berafiliasi dengan Partai Gerindra. Variasi juga ditunjukkan oleh responden yang berafiliasi dengan Partai Nasdem, tidak seluruhnya memberikan penilaian baik terhadap kualitas demokrasi Indonesia,” katanya.
Kepuasan atas demokrasi juga dipengaruhi oleh persepsi responden dalam melihat kemampuan pemerintah mengatasi pandemi Covid-19.
Survei Indikator menunjukkan adanya irisan antara responden yang merasa demokrasi tidak membaik dan responden yang menilai penanganan pandemi oleh pemerintah kurang terkendali. Responden yang sebelumnya menyatakan Indonesia kurang demokratis, sebanyak 41,4 persen di antaranya juga menyatakan penanganan pandemi kurang terkendali.
Perbaiki komunikasi
Terkait persepsi ini, menurut Burhanuddin, mesti direspons dengan penanganan yang tepat serta melalui komunikasi empatik.
Presiden Joko Widodo selama ini dikenal dengan blusukannya. Sekalipun itu tidak dapat lagi dilakukan di masa pandemi, Jokowi memiliki rekam jejak yang baik dalam melakukan komunikasi publik. Sebagai contoh, untuk menata pedagang kaki lima, Jokowi sampai berkali-kali melakukan dialog, sampai akhirnya pedagang ikhlas memindahkan barangnya sendiri.
”Hal yang sama mestinya dilakukan Presiden terkait dengan pro dan kontra RUU Cipta Kerja. Harusnya jangan didekati dengan cara kurang demokratis. Ini saatnya bagi Presiden untuk mendengarkan pihak yang kurang setuju. NGO, masyarakat sipil, masyarakat adat, kini saatnya Presiden mendengarkan mereka agar ketidakpuasan atas hal-hal yang terkait dengan proses maupun substansi itu bisa diminimalkan,” ujarnya.
Politisi PDI-P, Eva K Sundari, mengatakan, demokrasi Indonesia tidak terlalu buruk jika dibandingkan dengan negara tetangga di Asia Tenggara, seperti Kamboja, Thailand, Myanmar, bahkan Malaysia.
Terkait hasil survei yang menyatakan perempuan sebagai pihak yang paling tidak puas terhadap demokrasi di Indonesia, Eva menilai karena selama pandemi terjadi peningkatan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) hingga 30 persen.
”Dalam masa pandemi ini ternyata perempuan itu di lapisan yang paling rentan. KDRT naik 30 persen, perkawinan anak naik sekian puluh persen. Kebebasan beragama yang paling terpukul ialah kelompok minoritas. Itu yang menyebabkan perempuan paling tidak nyaman,” ujarnya.
Politisi Partai Demokrat, Hinca Pandjaitan, mengatakan, fenomena penggunaan UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang berlebihan turut menyumbang pada keterbatasan hak-hak sipil, terutama dalam berekspresi dan berpendapat.
”Mulanya UU ini bukan untuk mengatur informasi, tetapi semangat awalnya adalah untuk mengatasi transaksi uang ilegal, yang dulu dimanfaatkan untuk terorisme dan sebagainya. Namun, sekarang yang menonjol ialah pasal-pasal yang terkait dengan informasi, bukan lagi transaksi elektroniknya,” kata Hinca.
Baca juga : Ketika Suara Kritis Muncul
Politisi PKS, Mardani Ali Sera, menyampaikan, demokrasi tidak boleh meniadakan keterlibatan publik. Tergerusnya kepercayaan publik saat ini timbul karena akumulasi kekecewaan, yakni sejak disahkannya UU Komisi Pemberantasan Korupsi hingga pembahasan RUU Cipta Kerja. Hal ini harus diatasi dengan komunikasi yang baik, bukan dengan aksi-aksi yang tidak demokratis.
Sementara itu, politisi Nasdem, Saan Mustopa, mengatakan, pemerintah dalam kondisi sulit karena ada upaya menjaga agar ekonomi tidak terjun bebas, sekaligus pandemi teratasi, dan stabilitas politik terjaga. Turunnya kualitas demokrasi pun tidak hanya dialami Indonesia, tetapi juga dunia secara umum. Faktor terjadinya pandemi juga memberi tekanan dari sisi politik.
”Mudah-mudahan, kalau Covid-19 selesai, kebebasan berekspresi masyarakat dapat kembali normal selayaknya yang diyakini oleh 62 persen responden,” katanya.