Dinamika Kehidupan Monarki di Asia Tenggara
Sejumlah negara di Asia Tenggara memilih tetap mempertahankan monarki dalam sistem politik mereka. Adaptasi pada kebaruan memengaruhi kelangsungannya.
BANGKOK, SABTU — Sudah lama terjadi di Thailand bahwa setiap percakapan tentang monarki atau kerajaan membutuhkan tingkat kewaspadaan ekstra. Digambarkan media Bloomberg, seseorang harus hati-hati memperhatikan sekelilingnya, siapa yang bisa dipercaya dan siapa yang berpotensi tersinggung. Kata-kata harus dipilih dengan saksama.
Kata-kata sering kali harus dipilih dan diutarakan dengan bahasa berkode. Ini semata untuk membangun rasa percaya, bahkan sebelum memberikan kritik ringan terhadap institusi yang dilindungi oleh undang-undang dan dapat memenjarakan dengan hukuman penjara yang lama. Kelindan kehatian-hatian itu lekat dengan ketakutan.
Ketakutan itu berakar dalam sejarah. Pertentangan yang dirasakan terhadap monarki telah digunakan selama bertahun-tahun untuk membenarkan kudeta. Ia mengirim lawan politik ke penjara atau pengasingan atau bahkan membunuh mereka. Ini pernah terjadi dalam peristiwa yang mengakibatkan tewasnya sejumlah mahasiswa pengunjuk rasa di Universitas Thammasat, Bangkok, pada 1976.
Baca juga : Mencermati Krisis Politik di Thailand
Maka, menjadi sebuah berita besar, bersejarah, sekaligus berbahaya apa yang terjadi di Thailand beberapa bulan terakhir ini. Gelombang besar pengunjuk rasa memasukkan gugatan terhadap posisi raja dan kerajaan dalam salah satu agenda tuntutannya. Sebagian besar pengunjuk rasa mahasiswa melanggar tabu yang mengakar. Mereka secara terbuka menyerukan pengurangan kekuasaan Raja Maha Vajiralongkorn.
”Jika demonstrasi tidak berhenti, ini bisa menjadi momen yang sangat berbahaya bagi Thailand,” kata Paul Chambers dari Pusat Studi Komunitas ASEAN Universitas Naresuan, yang sering menulis tentang militer Thailand. ”Pemerintah mungkin dengan sangat brutal menekan mereka atau menghilangkan pemimpin demonstrasi.”
Thailand mendefinisikan dirinya sebagai negara demokrasi dengan raja sebagai kepala negara. Media The Economist menyebutnya monarki yang dihormati. Foto-foto bangsawan menghiasi gedung-gedung publik dan rumah-rumah pribadi. Hari Ayah dirayakan pada ulang tahun mendiang Raja Bhumibol Adulyadej. Warga Thailand mendengar lagu kebangsaan sebelum film mulai diputar di bioskop.
Thailand memang menghapus sifat monarki absolut pada 1932. Namun, kerajaan menyaksikan kebangkitan kekuasaan selama 70 tahun pemerintahan Raja Bhumibol yang berakhir dengan kematiannya pada 2016.
Thailand memang menghapus sifat monarki absolut pada 1932. Namun, kerajaan menyaksikan kebangkitan kekuasaan selama 70 tahun pemerintahan Raja Bhumibol hingga akhir hayatnya pada 2016. Sejak mengambil alih, Vajiralongkorn telah menunjukkan otoritasnya sebagai kepala negara secara lebih terbuka.
Secara teknis, Raja Vajiralongkorn memerintah sebagai raja konstitusional. Namun, struktur sebelumnya tidak pernah hilang seluruhnya. Raja ibarat duduk di puncak masyarakat dalam peran setengah dewa. Para pembela sisa-sisa aturan itu telah lama berbeda pandangan dengan mereka yang mengklaim mewakili sumber otoritas alternatif, yakni rakyat Thailand. Perkembangan zaman tampaknya menuntun kondisi itu.
Konflik membantu menjelaskan mengapa Thailand mengalami 12 kudeta dan 20 konstitusi sejak 1932. Sejak 1950-an, hubungan simbiosis antara tentara dan istana telah memperkuat legitimasi rezim militer. Selama dua dekade terakhir, musuh terbesar dari elite semacam itu adalah Thaksin Shinawatra, seorang perdana menteri populis yang digulingkan oleh tentara pada 2006. Para pendukungnya, yang dikenal sebagai kaus merah, bertempur melawan musuh berbaju kuning mereka di jalan-jalan pada beberapa kesempatan dalam beberapa tahun setelah dia kehilangan kekuatan.
Baca juga : Kasur dan Makan Gratis demi Perjuangan Demokrasi di Thailand
Jalan Raja Vajiralongkorn menuju takhta tidaklah sederhana. Elite Thailand menentangnya saat ayahnya yang populer masih hidup. Raja Bhumibol Adulyadej dianggap raja terkaya di dunia. Kekayaannya melebihi penguasa Timur Tengah yang diberkahi minyak dan bangsawan Eropa dengan kastil dan istananya.
Terlepas dari kerja sama Raja Bhumibol dengan rezim militer, jutaan orang Thailand merasa Raja Bhumibol lebih menunjukkan kebajikan yang diharapkan dari seorang raja Buddha. Itu berbeda dengan Raja Vajiralongkorn. Sang raja kini bahkan tidak tinggal di Thailand. Dia memerintah negara dengan 70 juta orang dari tempat yang berjarak 5.000 mil lebih, di Jerman.
Kerajaan lain
Selain di Thailand, ada tiga monarki lain di Asia Tenggara, yakni Brunei Darussalam, Kamboja, dan Malaysia. Brunei mengadopsi sistem kerajaan yang bersifat absolut. Thailand bersama Kamboja dan Malaysia berbentuk monarki konstitusional.
Pengamat sosial dan politik Asia Tenggara dari London School of Economics, mendiang Michael Leifer, pernah mengatakan, terlepas dari pergolakan institusional, seperti kolonialisme dan upaya untuk lepas dari kolonialisme, sistem monarki di Asia Tenggara ada karena politik. Kehidupan pribadi sosok-sosok yang lekat dengan kerajaan itu menjadi dinamika tersendiri dengan kerajaan sebagai sistem di satu negara.
Brunei adalah salah satu dari sedikit kerajaan absolut yang tersisa di dunia. Brunei memang memiliki parlemen, tetapi pemilihan umum belum diadakan sejak 1962. Media ABC melukiskan Sultan Hassanal Bolkiah, Sultan Brunei, sebagai salah satu orang terkaya di dunia berkat cadangan minyak dan gas Brunei yang melimpah. Forbes pernah mencatat kekayaan pribadi Sultan Brunei bernilai 40 miliar dollar AS. Tahun ini, Sultan Bolkiah akan memegang kesultanan sepanjang 53 tahun, terlama kedua sebagai pemimpin kerajaan di dunia setelah Ratu Elizabeth II.
Lewat sejarah panjang invasi dan kontrol asing, hukum Brunei yang sekarang merdeka merupakan campuran dari hukum umum Inggris dan hukum syariah yang ketat. Terlepas dari moralitas berbasis Islam yang ketat di negara itu, keluarga kerajaan terkenal karena pengeluarannya yang mencolok. Karena sumber daya alamnya, Brunei menduduki peringkat kelima negara terkaya di dunia dan memiliki salah satu kualitas hidup tertinggi di dunia.
Sementara itu, Kamboja mengikuti jejak Thailand dan pada 2018 memperkenalkan hukum le majeste. Lewat hukum itu, mengkritik atau menghina raja merupakan kejahatan. Monarki bersejarah Kamboja didokumentasikan dengan baik dan telah mengalami beberapa evolusi dramatis sejak didirikan 2.000 tahun lalu. Ini termasuk nama-nama raja pertamanya, yang merupakan seorang perempuan. Ratu Soma, sang ratu pertama, memerintah bersama suaminya, Kaundinya I.
Suksesi Raja Kamboja dipindahkan ke model pemilihan pada 1993. Raja terpilih adalah Raja Norodom Sihamoni. Raja harus memegang peran seumur hidup, berusia setidaknya 30 tahun, dan garis keturunannya dapat dilacak ke salah satu dari dua rumah kerajaan bersejarah Kamboja, yakni Norodom atau Sisowatch. Peran raja adalah seremonial, tetapi dia sejatinya memegang beberapa kekuasaan, termasuk menunjuk perdana menteri dan kabinet.
Para raja di Malaysia, sementara itu, dipilih untuk masa jabatan lima tahun oleh penguasa sembilan negara bagian Malaysia. Mereka bersama-sama membentuk Conference of Rulers. Hanya sembilan penguasa ini yang dapat mewakili kerajaan, dan semuanya harus laki-laki, Muslim Melayu keturunan kerajaan. Kebanyakan dari sembilan negara bagian itu memiliki penguasa turun-temurun.
Raja yang juga dikenal sebagai Yang Diertuan Agung ini memiliki kekuasaan luas melalui konstitusi. Meskipun demikian, pada kenyataannya kekuasaan tersebut sangat terbatas. Raja di negara itu dapat memilih perdana menteri dari mereka yang terpilih menjadi anggota parlemen meski dia tidak dapat memecat sang PM. Perannya juga termasuk menghadiri fungsi diplomatik dan menjadi kepala simbolis angkatan bersenjata Malaysia.
Pavin Chachavalpongpun dari Pusat Studi Asia Tenggara Universitas Kyoto mengingatkan, sejarah panjang monarki di Asia Tenggara ini tidak secara otomatis menawarkan gambaran yang indah bagi masa depan mereka. Faktor-faktor baru muncul dari waktu ke waktu untuk menantang integritas dan legitimasi pemerintahan mereka. Sebagaimana dimuat pada Kyoto Review, negara-negara di dunia yang telah menerima demokrasi sebagai bentuk akhir dari pemerintahan, dalam batas tertentu, ikut memengaruhi kecenderungan-kecenderungan itu. Maka, kunci utama untuk kelangsungan hidup lembaga monarki terletak pada cara kerajaan dan sang raja bertindak serta bereaksi dengan cara yang saling melengkapi terhadap peningkatan keinginan rakyat akan demokrasi.