Eksotika Ve
Misteri terbesar bagi Ve adalah otak kita, otak manusia. Karya-karya Ve menjadi praktik seni fotografi yang menaburkan benih kesadaran dan pengetahuan dari dalam diri.
Daya tarik khas atau eksotika dimiliki setiap pegiat seni. Tumbuhnya dari pergolakan ide, seperti pada Ve Dhanito. Melalui karya fotografi yang kerap menyeberang menjadi seni rupa kontemporer itu, tumbuh dari pergolakan ide pada Ve.
Ve pengarsip yang baik. Pada periode tertentu ia menjalani profesi fotografer lepas. Banyak karya fotonya yang dimuat majalah dari dalam dan luar negeri. Begitu pula, karya Ve yang menyeberang menjadi karya seni rupa kontemporer, dipamerkan di dalam dan di luar negeri.
Ve belajar teknik sipil, tetapi akhirnya menekuni kerja fotografi konseptual. Belakangan ia mengeksplorasi konsep tentang otak. Ia menelaah neurosains untuk merencanakan pembuatan karya-karya fotografinya.
Ve terlahir di Jakarta, 17 Juli 1979. Ia tinggal di Jakarta hingga lulus SMA. Pada 1997, ia melanjutkan kuliah teknik sipil di Universitas Sebelas Maret di Solo, Jawa Tengah.
Semenjak kuliah S-1, meski belajar teknik sipil, Ve mengakrabi buku-buku filsafat dan psikologi. Di antaranya ia menyukai bacaan tentang ahli neurologi Sigmund Freud, yang memperkenalkan metode psikoanalisis.
Selepas kuliah di Solo, pada 2002 ia kembali ke Jakarta dan bekerja untuk perusahaan yang menangani pembangunan infrastruktur. Seraya Ve menempuh jenjang S-2 Magister Ilmu Teknik Sipil Universitas Indonesia (UI) bidang Manajemen Proyek (2004-2006).
Di dunia pekerjaan teknik sipil inilah Ve mulai berkenalan dengan fotografi. Ia memotret setiap perkembangan pembangunan infrastruktur yang sedang ditangani.
Ia menyimak dan memotret perancah, struktur beton, dan segala tetek-bengek proses pembangunannya. Ve melihat ada keindahan fotografis di situ. Namun, keindahan itu akan berlalu begitu saja. Semua hilang dengan cepat begitu wujud bangunan yang diinginkan selesai.
Meninggalkan teknik sipil
Sejak mengakrabi dunia seni fotografi, Ve pun memutuskan untuk membeli kamera profesional. Bahkan, berangsur ia meninggalkan pekerjaan teknik sipil pada 2007 dan beralih menjadi seorang fotografer.
Ve anak kedua dari tiga bersaudara. Kedua saudaranya memilih profesi sebagai dokter, seperti ayahnya yang juga seorang dokter di Jakarta. Ayahnya yang berasal dari Kediri, Jawa Timur, juga pencinta wayang purwa.
Semasa duduk di bangku SD sampai SMA di Jakarta, Ve digembleng orangtuanya agar menjadi atlet bulu tangkis. Sampai-sampai ia pernah masuk Pemusatan Pelatihan Daerah (Pelatda) Cabang Bulu Tangkis Jakarta. Ini terhenti saat Ve kuliah di Solo pada 1997.
Namun, ia terus merawat hobi olahraganya. Di Solo, di sela-sela kuliah, ia aktif sebagai pemain basket. Sekembalinya ke Jakarta, Ve bekerja seraya menggeluti crossfit sampai sekarang.
Crossfit merupakan olahraga dengan program latihan yang menggabungkan aerobik dan anaerobik. Di situ ada perpaduan olahraga dengan gerak intensitas tinggi, angkat beban, senam, dan jenis olahraga lainnya, seperti tinju.
Ternyata, Ve pun gemar berlatih tinju. Tetapi, ia enggan bertanding tinju. Alasannya, ia menghindari benturan kepala yang bisa mengganggu organ otaknya. Ve hanya bertinju dengan sparring partner atau pasangan latih tanding.
Tidak ada hal lain yang ingin diraih Ve dengan berolahraga, selain kebugaran dan rasa percaya diri. Ve memetik rasa kebugaran dan percaya diri itu ternyata menunjang kinerjanya menjalani dunia seni fotografi.
Eksotika Ve karena ketertarikannya pada konseptualisasi ide eksplorasi ketubuhan otak terasa pada karya fotografinya. Hal ini antara lain tecermin ketika pada 2018 di Taipei, Taiwan, Ve menyuguhkan karya-karya fotografi konseptual dalam karya seni instalasi yang diberi judul ”Mind – Brain – Body”. Ia turut serta dalam pameran dan lokakarya Wonderfotoday itu di Songshan Cultural and Creative Park, Taipei, 15-17 Maret 2018.
Otak misteri terbesar
Hari Minggu (18/10/2020) pagi di Buperta (Bumi Perkemahan dan Graha Wisata Pramuka) kala rerumputan masih diselimuti embun, Ve datang mengenakan kaus kasual dan celana jins hitam untuk pemotretan profil dirinya.
Ve tampak ringan melangkah. Ia berpose di pinggir danau. Lalu, di antara tanaman bunga matahari, kemudian menyarungkan sarung tinju yang selalu dibawa di mobilnya dan bak petinju berpose di bawah siraman sinar matahari pagi.
Ve sempat menawarkan diri untuk berpose olahraga crossfit, salah satunya dengan bergelantungan di palang besi. Ia tahu apa yang dimaui fotografer.
Perbincangan menarik berlangsung seusai pemotretan. Bagi Ve, misteri terbesar dalam hidupnya bukan soal alam raya ini. Bukan pula batas-batas semesta atau kehidupan lain selain di planet Bumi. Bukan pula segala sesuatu bertali erat sifat keilahian.
Misteri terbesar bagi Ve adalah otak kita, otak manusia. Ve memiliki penjelasan untuk itu. ”Yang membentuk identitas manusia adalah otak kita. Otak yang bekerja dan membentuk perilaku manusia,” ujar Ve.
Terlebih ketika memasuki dunia kreativitas. Menurut Ve, kita harus melihat mesin kreativitas itu adalah otak kita. ”Seperti kita mau balapan, kita harus tahu terlebih dahulu cara kerja mesin kendaraan kita. Begitu pula di dunia kreativitas harus tahu mesin kreatif kita dalam bekerja dan tahu untuk membuat hasil kerja menjadi lebih baik,” tutur Ve.
Karya berbicara
Di pameran Wonderfotoday di Taipei, Ve membuat tiga bentuk seni instalasi. Masing-masing diberi judul ”Brain”, ”Mind”, dan ”Body”. Dari sini karya Ve berbicara tentang fotografi konseptual.
Karya-karya tersebut seperti karya peserta lainnya yang harus disajikan di atas meja berukuran 120 x 120 sentimeter. Ruang pameran dengan bidang pajang horizontal. Lazimnya, vertikal di panel dinding.
Karya ”Brain” berbentuk foto figur tanpa busana dicetak di atas akriliks dipasang tegak dengan bagian atas leher bolong. Ini sebuah karya interaktif. Pengunjung bisa meletakkan sesuatu di bagian yang bolong tadi, seperti jepitan jemuran, gantungan baju, dan lainnya. Ve menilik pesan otak adalah bagian yang bolong tadi. Otak akan menerima apa saja yang kita masukkan.
Karya kedua, ”Mind”, berbicara tentang pikiran masa depan. Ve mencetak foto model dibelit dengan plastik pembungkus makanan. Figur model perempuan itu menuliskan kata ”Future” di sisa lembar plastik yang melayang.
”Dari tubuhnya yang terikat, pikirannya tidak akan pernah bisa diikat,” kata Ve.
Karya ketiga, ”Body”, berbicara tentang kerja sistem tubuh. Ve mencetak foto adegan model Homo sapiens yang berjongkok, membungkuk, merangkak, dan berdiri, secara berlapis-lapis di tiga lapis lembar akriliks. Di sini, tubuh adalah bagian dari kerja sistem otak kita.
Di tahun berikutnya, 2019, Ve turut serta dalam Jakarta International Photography Festival (Jipfest) 2019. Karya-karya fotografi konseptual berbasis ketubuhan otak kembali menguar.
Ve menghadirkan tiga bentuk karya. Karya pertama, ”Brain”, Ve menggunakan teknik cetak foto lentikular yang memungkinkan dengan perubahan sudut pandang akan menghasilkan citra gambar berbeda.
Ve mencetak foto dengan model perempuan sama sedang duduk berhadapan di depan meja. Ketika mengubah sudut pandang tertentu, salah satu figur itu akan menghilang.
”Pesannya di sini, kalau kita mengetahui cara kerja otak kita, kita akan mengenal diri kita sendiri,” ujar Ve.
Karya kedua tentang persepsi. Ini foto figur model yang melihat dengan menggunakan corong ”cone” atau kerucut berwarna oranye yang banyak digunakan sebagai rambu pemisah jalur di jalan raya. Ve mengesankan persepsi terbentuk oleh sesuatu yang kita lihat.
”Banyak hal tidak kita lihat, dan kita tidak tahu kalau diri kita tidak tahu,” tutur Ve.
Karya ketiga diberi judul ”Unconscius” (Bawah Sadar), dengan foto figur yang diganti bagian kepalanya dengan rambu lalu lintas ”Dilarang masuk”. Sepasang mata figur itu tampak di bagian garis merah rambu tersebut.
”Dengan kepala seperti itu, ketidaksadaran pikiran kita lebih besar dari kesadaran kita,” kata Ve.
Karya-karya Ve menjadi praktik seni fotografi yang menaburkan benih kesadaran dan pengetahuan dari dalam diri. Jawaban sederhana Ve meluncur ketika ditanya tujuan akhir dari itu semua.
”Yang pertama, saya ingin menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya. Kedua, saya ingin menjadi lebih produktif,” pungkas Ve.
BIODATA
Ve Dhanito
Lahir : Jakarta, 17 Juli 1979
Pendidikan :
- S-1 Jurusan Teknik Sipil Universitas Sebelas Maret, Solo, Jawa Tengah (1997-2002)
- S-2 Magister Ilmu Teknik Sipil Universitas Indonesia Bidang Manajemen Proyek (2004-2006).
- Residensi seniman di LaSalle College of The Art, Singapura (2014)
Pekerjaan :
2002-2007 : Bekerja untuk perusahaan Patra Jasa di Jakarta
2007-sekarang : Seniman fotografi
Riwayat pameran
2020 : Pameran Bersama ”Creative Freedom to Heal The Nation” Intercovid-19 di Jakarta
2019 : Jakarta International Photography Festival (Jipfest) ”Identity”, Jakarta
2018 : Pameran Bersama Astonishing Indonesia di Semarang; Pameran Bersama Wonderfotoday 2018 di Songshan Cultural and Creative Park, Taipei, Taiwan; Pameran Bersama Kaohsiung International Photography, Kaohsiung City Culture Center, Taiwan
2017 : Pameran Bersama Pili Tjengkeh – Eksotika Rempah, di Jakarta
2016 : Pameran Bersama GELB di Luzern, Swiss
2015 : Pameran Bersama Kaohsiung International Photography di Kaohsiung City Culture, Taiwan
2014 : Pameran Bersama Port of Call di Singapura