Jalan Terjal Logistik Selama Pandemi
Jasa logistik menjadi salah satu lapangan usaha paling terpukul selama pandemi Covid-19.
Sebagai penunjang kegiatan industri, jasa logistik turut terdampak ketika banyak industri manufaktur, tekstil, dan sejenisnya harus berhenti beroperasi.
Pandemi Covid-19 selama lebih dari enam bulan ini telah mengubah pola aktivitas manusia di seluruh penjuru dunia, tak terkecuali Indonesia. Satu di antaranya yaitu kebiasaan baru warga ketika berbelanja. Jika dibandingkan sebelum pandemi, belanja melalui media daring kini semakin menjadi pilihan banyak warga.
Kondisi ini pun terlihat dari survei daring Bank DBS berjudul ”Indonesia Consumption Basket” yang diselenggarakan 18 Juni hingga 3 Juli 2020. Sebanyak 66 persen dari total 545 responden lebih memilih e-commerce ketika membeli baju, sepatu, produk kecantikan, funitur, hingga barang elektronik. Padahal, jika dibandingkan dengan sebelum pandemi, angkanya baru 24 persen.
Hal sebaliknya justru terjadi pada transaksi pembelian di toko fisik, seperti mal dan pusat perbelanjaan. Sebelum pandemi, mayoritas responden, 73 persen lebih, memilih datang langsung ke sana untuk membeli barang. Namun, selama pandemi, angka ini menurun drastis menjadi hanya 24 persen responden yang masih melakukannya.
Meningkatnya transaksi e-commerce selama pandemi sejatinya juga mendongkrak kegiatan logistik. Sebab, agar barang dapat sampai di tangan pembeli, dibutuhkan kehadiran penyedia jasa angkutan barang dalam jumlah pengantaran yang besar. Menurut Bank Indonesia, hingga triwulan II-2020, transaksi e-commerce di Indonesia mencapai 383,5 juta kali. Angka ini meningkat dibandingkan dengan triwulan I-2020 yang masih 275,8 juta transaksi.
Peluang kegiatan logistik juga dipermudah dengan pengecualian aktivitas fisik di karantina suatu wilayah. Di dalam Permen Kesehatan RI Nomor 9 Tahun 2020 disebutkan, pelayanan distribusi dan logistik termasuk dalam pengecualian peliburan tempat kerja. Artinya, meski dalam masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB), perusahaan angkutan logistik tetap dapat beroperasi.
Baca juga: Tren Pengiriman Makanan Meningkat, Jasa Logistik Mengakomodasi
Terpukul
Walaupun demikian, usaha transportasi dan pergudangan terpantau tetap terpukul pada triwulan II-2020. Menurut berita resmi statistik BPS awal Agustus 2020, kontraksi pertumbuhan ekonomi pada lapangan usaha ini mencapai 30,84 persen. Angka ini bahkan tercatat sebagai penurunan paling tajam dari total 16 jenis lapangan usaha sesuai dengan pengelompokan BPS.
Jika ditelisik lebih detail, kondisi tersebut merembet di semua sektor lapangan usaha ini. Pukulan paling keras ditemukan pada sektor angkutan udara dengan pertumbuhan ekonomi hingga minus 80,23 persen. Setelah itu disusul angkutan rel (-63,75 persen); pergudangan dan jasa penunjang angkutan, pos, kurir (-38,69 persen); hingga angkutan sungai, danau, dan penyeberangan (-26,66 persen).
Khusus usaha logistik, dampak pandemi ini pun terlihat jelas di lapangan. Menurut hasil survei Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) selama Agustus-September 2020, diketahui 84,2 persen responden perusahaan logistik mengaku turun omzet lebih dari 25 persen. Bahkan, sudah ada 17 persen perusahaan yang mengeluarkan kebijakan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Dampak besar pada usaha logistik ini disebabkan sangat luasnya cakupan kegiatan ini. Menurut Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat ALFI Yukki Nugrahawan, logistik bukan hanya kegiatan perpindahan barang, melainkan juga meliputi orang, uang, dan data. Secara sederhana, kegiatan ini dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu menurut komoditas yang dikelola dan bentuk transaksinya.
Selain barang e-commerce, setidaknya ada lima komoditas lain yang dikelola kegiatan logistik. Mulai dari bahan baku industri, seperti manufaktur, kerajinan, dan bahan olahan. Ada juga produk jadi hasil industri seperti otomotif, elektronik, dan alat kesehatan. Bahan kebutuhan pokok primer; barang impor ekspor; serta bahan lainnya yang mencakup pertanian, perikanan, dan pertambangan.
Sementara menurut bentuk transaksinya, dapat dibagi menjadi empat. Mulai dari perdagangan industri internasional dan industri domestik dengan bentuk transaksi antar-perusahaan (B to B). Perdagangan eceran atau ritel dengan bentuk transaksi antara perusahaan ke konsumen (B to C) atau C to C. Terakhir, yaitu perdagangan elektronik (B to B, B to C, atau C to C).
Perannya sebagai penunjang kegiatan sejumlah industri membuat geliat usaha logistik sangat bergantung pada kelangsungan industri lainnya. Misalnya, peran besar logistik pada komoditas bahan baku industri pengolahan. Mengingat selama 2019 industri ini tercatat memberikan kontribusi paling besar pada PDB nasional, yaitu 19,7 persen atau setara dengan Rp 3.119,6 triliun.
Namun jika dibandingkan dengan triwulan II-2019, industri ini juga turut mengalami kontraksi hingga 6,19 persen pada triwulan II-2020. Secara lebih detail penurunan paling dalam ditemukan di industri alat angkutan yang mencapai minus 34,29 persen. Kemudian disusul tekstil dan pakaian jadi (-14,23 persen); industri mesin dan perlengkapan (-13,42 persen); hingga industri karet dan plastik (-11,98 persen).
Melemahnya kegiatan-kegiatan industri itu pun terjadi karena adanya dampak dari faktor lain, seperti berkurangnya produksi tekstil dan pakaian jadi karena terhentinya pasokan bahan baku impor dan terganggunya penjualan produk ekspor ke beberapa negara. Hal itulah yang memengaruhi kegiatan logistik ikut lesu meski ada kebijakan pengecualian aktivitas dari pemerintah.
Baca juga: Kecepatan Pengiriman Barang Kian Jadi Tuntutan
Tantangan
Jika berlangsung dalam waktu yang semakin lama, tidak banyak pengusaha logistik dapat bertahan. Dari hasil survei ALFI yang sama disebutkan, 12,7 persen responden mengaku hanya mampu bertahan kurang dari tiga bulan ke depan. Sementara sisanya 35,4 persen masih dapat bertahan 3-6 bulan dan 51,9 persen 6-12 bulan ke depan.
Hal ini menjadi tantangan bagi para pengusaha logistik agar tetap bertahan selama masa pandemi dengan segera membuat strategi inovasi. Untuk menjawab tantangan itu, setidaknya ada tiga strategi yang dapat menjadi peluang bagi pengusaha ini, sesuai dengan yang tertulis dalam Managing Your Innovation Portfolio (B Nagji dan G Tuff, 2012).
Pertama, yaitu survival core strategy. Melalui strategi ini, pengusaha memaksimalkan jasa atau produk yang sudah ada. Contohnya dengan menjamin higienitas setiap barang yang dikirim agar dapat mencegah penularan virus. Selain itu, kualitas jasa juga dapat ditingkatkan dengan mempersingkat waktu tempuh pengiriman, mengingat lalu lintas selama pandemi lebih lengang.
Kedua, yaitu survival adjecent strategy. Strategi ini memungkinkan pengusaha mengembangkan bisnis yang sudah ada dalam bentuk jasa yang baru. Contohnya usaha rintisan Crewdible yang menghadirkan gudang mikro dengan fasilitas pendingin khusus. Melalui produk ini diharapkan dapat mengakomodasi para pelaku usaha makanan beku yang banyak bermunculan selama pandemi.
Ketiga, yaitu survival transformation strategy. Dengan strategi ini, pengusaha dapat membuat jasa baru dengan pangsa pasar yang baru juga. Contohnya alih usaha yang dilakukan maskapai penerbangan asal Thailand, Thai Airways. Agar tetap bertahan, perusahaan ini pun memanfaatkan anak usaha di bisnis katering melalui produk gorengan bernama ”Pa Tong Go”.
Tiga strategi di atas setidaknya dapat menjadi opsi untuk menjaga ketahanan jasa logistik. Meski demikian, kebijakan pemerintah yang seyogianya dapat meringankan beban para pengusaha tetap diperlukan. Mulai dari keringanan pajak, keringanan fasilitas kredit, hingga kebijakan untuk industri lain yang turut berpengaruh pada kelangsungan jasa logistik ini.
Kehadiran layanan logistik sangatlah penting demi terus menggerakkan ekonomi nasional. Namun, sebagai penunjang berbagai kegiatan industri, jasa ini pun tidak dapat beroperasi secara mandiri. Demi memperpanjang masa tahan usaha ini, strategi inovasi yang jitu dari setiap pengusaha logistik dan dukungan langsung pemerintah sangat diperlukan. (LITBANG KOMPAS)