Saat ini kita berada di tengah perubahan besar menuju tata sosial baru. Serat Sri Tanjung mengingatkan: jangan bohong. Taruhannya leher
Oleh
Bre Redana
·3 menit baca
Beberapa orang menanyai saya tentang kata ”meta-informasi” yang banyak muncul di tulisan saya belakangan, termasuk Radio Idola Semarang yang kemudian mewawancarai saya. Pada siaran pagi pukul 07.00, penyiar namanya Nadya menanyakan dari mana saya menemukan istilah tersebut. Sesaat saya tertegun, pikiran sedang pada gudeg Abimanyu, sarapan favorit saya setiap kali ke Semarang.
Terus terang saya lupa, tetapi terakhir saya menemukannya dalam buku Rolf Dobelli, Stop Reading the News (Hodder & Stoughton Ltd, 2020). Dobelli memprovokasi agar orang membatasi baca berita (news) yang kelewat berlimpah dan sebagian besar tidak ada gunanya. Diet informasi, begitu kira-kira Dobelli. Ia memihak pada kedalaman dan kejernihan, maka bacalah buku.
Saya pikir benar juga. Misalnya ada berita menghebohkan UFO mendarat di Trenggalek, saya tidak mendengarnya dan saya baik-baik saja, berarti berita itu memang tidak relevan dengan hidup saya. Begitu pula kalau ada selebritas cerai, apa urusan saya.
Lalu bagaimana bisa tahu adanya peristiwa yang benar-benar bersinggungan dengan hidup saya kalau saya menutup diri terhadap news. Saya memiliki keyakinan, entah saudara, teman, atau bahkan angin akan membisikkannya. Itulah meta-informasi bagi saya. Otak kita bukanlah tong sampah komoditas berita.
Dalam siaran Radio Idola, saya malah melantur, menceritakan bagaimana memori saya terbentuk sebagian besar oleh dongeng. Dari kecil saya dan teman-teman mendengar adanya ular besar bernama Baru Klinting di dasar danau Rawa Pening tak jauh dari Kota Semarang. Sebelumnya ular itu bertapa melingkari Gunung Ungaran. Digagas belakangan, dari situ saya menemukan segi etis untuk menyakralkan alam atau setidaknya ikut memelihara lingkungan.
Wawancara hanya 20 menit. Andaikata kesempatan lebih dari 1001 malam saya akan menceritakan Serat Sri Tanjung. Cendekiawan Jawa yang luar biasa, Prof Dr R.M. Ng. Poerbatjaraka, membabar puluhan dongeng dari zaman Mataram Hindu sekitar abad kedelapan sampai zaman Surakarta dalam buku Kepustakaan Djawi (Djambatan, 1952).
Serat Sri Tanjung menceritakan penguasa negeri Sinduraja bernama Prabu Sulakrama yang penuh tipu daya dan gemar berbohong. Mengingini istri Raden Sidapaksa yang bernama Sri Tanjung, Prabu Sulakrama memerintahkan Sidapaksa ke kahyangan untuk menagih tiga batang emas dan benang kepada Batara Indra. Dengan tugas yang tak masuk akal itu Prabu Sulakrama diam-diam mengharapkan kematian Raden Sidapaksa.
Sidapaksa bingung bagaimana dia harus naik ke kahyangan. Sri Tanjung menolongnya. Ia meminjamkan kutang antakusuma peninggalan kakeknya. Dengan kutang sakti antakusuma Raden Sidapaksa naik ke kahyangan.
Kedatangannya mengagetkan para dewa. Pecah perkelahian di kahyangan antara Raden Sidapaksa melawan para dewa. Raden Sidapaksa kalah, hampir saja menjalani hukuman potong leher andaikata Batara Indra tidak jatuh iba dan menyelamatkannya. Batara Indra bahkan memberikan apa yang Raden Sidapaksa minta.
Tatkala Raden Sidapaksa di kahyangan, Prabu Sulakrama mencoba merayu Sri Tanjung. Usahanya sia-sia. Sri Tanjung menolaknya.
Prabu Sulakrama yang kecewa dan malu melakukan muslihat lain lagi. Kepada Raden Sidapaksa ia mengatakan bahwa selama kepergiannya istrinya telah menyeleweng. Bangkit amarah Raden Sidapaksa. Ia menusuk mati Sri Tanjung. Darah Sri Tanjung ternyata berwarna putih, menandakan kesetiaan. Raden Sidapaksa menyesal.
Dewa campur tangan. Sri Tanjung dihidupkan oleh dewa karena dianggap belum waktunya mati. Raden Sidapaksa memohon maaf, ingin kembali pada Sri Tanjung. Sri Tanjung bersedia menerima kembali suaminya dengan syarat, sang suami memenggal leher Prabu Sulakrama. Tanpa menunda waktu, Sidapaksa melabrak Prabu Sulakrama, memenggal lehernya. Sri Tanjung menjadikan kepala Prabu Sulakrama sebagai keset.
Serat Sri Tanjung adalah serat penting, menandai pergantian zaman dan perubahan sosial yang besar di Jawa, dari kerajaan Hindu-Buddha Majapahit ke era Islam Demak. Kisah ini populer terutama di Jawa bagian timur dan Bali. Dibandingkan dengan berita artis tertangkap karena narkoba, apa aktualitas dan relevansi dongeng kuno itu?
Gagasan dan moral cerita. Serat yang berusia ratusan tahun itu tetap aktual dan relevan. Saat ini kita berada di tengah perubahan besar menuju tata sosial baru. Dia mengingatkan: jangan bohong. Taruhannya leher.