Waktu-waktu "Ajaib" Pentas Komunitas Lima Gunung
Pentas pukul 05.00 pagi di puncak bukit ketika sebagian orang masih terlelap, pertunjukan di bawah guyuran hujan deras saat penonton bubar, adalah sebagian keunikan yang dijumpai saat meliput Komunitas Lima Gunung.
Sebuah pertunjukan atau perhelatan seni, biasanya dirancang dan dipersiapkan dengan baik demi menarik animo dan perhatian penonton. Kalau bisa mendatangkan khalayak dalam jumlah besar.
Namun, tidak demikian dengan para seniman yang tergabung dalam Komunitas Lima Gunung (KLG). Mereka tidak memedulikan aspek itu saat hendak menggelar pertunjukan. Itulah yang akhirnya memunculkan banyak cerita unik, lucu, dan seru, saat meliput pentas-pentas mereka, termasuk ajang rutin tahunan Festival Lima Gunung (FLG).
KLG adalah komunitas yang beranggotan para seniman dari desa-desa di lereng lima gunung dan bukit di wilayah Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Lima gunung dan bukit tersebut adalah Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan perbukitan Menoreh.
Baca juga: Komunitas Lima Gunung dan Seni yang Hidup dari Keringat Petani
Para seniman KLG boleh dibilang tidak memedulikan sama sekali soal riuh rendah penonton. Bagi mereka, kesenian adalah murni pengungkapan ekspresi. Di satu sisi hal itu mengagumkan. Di sisi lain, kondisi tersebut membuat mereka yang tertarik dan hadir menonton, seringkali terkejut karena menemui pertunjukan berjalan di luar perkiraan.
Salah satunya terjadi saat pertunjukan hari ke-8 rangkaian FLG ke-19 pada Agustus 2020 lalu. Kegiatan ini digelar di lokasi penambangan pasir di Dusun Windusabrang, Desa Wonolelo, Kecamatan Sawangan.
Di lokasi tersebut diagendakan pentas tari dan wayang serangga. Wayang serangga adalah wayang kulit dengan bentuk beragam serangga, karya seniman asal lereng Gunung Merbabu, Sujono. Seniman yang berperan sebagai dalang adalah Sih Agung Prasetya.
Baru sekitar lima menit para seniman berada di lokasi pentas, hujan mulai turun. Semula hanya gerimis dan sempat berhenti sesaat. Namun tak berapa lama, hujan pun mengguyur deras. Rombongan warga sekitar yang datang menonton pun seketika bubar. Saya termasuk salah satu yang menyingkir demi mengamankan telepon selular dan tas yang berisi banyak perangkat kerja.
Bersama dengan banyak orang lainnya, saya berteduh di bawah sebuah gubuk kecil. Saat itu, saya sungguh berharap hujan berhenti. Selain karena ingin melihat pertunjukan, saya pun ingin agar kerumunan ini segera terurai dan kami bisa saling menjaga jarak mengingat pandemi masih mengintai.
Baca juga: Tantangan Jurnalis Perempuan: Antara Keluarga dan Berita
Saat menunggu, banyak dari kami bertanya-tanya, apakah pertunjukan masih berlangsung? Saya sendiri menduga belum akan dilanjutkan karena tidak melihat satu pun seniman berjalan ke arena pentas.
Setelah beberapa saat, hujan mulai reda. Sebagian penonton kemudian memilih pulang. Sebagian lainnya, termasuk saya, kembali ke lokasi pentas. Sesampainya di sana, terlihat tanda-tanda sebuah pentas baru saja usai. Presiden Lima Gunung Sutanto Mendut tengah memberikan pidato singkatnya.
Penasaran, saya pun bertanya pada sejumlah seniman. Berdasarkan keterangan mereka yang diperkuat tampilan seniman yang basah kuyup, serta foto-foto dari tim dokumentasi KLG, saya pun akhirnya percaya pertunjukan tetap dilangsungkan meski di bawah guyuran hujan. Tapi kenapa? “Tidak apa-apa. Nanggung kalau tidak dilanjutkan,” ujar Sujono terkekeh.
Di bawah derasnya hujan, sang dalang Sih Agung Prasetya juga tetap mendalang sesuai rencana. Hanya saja durasi cerita dipersingkat. Ketika ditanya, jangan-jangan ada alasan tertentu sehingga dia tetap ngotot mendalang, Sih menjawab sambil berseloroh,“Supaya tetap bisa difoto.”
Baca juga: Mobil Listrik, dari Meragukan Sampai Akhirnya Jatuh Cinta
Usai pentas dan kembali ke tempat transit, para seniman tampak hanya sekedar beristirahat, minum, dan langsung berganti baju. Tidak seperti laiknya pertunjukan seni yang berujung pada diskusi soal pentas yang baru saja digelar, sebagian seniman malah langsung pulang, seperti dilakukan Sujono. Alasannya, ingin melanjutkan aktivitas di kampung. “Aku mau layat tetangga,” katanya.
Berbeda dengan tradisi penyelenggaraan seni panggung yang biasa kita kenal, pentas seni oleh para seniman KLG memang biasa dimulai dan diakhiri tanpa seremoni. Biasa saja, tanpa ada gegap gempita, pujian, apalagi cacian berlebihan. Bagi mereka, seni adalah ekspresi dari kehidupan mereka sehari-hari.
Karena kurang memedulikan respons penonton, maka pentas pun biasa mereka lakukan sesuka hati, kapan saja, dan di mana saja. Misalnya, pembukaan FLG ke-9 tahun 2010. Pentas ini digelar pukul 05.00 pagi di puncak Suroloyo, perbukitan Menoreh, yang berada di ketinggian 1.019 meter di atas permukaan laut.
Agar bisa terselenggara tepat waktu, rombongan seniman berangkat dari Studio Mendut milik Sutanto Mendut di Kecamatan Mungkid, sejak pukul 04.00. Adapun saya yang ikut menumpang mobil mereka, sudah berangkat dari rumah di Kota Magelang pada pukul 03.30.
Baca juga: Dalam Ricuh, Bandung Kembali ke Zaman Batu
Sampai di lokasi, tentu saja suasana masih sunyi senyap. Penontonnya? Barangkali cuma kami, para jurnalis yang datang meliput, ditambah aneka serangga dan ulat. Oleh karena bagi mereka yang penting adalah berkesenian, tentu saja semua seniman tetap tampil dengan penuh semangat. Sungguh unik!
Pentas pukul 05.00 pagi juga pernah dilakukan saat pembukaan Museum Lima Gunung di Studio Mendut pada tahun 2019. Pentas kesenian KLG juga pernah dilakukan saat malam atau bahkan dini hari. Sutanto Mendut mengaku, pentas seni ala KLG di Studio Mendut pernah digelar pukul 00.00.
Sejumlah seniman mengaku, jam-jam ‘ajaib’ pelaksanaan pentas sebenarnya tidak disengaja, karena pentas mengalir begitu saja sebagai lanjutan dari kegiatan sebelumnya berupa diskusi.
Beberapa orang juga mengaku tidak memedulikan waktu pelaksanaan pentas. Bagi mereka yang penting gembira karena bisa pentas bersama teman-teman sesama seniman.
Baca juga: Rem Blong dan Hampir Masuk Jurang di Lereng Gunung Sinabung
Lain lagi dengan Sutanto yang ternyata sengaja menyesuaikan jam pelaksanaan pentas dengan waktu di belahan negara lain. “Kami menyesuaikan waktu supaya pentas seni ini bisa dilihat oleh rekan dan kenalan seniman di negara lain, yang kebetulan ingin menonton,” ujarnya.
Secara umum, ia dan para seniman lainnya tidak terlalu pusing dengan komentar orang yang mempertanyakan waktu pelaksanaan pentas-pentas mereka.
Para seniman KLG rasanya memang tidak membutuhkan panggung (popularitas). Karena itulah, berbagai kejutan kerap muncul dalam pertunjukan mereka yang digelar demi ekspresi dan eksistensi seni.
Hal inilah yang seringkali membuat penonton, termasuk saya yang sudah lebih dari 10 kali meliput FLG, masih juga kaget, bingung, dan tercengang dengan pola mereka berkesenian dan pentas.
Dengan intensitas pertemuan dan pertemanan, akhirnya saya pun semakin mampu memahami karakter mereka dan pertunjukannya. Bagi seniman Lima Gunung, seni adalah darah dan napas mereka. Jatuh bangun menghidupi seni mereka lakoni di tengah pekerjaan sebagai petani. Pergelaran seni dibiayai dari cucuran keringat mereka yang menanam jagung, cabai, kubis, dan buncis.
Mereka tidak pernah memikirkan siapa penontonnya, mencari donatur, atau terjebak pada proses hitung-menghitung sumbangan untuk mengembalikan modal. Mereka juga tidak memusingkan tanggapan penonton, apakah kesenian mereka akan dikritisi atau dipuji. Bagi mereka, yang terpenting adalah berkesenian dengan sepenuh hati.