Asesmen Kompetensi Minimal, Pengganti Ujian Nasional
Karena kompetensi berbahasa adalah modal dasar literasi, perluasan definisi literasi itu mengisyaratkan penempatan kompetensi berbahasa sebagai fondasi yang mutlak diperlukan untuk pengembangan kompetensi lainnya.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan secara resmi telah mengumumkan, pada 2021 ujian nasional (UN) resmi diganti asesmen nasional, yang terdiri dari asesmen kompetensi minimal (AKM), survei karakter, dan survei lingkungan belajar.
Dari ketiga komponen, yang bersifat asesmen hanya AKM. Apa betul AKM mengganti UN? Sebagai asesmen yang diselenggarakan secara nasional, AKM memang bisa dikatakan pengganti UN. Namun, jika dibandingkan dengan UN, lebih banyak perbedaan daripada persamaannya.
Baca juga: Transisi dari UN ke Asesmen Pemelajaran Harus Dikebut
Pertama, dari segi kompetensi (yang diases/diukur) jelas beda. UN mengakses beberapa mata pelajaran (mapel), sedangkan AKM tak mengakses mapel tertentu. Kedua, dari segi sasaran juga beda. UN mengakses peserta didik, sedangkan AKM mengakses satuan pendidikan melalui peserta didik. Ketiga, dari segi cakupan sasaran juga beda. UN mencakup semua peserta didik, sedangkan AKM hanya mencakup sampel peserta didik dari semua satuan pendidikan.
UN mengases beberapa mata pelajaran (mapel), sedangkan AKM tak mengakses mapel tertentu.
Keempat, dari segi peserta didik yang mengikuti juga beda. UN diikuti semua peserta didik di akhir kelas IX dan Kelas XII, sedangkan AKM diikuti oleh sampel peserta didik di akhir kelas V, VIII, dan XI. Kelima, dari segi peranan asesmen yang digunakan juga beda. UN berperan sebagai assessment of learning (asesmen sumatif, mengukur capaian pembelajaran), dan AKM berperan sebagai assessment for learning (asesmen formatif, menilai proses belajar peserta didik dan strategi mengajar pendidik).
Keenam, dari segi regulasi, peranan UN jelas dasar ketentuan hukumnya, yaitu Pasal 63 Ayat 1 dan Pasal 66 Ayat 1, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang intinya mengamanatkan kepada pemerintah untuk melakukan penilaian hasil belajar peserta didik dalam bentuk UN yang mengukur pencapaian kompetensi lulusan. Dasar ketentuan hukum AKM belum jelas.
Baca juga: Kajian Akademis dan Langkah Sosialisasi Dipertanyakan
Ketujuh, dari segi penyelenggara berdasarkan ketentuan perundangannya (UU Sisdiknas, Pasal 58 Ayat 2), UN diselenggarakan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) sebagai badan yang mandiri; sedangkan AKM belum jelas. Jadi, apakah AKM bisa dikatakan sebagai pengganti UN? Lebih baik dijawab: bukan!
Jika bukan pengganti UN, lalu apakah ada pengganti UN sebagai asesmen yang mengukur capaian pembelajaran? Apakah ada pengganti UN yang berperan sebagai alat untuk mengukur capaian pembelajaran dalam beberapa mapel yang selama ini dicakup dalam UN?
Baca juga: Capaian Pendidikan Tak Ditentukan oleh UN
Tampaknya asesmen yang berperan mengukur capaian pembelajaran di beberapa mapel, yang selama ini dicakup dalam UN, diserahkan ke setiap pendidik di tiap satuan pendidikan, seperti halnya mapel lain yang selama ini tak dicakup di UN. Dengan tak adanya lagi UN, pemetaan mutu pendidikan secara nasional untuk beberapa mapel yang dicakup di UN tak akan lagi dapat dilakukan. Namun, dengan AKM, pemetaan mutu pendidikan tetap bisa dilakukan sehingga peranan AKM sebagai asesmen formatif akan dapat dipenuhi untuk perbaikan mutu penyelenggaraan pendidikan di setiap satuan pendidikan.
Dengan tak adanya lagi UN, pemetaan mutu pendidikan secara nasional untuk beberapa mapel yang dicakup di UN tak akan lagi dapat dilakukan.
Sayangnya, peranan AKM sebagai asesmen formatif bagi peserta didik hanya dapat dilaksanakan bagi peserta didik yang mengikuti AKM. Yang perlu diantisipasi adalah rasa keadilan bagi semua peserta didik, baik yang terambil maupun tak terambil sebagai sampel.
Jika AKM tidak dapat dianggap sebagai pengganti UN, apakah itu menandakan kemunduran? Belum tentu!
Revisi tujuan pendidikan nasional
Istilah ”minimal” dalam AKM berpotensi menarik perhatian berlebihan yang sebetulnya tak perlu. Istilah ”minimal” berpeluang disalahpahami sebagai ”sedikit atau se-ada-nya”, padahal jika dilihat yang diases adalah literasi (dan numerasi), itu bukan sesuatu yang sedikit atau seadanya saja. Tulisan ini fokus pada literasi yang konsepnya sudah mengalami perkembangan luar biasa, bukan sekadar baca-tulis sebagaimana masih dipahami banyak orang.
Kesan keliru itu sebetulnya bisa diluruskan jika definisi literasi yang akan diukur di AKM adalah ”kemampuan untuk memahami, menggunakan, mengevaluasi, merefleksikan berbagai jenis teks untuk menyelesaikan masalah dan mengembangkan kapasitas individu sebagai warga Indonesia dan warga dunia agar dapat berkontribusi secara produktif di masyarakat (Balitbangbuk, Kemendikbud, 2020).
Literasi jelas bukan ”kompetensi minimal” jika dicermati definisi, menurut UNESCO (2017): ”kemampuan mengidentifikasi, memahami, menafsirkan, menciptakan, dan mengkomputasi, dengan menggunakan bahan tercetak dan tertulis dalam berbagai konteks, yang melibatkan pembelajaran untuk menjadikan seseorang mampu menggapai tujuan, mengembangkan ilmu pengetahuan dan potensi mereka, serta mampu berpartisipasi secara penuh dalam masyarakat yang lebih luas”.
Oleh karena itu, sebaiknya istilah ”minimal” diganti dengan ”mendasar” (singkatannya tetap AKM kepanjangan dari asesmen kompetensi mendasar) sesuai dengan definisi yang sekarang berkembang. Dalam definisi literasi, menurut UNESCO, kata ”berbagai konteks” dapat dimaknai sebagai substansi berbagai teks yang digunakan sehingga semua muatan pembelajaran yang dicakup dalam semua mata pelajaran di sekolah dapat dimasukkan sebagai konteks dalam AKM.
Oleh karena itu, sebaiknya istilah ”minimal” diganti dengan ”mendasar” (singkatannya tetap AKM kepanjangan dari asesmen kompetensi mendasar) sesuai dengan definisi yang sekarang berkembang.
Karena kompetensi berbahasa atau berkomunikasi adalah modal dasar literasi, perluasan definisi literasi itu mengisyaratkan penempatan kompetensi berbahasa sebagai fondasi yang mutlak diperlukan untuk pengembangan kompetensi lainnya. Jika cara berpikir seperti itu bisa diterima, AKM juga bisa dianggap sebagai instrumen yang mengukur capaian pembelajaran peserta didik terhadap Tujuan Pendidikan Nasional.
Tujuan Pendidikan Nasional (UU No 20/ 2003) selama ini telah dijadikan acuan BSNP untuk mengembangkan Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi yang kemudian dijadikan acuan Kemendikbud untuk mengembangkan kurikulum dan UN. Jika literasi dianggap sebagai modal dasar tercapainya Tujuan Pendidikan Nasional: ”mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Oleh karena itu, posisi literasi sebagai bagian atau bahkan modal dasar tercapainya Tujuan Pendidikan Nasional perlu dicantumkan secara jelas di rumusan tujuan itu. Karena itu, rumusan Tujuan Pendidikan Nasional perlu direvisi!
Ali Saukah, Guru Besar Universitas Negeri Malang; Anggota BSNP periode 2019-2023.