Pekan ini, Menlu AS Mike Pompeo menggelar tur Asia, termasuk ke Indonesia. Kunjungan itu bagian dari misi AS menggalang dukungan menghadapi China. Di Asia Tenggara, Indonesia dianggap faktor penting dalam misi tersebut.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
Seperti energi, Perang Dingin tidak berakhir. Perang Dingin hanya berubah bentuk dengan melibatkan lebih banyak pihak dan terjadi di lebih banyak tempat. Dalam Perang Dingin versi baru, Asia Tenggara terpaksa menjadi lokasinya.
Peralatan perang China dan Amerika Serikat, dua dari tiga pihak utama dalam Perang Dingin versi baru, hilir mudik di Laut China Selatan yang merupakan beranda Indonesia. Kapal induk, pesawat pengebom yang bisa mengangkut hulu ledak nuklir, aneka kapal perang, dan peluru kendali berjangkauan hingga ribuan kilometer dikerahkan AS-China di laut yang diklaim oleh beberapa negara itu.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menyebut permusuhan AS-China sebagai fakta yang mengkhawatirkan dan harus dihadapi kawasan. Ia dan Menlu Malaysia Hishammuddin Hussein satu pendapat: tidak mau terseret dalam persaingan AS-China di kawasan.
Menjelang lawatannya ke Indonesia dan beberapa negara Asia pada pekan ini, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo kembali menyatakan, China adalah ancaman bagi kawasan. Di Eropa dan Afrika, Pompeo bolak-balik menyampaikan hal senada dan mengajak negara lain bersatu menghadapi China.
”Saya tahu Indonesia punya keinginan sama dengan kami untuk memastikan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka, dan kami ingin memastikan bahwa mereka punya mitra yang kuat di AS,” ujarnya.
Menteri Pertahanan AS Mark Esper menyebut China dan Rusia sebagai pesaing strategis bagi AS. Washington perlu memperkuat sekutu dan mitranya agar mampu menghadang pengaruh Beijing-Moskwa.
”Kami perlu memperkuat ikatan dengan negara demokrasi besar, seperti India dan Indonesia. Pekan lalu saya menerima Menteri Pertahanan Indonesia untuk membahas berbagai isu, mulai dari latihan bersama dan penjualan senjata, pertukaran personel, hak asasi manusia, hingga urusan politik kawasan,” tutur Esper.
Hubungan rumit
Esper mengakui, selama ini AS tidak segesit China dan Rusia dalam memperluas pengaruh. ”Saya terus mendengar dari menhan negara lain dan pelaku industri pertahanan AS bahwa proses ekspor produk pertahanan kita terlalu lama, usang, dan rumit,” ujarnya seraya menyebut proses sejenis di Beijing dan Moskwa lebih mudah.
Pengakuan Esper menguatkan pendapat sejumlah pihak bahwa hubungan dengan AS diwarnai terlalu banyak permintaan dari Washington kepada para mitranya. Washington, seperti disebut pengajar Ilmu Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara Faisal Karim, menunjukkan gejala mundur dari berbagai kawasan dan forum multilateral.
Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong sampai pernah meluapkan kejengkelan kepada AS gara-gara merasa Washington tidak menganggap serius Asia Tenggara. Hal itu dipicu ketidakhadiran Presiden AS Donald Trump pada dialog ASEAN dan mitranya.
”Saya pikir kami (ASEAN) sangat ingin tidak berpihak. Walakin, mungkin akan ada keadaan ASEAN harus memilih salah satu,” ujar Lee selepas KTT ASEAN 2018 saat Singapura tuan rumah sekaligus Ketua ASEAN.
Faisal mengatakan, Indonesia tidak bisa ”kelepasan”seperti Singapura atau anggota lain di ASEAN. Indonesia dianggap sebagai pemimpin tradisional ASEAN, dan sikap Indonesia kerap dianggap sebagai sikap kawasan. Karena itu, Indonesia tidak bisa seperti beberapa negara lain di Asia Tenggara yang menunjukkan kecenderungan memihak kepada salah satu dari AS atau China.
Indonesia harus bisa menyeimbangkan kebutuhan kawasan dan keinginan para mitranya, termasuk AS-China yang kini bersaing. Indonesia, dan tentu saja ASEAN, harus menekankan bahwa kepentingan kawasan adalah pencapaian kesejahteraan bersama.
Beijing dan Washinton sama-sama penting bagi Asia Tenggara. AS-China adalah mitra dagang penting bagi kawasan. Dari hasil berdagang dengan Beijing dan Washington, bangsa-bangsa Asia Tenggara memperoleh pendapatan untuk meningkatkan kesejahteraan. Keperpihakan kepada salah satu dari AS atau China bisa membuka peluang ancaman pada sumber kesejahteraan itu.
Di sisi lain, Beijing juga tidak henti merisak kawasan lewat klaim sepihak di Laut China Selatan. Kehadiran peralatan perang AS di kawasan menjadi salah satu penggentar yang mangkus bagi China untuk tidak memanfaatkan aset-aset militer untuk bertindak lebih jauh di kawasan.
Meski Beijing-Washington bolak-balik menyatakan siap menggunakan semua hal yang diperlukan dalam dinamika hubungan mereka, AS-China sama-sama masih terus saling menahan diri, tidak mulai saling melepaskan peluru. Mereka tahu, dengan kapasitas persenjataan masing-masing, akan dihasilkan perang yang sangat merugikan dan dampaknya akan ditanggung banyak pihak di luar AS-China.
Keseimbangan
Salah satu cara mencegah ketegangan agar tidak menjadi konflik militer terbuka adalah dengan tetap menyediakan kanal-kanal komunikasi dan pihak yang bisa diterima di berbagai situasi. ASEAN, sejauh ini, bisa menyediakan kanal dan peran itu. Dengan cara itu, ASEAN bisa menjaga keseimbangan di tengah dinamika yang kadang menegangkan di kawasan.
Selain menjaga keseimbangan strategis, ASEAN juga harus bisa memberi pengertian kepada Beijing-Washington bahwa dunia bukan seperti satu-satunya bioskop berlayar tunggal di kabupaten terpencil. Seperti dianalogikan Amitav Acharya, dunia adalah bioskop dengan banyak ruang menonton dan aneka film berbeda ditayangkan serentak di ruang-ruang itu. Pada bioskop seperti itu, penonton bebas menentukan akan menyaksikan film apa yang sesuai dengan kebutuhannya.
Dalam situasi seperti itu, pembuat film tetap harus berusaha agar penonton mau menyaksikan karya mereka. Walakin, penonton yang memutuskan menyaksikan film karya mereka tidak bisa dianggap sebagai piala dari kemenangan berkompetisi. Penonton mau membeli tiket karena mereka butuh, bukan karena mau memihak dan membela pembuat film. (REUTERS)