Sejumlah pemuka agama menolak RUU Cipta Kerja karena proses pembuatannya tidak transparan, minim partisipasi publik, dan menimbulkan banyak persoalan.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pemuka agama menyampaikan surat dan petisi penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Mereka menolak RUU Cipta Kerja karena proses pembuatannya tidak transparan, minim partisipasi publik, dan menimbulkan banyak persoalan.
Dalam konferensi pers yang dilakukan secara daring, Senin (26/10/2020), beberapa pemuka agama menolak RUU Cipta Kerja karena proses pembahasan yang dilakukan tidak transparan dan minim partisipasi publik.
”Proses perundangan terdapat penolakan dari masyarakat. Kami menyampaikan petisi yang sudah ditandatangani lebih dari 1,4 juta ini,” kata Pendeta Penrad Siagian yang merupakan pembuat petisi daring tersebut.
Hadir dalam kegiatan ini, antara lain, Pendeta Ruth Ketsia Wangkai, Trisno Raharjo dari Majelis Hukum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, cendekiawan Islam Ulil Absar Abdala, Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang Tongat, Koordinator Front Nahdliyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam Roy Murtadho, perwakilan dari Cirebon (Jawa Barat) A Syatori, dan perwakilan Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama Hasan Malawi.
Menurut Penrad, proses perundangan RUU Cipta Kerja tidak membuka ruang publik dan mengancam budaya di Indonesia. RUU Cipta Kerja juga membuat birokrasi terpusat di pemerintah pusat. Hal tersebut dinilai sebagai pengkhianatan terhadap reformasi.
Dalam petisi tersebut disebutkan, RUU Cipta Kerja mengancam banyak sektor, mulai dari kebebasan sipil, keadilan sosial, ekonomi, budaya, dan keberlanjutan lingkungan hidup. Beberapa persoalan mendasar terdapat pada RUU Cipta Kerja.
Beberapa persoalan tersebut, di antaranya spionase dan ancaman kebebasan beragama dan berkeyakinan; pemangkasan hak-hak buruh; potensi konflik agraria dan sumber daya alam atau lingkungan hidup; serta pemangkasan ruang penghidupan kelompok nelayan, tani, dan masyarakat adat.
Ruth Ketsia Wangkai prihatin dengan situasi saat ini akibat RUU Cipta Kerja yang memunculkan gelombang protes secara masif dari publik sejak 5 Oktober lalu. Gelombang protes tersebut tidak hanya di dunia maya, tetapi juga ada di dunia nyata. Hal tersebut cukup membahayakan dengan situasi pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini.
Menurut Ruth, protes tersebut terjadi karena kelompok yang berkepentingan tak didengar. UU yang mengatur banyak bidang tersebut hanya diproses dalam beberapa bulan saja dan dilakukan pada saat terjadi pandemi. Tindakan yang terburu-buru sudah pasti menimbulkan banyak persoalan.
Tongat mengungkapkan, RUU Cipta Kerja yang mengatur tidak hanya lingkungan alam, tetapi juga manusia tersebut dibahas secara tertutup, tidak transparan, dan minim partisipasi publik. Selain itu, proses pembuatannya tidak sejalan dengan pembentukan perundangan.
Ulil Absar Abdala menduga, pemerintah punya agenda tertentu dengan RUU Cipta Kerja ini sehingga tidak mau mendengar suara publik. Adapun DPR dinilainya telah dikooptasi penguasa.