Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi menyatakan, aktivitas Gunung Merapi semakin intensif beberapa waktu belakangan. Semua pihak diminta bersiap menghadapi potensi krisis saat Merapi erupsi.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi atau BPPTKG menyatakan, aktivitas Gunung Merapi di perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta semakin intensif beberapa waktu belakangan. Oleh karena itu, BPPTKG meminta semua pihak bersiap menghadapi krisis yang berpotensi terjadi saat Merapi mengalami erupsi.
”Saat ini, aktivitas vulkanik (di Gunung Merapi) semakin intensif,” ujar Kepala BPPTKG Hanik Humaida dalam pembukaan rangkaian acara peringatan Dasawarsa Erupsi Merapi 2010 yang digelar secara daring, Senin (26/10/2020), di Yogyakarta.
Hanik menjelaskan, aktivitas vulkanik yang makin intensif itu, antara lain, ditandai oleh tingginya aktivitas kegempaan yang terjadi di Gunung Merapi. Dia menyebut, saat ini, rata-rata terjadi gempa vulkanik dangkal di Merapi 6 kali dalam sehari serta gempa fase banyak (multiphase) 83 kali per hari.
Pada Sabtu (24/10/2020), misalnya, Merapi mengalami 7 kali gempa vulkanik dangkal, 84 kali gempa fase banyak, 34 kali gempa guguran, 43 kali gempa embusan, dan 1 kali gempa tektonik. Sehari sebelumnya, Merapi mengalami 4 kali gempa vulkanik dangkal, 75 kali gempa fase banyak, 49 kali gempa guguran, 65 kali gempa embusan, dan 22 kali gempa frekuensi rendah (low frequency).
Aktivitas yang kian intensif tersebut juga tampak dari adanya deformasi atau perubahan bentuk pada tubuh Gunung Merapi yang mulai teramati setelah terjadinya erupsi pada 21 Juni 2020. Deformasi teramati dari adanya pemendekan jarak tunjam berdasarkan pengukuran jarak elektronik (electronic distance measurement/EDM) dari pos pemantauan Merapi di wilayah Babadan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Menurut Hanik, pada kondisi sekarang, laju deformasi yang terjadi di Gunung Merapi mencapai 2 sentimeter (cm) per hari. Pemendekan jarak tunjam itu meningkat dibandingkan dengan pemendekan yang terjadi pada 9-15 Oktober yang sebesar 1 cm per hari. Jika dibandingkan dengan pekan-pekan sebelumnya, laju deformasi yang terjadi saat ini juga meningkat signifikan.
Pada 2-8 Oktober, pemendekan jarak tunjam yang teramati hanya mencapai 2 cm dalam tujuh hari atau sekitar 0,3 cm per hari. Sementara pada 25 September-1 Oktober, pemendekan jarak tunjam yang teramati melalui EDM mencapai 3 cm dalam tujuh hari atau sekitar 0,43 cm per hari.
Pemendekan jarak tunjam yang terjadi itu menunjukkan adanya deformasi berupa penggembungan atau inflasi di tubuh Gunung Merapi. Makin besar pemendekan jarak yang teramati, makin besar pula penggembungan yang terjadi.
”Sampai saat ini, aktivitas masih terus berlanjut. Data seismisitas (kegempaan), deformasi, dan gas masih di atas normal,” kata Hanik.
Hanik memaparkan, pemendekan jarak tunjam itu tak hanya teramati dari pos di wilayah Babadan, tetapi juga dari beberapa pos dan titik ukur di sekitar Gunung Merapi. ”Pemendekan jarak EDM juga terukur dari pos-pos dan titik-titik ukur yang ada di sekeliling Merapi. Hal ini menunjukkan bahwa waktu erupsi berikutnya sudah semakin dekat,” ungkapnya.
Meski begitu, BPPTKG memperkirakan, erupsi Merapi ke depan tidak akan sebesar erupsi yang terjadi pada 2010. Menurut Hanik, erupsi Merapi berikutnya diperkirakan akan mengikuti pola erupsi yang terjadi pada 2006. ”Berdasarkan data pemantauan, diperkirakan erupsi berikutnya tidak akan sebesar erupsi 2010 dan cenderung akan mengikuti perilaku erupsi 2006,” ujarnya.
Hanik juga menambahkan, hingga sekarang, status Gunung Merapi masih Waspada (Level II). Status Waspada itu telah ditetapkan BPPTKG sejak 21 Mei 2018. Selain itu, radius bahaya yang ditetapkan BPPTKG juga masih sama, yakni 3 kilometer (km) dari puncak Merapi. Namun, semua pihak terkait diharapkan menyiapkan diri untuk menghadapi krisis yang kemungkinan terjadi saat Merapi mengalami erupsi.
”Dengan status Waspada dan aktivitas masih terus berlangsung ini, kita harus siap menghadapi krisis Merapi ke depan,” tutur Hanik.
Berdasarkan data pemantauan, diperkirakan erupsi berikutnya tidak akan sebesar erupsi 2010 dan cenderung akan mengikuti perilaku erupsi 2006. (Hanik Humaida)
Pelajaran dari 2010
Dalam acara yang sama, Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Eko Budi Lelono menyatakan, erupsi Gunung Merapi pada 2010 merupakan erupsi besar yang memberikan pelajaran kepada semua pihak. Oleh karena itu, pihak-pihak terkait harus benar-benar belajar dari erupsi besar tersebut.
”Erupsi Gunung Merapi tahun 2010 merupakan erupsi besar yang hingga saat ini tidak hanya menyisakan material hasil letusan, tetapi juga menyisakan pembelajaran sejarah bagi para pelaku kejadian,” ujar Eko.
Eko memaparkan, salah satu pembelajaran yang bisa diambil dari erupsi Merapi tahun 2010 adalah harus ada manajemen kebencanaan yang melibatkan semua pihak, termasuk masyarakat lokal. Manajemen kebencanaan yang melibatkan semua pihak itu menjadi kian penting saat ini dengan adanya pandemi Covid-19.
Manajemen kebencanaan yang melibatkan semua pihak itu menjadi kian penting saat ini dengan adanya pandemi Covid-19. (Eko Budi Lelono)
”Ini menjadi momentum penyadaran kolektif bagi para pihak yang terlibat dalam penanggulangan bencana sekaligus ujian ketangguhan bagi masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana,” ungkap Eko.
Pelaksana Tugas Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Andiani mengatakan, erupsi tahun 2010 merupakan erupsi terbesar yang pernah terjadi di Gunung Merapi dalam kurun waktu 100 tahun terakhir. Dalam erupsi tahun 2010, Merapi mengeluarkan rangkaian awan panas sejak 26 Oktober 2010 hingga 2 November 2010.
Setelah itu, Merapi mengeluarkan awan panas letusan secara terus-menerus pada 3-4 November 2010. ”Ketinggian kolom awan panas letusan mencapai 17 km dan diiringi dengan awan panas guguran yang menerjang permukaan hingga jarak 15 km dari puncak Gunung Merapi,” ujar Andiani.