Ketika kita menganggap kaum milenial sebagai generasi tak sabar dan selalu ingin mendapatkan sesuatu secara instan, kita terperangkap dalam pandangan negatif terhadap mereka. Tuduhan sebagai generasi yang tidak mau mengikuti proses kerap dilekatkan kepada mereka. Padahal, sikap mereka malah mengawali solusi besar dalam berbagai bidang, khususnya industri keuangan.
Generasi milenial tidak betah dan pusing melihat antrean di bank ketika mereka harus membuat rekening, menabung, dan merencanakan investasi. Mereka harus menghadap manajer investasi dan menunggu lama untuk mendapat layanan. Sementara situasi ini dianggap sebagai hal lumrah oleh generasi sebelumnya yang ”terlalu nyaman” dengan kebiasaan itu.
Seorang desainer user experience dan user interface (UX/UI) bernama Kavita Rajput di laman UX Collective mengawali tulisannya dengan fakta itu. Kaum milenial lebih familier jika komunikasi dengan lembaga keuangan dilakukan dengan fasilitas interaksi melalui gawai mereka. Untuk menelepon, mereka malas dan merasa buang-buang waktu.
Perilaku ini merevolusi industri keuangan hingga muncul tekfin (teknologi finansial) yang merebak di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Industri keuangan yang lama sekali angkuh bertengger mulai tergerogoti layanan tekfin.
Baca juga: Perang Dunia Kelima Sesungguhnya Sudah Dimulai
Di Indonesia, 1.639 kantor bank tutup pada 2016-2019. Sementara tekfin yang memiliki layanan seperti uang elektronik, sistem pembayaran, asuransi, dan fasilitas kredit berkembang pesat. Untuk satu layanan saja, yaitu fasilitas pemberian kredit, jumlah pemberi pinjaman 155.230 akun pada 2018, kini menjadi 549.088 akun. Adapun jumlah akun yang meminjam uang naik dari 3,6 juta pada 2018 menjadi 22,3 juta pada tahun ini.
Industri tekfin tidak hanya memberikan kemudahan bagi orang-orang yang sudah ada di dalam sistem industri keuangan. Mereka juga masuk ke dalam masyarakat yang selama ini tidak mengenal layanan keuangan formal. Survei Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan, Indeks Literasi Keuangan naik dari 21,84 persen pada 2013 menjadi 38,03 persen pada 2019 dan Indeks Inklusi Keuangan naik dari 59,74 persen pada 2013 menjadi 76,19 persen pada 2019.
Perihal inklusi keuangan, layanan keuangan tradisional telah lama dipacu, tetapi perkembangannya tidak cepat. Mengapa tekfin bisa meningkatkan literasi dan inklusi keuangan dalam waktu singkat?
Pertama, tekfin menjadi solusi bagi kaum milenial. Menurut data OJK, 68,52 persen pemilik akun tekfin untuk fasilitas peminjaman berusia 19-34 tahun. Kerumitan akses industri keuangan dan problem finansial, seperti harga rumah yang kian mahal, aturan peminjaman yang makin rumit, dan kebutuhan gaya hidup membuat mereka lebih dekat dengan layanan tekfin.
Tekfin menjadi solusi bagi kaum milenial.
Perilaku lain yang perlu diperhatikan, kaum milenial peduli dengan investasi yang memberikan makna dan bisa memperbaiki keadaan. Survei Morgan Stanley, sekitar 86 persen kaum milenial mengatakan memilih investasi yang menyelesaikan masalah perubahan iklim dan kelestarian lingkungan. Tawaran tekfin yang ikut menyelesaikan masalah tersebut menjadi daya tarik kaum milenial.
Baca juga: Jalan Baru Investasi di Korporasi Teknologi
Tekfin juga ikut menyelesaikan masalah yang dialami masyarakat. Industri jasa keuangan konvensional telah lama mengakui kesenjangan antara kebutuhan dana untuk usaha kecil menengah (UKM) dan pinjaman yang bisa disediakan. Dua tahun lalu, tekfin memberikan pinjaman Rp 27 triliun kepada UKM dan tahun lalu Rp 44 triliun. Jumlah ini masih jauh dari memadai, tetapi perkembangannya membaik.
Tekfin juga ikut menyelesaikan masalah yang dialami masyarakat.
Tekfin yang digerakkan kaum milenial telah memberikan solusi bagi mereka sendiri dan masyarakat. Kini, tantangan mereka, apakah tekfin bisa menyelesaikan masalah di tengah pandemi Covid-19? Studi terbaru berjudul ”The Promise of Fintech: Financial Inclusion in The Post Covid-19 Era” yang dikeluarkan Dana Moneter Internasional (IMF) menyebutkan, setidaknya tekfin telah mampu menyediakan informasi sektor-sektor yang terdampak penurunan konsumsi selama pandemi berdasarkan catatan transaksi pembayaran.
Dari data itu, tekfin bisa membantu pemerintah menolong perusahaan dan rumah tangga yang terdampak. Tantangan terbesar bagi tekfin adalah membuat interaksi efisien tanpa harus bertemu kendati IMF mengingatkan risiko yang juga bertambah.
Namun, hasil riset IMF menyebutkan, inklusi keuangan yang disediakan tekfin dapat memberikan peran lebih untuk memitigasi dampak sosial dan ekonomi dari krisis yang tengah berlangsung. Perluasan inklusi keuangan di tengah pandemi akan membantu usaha kecil. Hal ini menjadi tantangan baru bagi generasi yang selama ini telah memunculkan solusi atas problem masyarakat.