Pintu Masuk Koruptor Peroleh Hukuman Ringan
Komisi Pemberantasan Korupsi memandang peninjauan kembali seolah jadi pintu kemurahan memotong hukuman terpidana kasus korupsi. Di sisi lain, jumlah pengajuan PK oleh terpidana korupsi cenderung meningkat.
Berdasarkan catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak 2019 hingga September 2020, ada 23 koruptor yang memperoleh keringanan hukuman melalui peninjauan kembali (PK). Jumlah tersebut kemungkinan akan bertambah. Itu karena saat ini ada 53 pemohon PK terkait dengan perkara korupsi yang dulu ditangani KPK yang sedang menunggu putusan dari majelis hakim.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron melihat, PK seperti strategi baru bagi para koruptor untuk menerima putusan di pengadilan tingkat pertama dan tidak memproses upaya hukum biasa, yaitu banding dan kasasi. Mereka menunggu sampai inkracht, menjalani hukuman terlebih dulu, kemudian mengajukan PK.
KPK menghormati independensi hakim dalam memutus setiap perkara. Namun, setelah melihat kesamaan dari perkara yang sudah di putus PK-nya, ada indikasi kesamaan. ”PK ini dianggap pintu kemurahan yang kemudian digunakan untuk menurunkan sanksi pidana,” ujar Ghufron dua pekan lalu.
Beberapa peneliti berpandangan, fenomena banyaknya terpidana yang mengajukan PK tak lepas dari pensiunnya Hakim Agung Artidjo Alkostar. Banyak koruptor takut mengajukan upaya hukum ke MA karena ketika Artidjo masih menjabat, banyak hukuman koruptor yang diperberat di tingkat kasasi dan PK.
Situasi tersebut tergambar dari catatan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) yang diolah dari laporan tahunan MA. Artidjo pensiun pada 22 Mei 2018 dan sejak saat itu koruptor mulai berbondong-bondong mengajukan PK.
Pada 2017 terdapat 188 perkara PK, sedangkan pada 2018 meningkat menjadi 208 perkara. Jumlah tersebut kembali meningkat pada 2019, yakni menjadi 235 perkara.
Peneliti senior LeIP, Arsil, mengungkapkan, dulu banyak yang takut mengajukan upaya hukum di MA karena takut putusannya dikoreksi jadi lebih berat. Setelah Artidjo pensiun, muncul banyak PK, terutama untuk kasus korupsi.
Dalam kasus bekas Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, misalnya. Anas mengajukan PK pada Juli 2018 setelah hukumannya diperberat pada tingkat kasasi menjadi 14 tahun pada 2015. Majelis kasasi diketuai Artidjo. Sebelumnya, pada pengadilan tingkat pertama, Anas divonis hukuman 8 tahun penjara dan dikurangi menjadi 7 tahun penjara saat mengajukan banding.
Pada 30 September, hukuman terpidana perkara proyek Hambalang tersebut dipotong oleh majelis hakim PK menjadi 8 tahun penjara. Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro yang juga menjadi hakim anggota dalam perkara tersebut mengungkapkan, alasan permohonan PK yang diajukan Anas yang didasarkan adanya kekhilafan hakim bisa dibenarkan.
Pertimbangan majelis PK, yakni judex juris salah menyimpulkan alat-alat bukti yang lalu dijadikan sebagai fakta hukum. Atas dasar fakta hukum itu, pasal dakwaan yang terbukti di tingkat judex facti dari Pasal 11 UU Tindak Pidana Korupsi menjadi Pasal 12 Huruf a UU Tipikor (Kompas, 1/10/2020).
Baca juga: Potongan Hukuman bagi Koruptor Berlanjut, Komitmen MA Dipertanyakan
Alasan pengajuan PK
Andi mengungkapkan, PK merupakan upaya hukum luar biasa untuk mengoreksi dan memperbaiki kesalahan atau kekeliruan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. ”Sebab, bukan tidak mungkin dalam putusan tersebut terdapat kesalahan atau kekeliruan yang merupakan kodrat manusia, termasuk hakim yang memeriksa dan memutus perkara,” kata Andi.
Ia menjelaskan, menurut Pasal 263 Ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), ada tiga alasan yang dapat dijadikan dasar terpidana atau ahli warisnya mengajukan PK. Alasan itu ialah ada novum, ada pertentangan dalam putusan atau antarputusan satu sama lain, atau ada kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata.
Apabila terpidana atau ahli warisnya mengajukan permohonan PK dengan mendalilkan alasan-alasan atau salah satu alasan yang dimaksud, dan menurut MA dalam pemeriksaan PK alasan tersebut cukup beralasan serta terbukti, MA dapat mengabulkan. Dengan dikabulkannya PK tersebut, hukuman terpidana bisa dikurangi.
Pengurangan hukuman bisa terjadi dengan beberapa alasan. Andi mencontohkan, di antaranya pemohon PK/terpidana si A berkeberatan karena kualitas perbuatannya sama dengan terdakwa lain si B yang pemeriksaan perkaranya terpisah dengan si A, tetapi hukuman yang dijatuhkan berbeda. Misalnya, si A dijatuhi hukuman 7 tahun, sedangkan si B dipidana 3 tahun.
Baca juga: Kabulkan PK Bekas Bupati Talaud, MA Kembali Ringankan Hukuman Koruptor
Hukuman si A bisa diserasikan atau diperbaiki/dikurangi menjadi 5 tahun. Begitu juga terpidana yang sudah memulihkan atau sebagian besar telah mengembalikan kerugian keuangan negara dapat dikurangi hukumannya secara proporsional. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan, pengembalian kerugian keuangan negara dapat dipertimbangkan sebagai keadaan yang meringankan.
Apalagi, kata Andi, setiap putusan hakim wajib mempertimbangkan keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa. Hal ini juga sering dijadikan pertimbangan majelis hakim PK sehingga mengurangi hukuman terpidana. Misalnya, peran terpidana hanya membantu dan bukan pelaku utama, sedangkan pidana yang dijatuhkan dinilai terlampau berat.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Eddy OS Hiariej menjelaskan, berdasarkan asas reformatio inmelius, permohonan PK jika dikabulkan, MA harus menjatuhkan hukuman yang lebih ringan, termasuk bebas atau lepas.
”Secara normatif, PK diajukan jika terdapat novum, pertentangan antara pertimbangan dan putusan, atau kesesatan hakim,” kata Eddy.
Menurut Eddy, banyak terpidana koruptor yang mengajukan PK dengan harapan MA mau menerimanya sehingga mereka akan mendapatkan keringanan hukuman. Sebab, selama ini ada kecenderungan terdakwa kasus korupsi dalam pemeriksaan kasasi di MA diganjar hukuman tinggi.
Padahal, secara doktrin, MA bukan judex facti, melainkan judex juris sehingga putusan kasasi seharusnya maksimal sama dengan putusan judex facti dalam penghukuman. Menurut Eddy, kemungkinan banyak terpidana kasus korupsi yang mengajukan PK karena melihat kesesatan pada putusan kasasi MA yang menghukum lebih berat dari judex facti.
Mafia peradilan
Tertangkapnya bekas Sekretaris MA Nurhadi pada awal Juni 2020 menjadi momentum untuk membuka penyelidikan kasus-kasus suap di dunia peradilan. Dalam dakwaan Nurhadi yang dibacakan jaksa KPK Wawan Yunarwanto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (22/10), disebutkan, Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiyono, diduga menerima gratifikasi Rp 37,287 miliar dari pihak yang memiliki perkara pada 2014 hingga 2017, salah satunya untuk peninjauan kembali.
Kedua terdakwa diancam pidana seperti diatur di dalam Pasal 12B UU No 31/1999 yang telah diubah dengan UU No 20/2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, menyebut bahwa kasus Nurhadi hendaknya menjadi pintu masuk untuk mengusut dugaan adanya kasus suap di dunia peradilan yang selama ini dipersepsikan masyarakat sebagai praktik mafia peradilan (Kompas, 3/6/2020).
”Mafia peradilan memang nyata. Praktik (mafia peradilan) di MA terbongkar seperti kasus Nurhadi. Ada juga kasus Pinangki (perkara terpidana cessie Bank Bali Joko Tjandra). Ada praktik demikian dengan skema mengurus perkara di institusi peradilan,” kata Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Oce Madril.
Ia mengungkapkan, banyaknya putusan PK terpidana kasus korupsi yang dikabulkan MA telah menjadi fenomena yang kontroversial dalam beberapa waktu belakangan. Dalam pengamatannya, beberapa argumentasi putusan sangat dangkal sehingga memperlihatkan kasus korupsi seperti bukan kejahatan luar biasa. Apalagi, PK merupakan upaya hukum luar biasa.
Beberapa argumentasi juga tidak didukung akuntabilitas karena publik tidak dapat mengakses hasil putusan dengan cepat. Publik hanya bisa mengetahui dari argumentasi yang disampaikan juru bicara MA.
Menurut Oce, beberapa argumentasi yang disampaikan menunjukkan dasar potongan tidak jelas. ”Potongan hukuman menjadi kontroversial. Kalau memang dinyatakan tidak bersalah, seharusnya bebas,” ujarnya.
Bagaimana pendapat Anda?