Plastik Mikro Mencemari Air dan Ikan di Muara Ciliwung
›
Plastik Mikro Mencemari Air...
Iklan
Plastik Mikro Mencemari Air dan Ikan di Muara Ciliwung
Kajian terbaru menunjukkan, plastik berukuran mikro ditemukan di muara Sungai Ciliwung dan pesisir Jakarta Utara. Kandungan mikroplastik juga ditemukan pada ikan kepala timah yang banyak ditemui di perairan ini.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Plastik berukuran mikro ditemukan di muara Sungai Ciliwung dan pesisir Jakarta Utara. Kandungan mikroplastik juga ditemukan pada ikan kepala timah yang banyak ditemui di perairan ini. Temuan tersebut menjadi peringatan untuk mengatasi cemaran plastik di perairan.
Temuan cemaran plastik mikro dilaporkan Muhammad Reza Cordova dari Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di jurnal Marine Pollution Bulletin edisi Desember 2020 yang edisi daringnya bisa diakses mulai 24 Oktober 2020. Kajian juga ditulis Etty Riani dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University dan Akihiro Shiomoto Tokyo University of Agriculture.
”Kajian kami menunjukkan konsentrasi plastik mikro di muara sungai sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan di pesisir. Ini menunjukkan sumber pencemaran dari daratan yang masuk ke aliran sungai,” kata Reza, Minggu (25/10/2020).
Rata-rata konsentrasi mikroplastik di muara Ciliwung 9,37 ± 1,37 partikel per meter kubik, sedangkan di perairan pesisir Jakarta Utara 8,48 ± 9,43 partikel per meter kubik. Sebagian besar plastik mikro yang ditemukan berbentuk fragmen, masing-masing 53,31 persen di muara dan 44,20 persen di pesisir. Serat plastik ditemukan 34,3 persen, merupakan bentuk dominan kedua di muara.
”Plastik mikro ini kemungkinan terbentuk dari penguraian sampah plastik sejak bertahun-tahun sebelumnya. Walaupun, kami juga menemukan adanya microbead atau plastik yang sengaja diproduksi dengan ukuran mikro, salah satunya untuk pembersih wajah. Beberapa produk lokal masih menggunakan ini, padahal di luar negeri sudah dilarang,” katanya.
Hasil kelimpahan plastik mikro di muara Sungai Ciliwung dan pesisir Jakarta Utara ini cenderung lebih rendah dibandingkan dengan di Surabaya yang mencapai 16,03 partikel per meter kubik. Namun, lebih tinggi daripada muara Citarum yang hanya 0,06 partikel per meter kubik.
Cemaran plastik mikro di Jakarta ini juga lebih tinggi dibandingkan dengan kajian sejenis yang dilakukan di negara lain, seperti Israel, Stockholm (Swedia), California Selatan (Amerika Serikat), dan Pelabuhan Victoria (Australia). Namun, jauh lebih rendah jika dibandingkan muara Sungai Yangtze di China dan di Saigon, Vietnam.
Etty mengatakan, selain dari buangan sampah rumah tangga, cemaran plastik mikro umumnya juga dari industri. Kajian yang dilakukannya di Sungai Citarum menemukan, kelimpahan plastik mikro di bagian hulu hanya 2,96 partikel per meter kubik, sedangkan di daerah yang ada industri dan permukiman 100 partikel per meter kubik.
Pada ikan
Reza mengatakan, temuan plastik mikro pada ikan kepala timah (Astyanax rutilus) perlu menjadi perhatian serius. ”Ikan kecil ini banyak ditemukan di sepanjang Sungai Ciliwung dan juga perairan sekitar muara dan cenderung tahan pencemaran. Biasanya ikan ini memakan jentik nyamuk dan plankton, tetapi ternyata banyak juga mengonsumsi plastik mikro,” kata Reza.
Dalam rantai makanan, ikan kepala timah ini menjadi sumber makanan bagi berbagai ikan lain yang lebih besar. ”Cemaran plastik mikro diduga lebih banyak pada ikan yang lebih besar. Walau ada pengeluaran melalui feses, kemampuan mengeluarkan biasanya juga terbatas sehingga ikan pemangsa ikan kepala timah umumnya akan lebih banyak plastik mikronya,” kata Etty.
Menurut Etty, plastik mikro ini rata-rata ditemukan pada saluran pencernaan ikan. ”Tetapi, untuk plastik nano bisa masuk ke jaringan tubuh ikan, tapi kami belum bisa lihat karena keterbatasan peralatan. Ada jurnal lain yang sudah menemukan adanya plastik mikro dan nano di daging ikan,” katanya.
Reza mengatakan, temuan kajian ini memberikan peringatan pentingnya mengatasi pencemaran plastik agar tidak masuk ke perairan, yang kemudian dikonsumsi ikan. Pada rantai makanan terakhir, dampaknya bisa ke manusia yang mengonsumsi ikan-ikan yang telah tercemar.
”Kita harus hentikan sumber pencemarnya. Semakin banyak limbah plastik yang tidak tertangani, pada akhirnya akan masuk ke lingkungan dan akan bermuara di perairan dan ini yang akan menjadi masalah hingga bertahun-tahun ke depan,” ujarnya.