Beberapa pasal krusial terkait ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja, yang telah disetujui DPR untuk disahkan, disikapi beragam oleh publik. Di tengah pro-kontra RUU itu, publik berharap ada ruang dialog yang kondusif.
Oleh
DEDY AFRIANTO/Litbang Kompas
·5 menit baca
Jajak pendapat Litbang Kompas pada 20-22 Oktober mengindikasikan adanya harapan masyarakat akan ruang dialog di tengah pro dan kontra terhadap Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Di tengah maraknya protes dan beragam tanggapan tentang RUU itu, publik menaruh harapan kepada lembaga eksekutif ataupun legislatif untuk membuka ruang diskusi bersama berbagai lapisan masyarakat.
Dalam Rapat Paripurna DPR, 5 Oktober, RUU Cipta Kerja disepakati untuk disahkan. RUU itu tinggal menunggu diundangkan oleh pemerintah.
Dialog rakyat dengan pemerintah dan DPR diyakini sebagai jalan terbaik mencari titik tengah di antara beragam perbedaan pendapat. Cara ini menjadi harapan utama responden (39,7 persen) dibandingkan dengan upaya lain, seperti demonstrasi (29 persen) ataupun mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (14,5 persen).
Hal utama yang mendorong timbulnya harapan masyarakat untuk dialog adalah proses pembahasan yang belum sepenuhnya diketahui publik. Sebagian besar responden (59,7 persen) merasa pembahasan RUU ini belum dilakukan secara demokratis. Artinya, publik menilai ruang diskusi yang disediakan bagi setiap lapisan masyarakat masih minim dalam pembahasan RUU.
Pandangan ini boleh jadi muncul karena minimnya sosialisasi yang diterima masyarakat selama pembahasan RUU Cipta Kerja. Apalagi, pembahasan dilakukan saat energi dan perhatian masyarakat terfokus pada pandemi Covid-19.
Dialog bisa menjadi salah satu solusi di tengah berbagai pandangan yang muncul tentang RUU Cipta Kerja. Apalagi, terdapat tiga sisi perbedaan pandangan di masyarakat, yakni prioritas kebijakan, substansi, dan dampak.
Dari aspek kebijakan, publik cukup terbelah dalam memandang skala prioritas pengesahan RUU Cipta Kerja. Sebanyak 47 persen responden memandang aturan ini mendesak disahkan untuk membuka lapangan pekerjaan ataupun mempermudah perizinan berusaha.
Sementara 39,7 persen responden menilai RUU Cipta Kerja tak mendesak disahkan dengan alasan pembahasan belum matang serta kondisi pemerintah dan masyarakat yang masih fokus pada Covid-19. Dengan nir-pencuplikan jajak pendapat ±4,3 persen, pandangan publik dapat dikatakan terbelah, antara yang memandang mendesak dan tidak mendesak pengesahan RUU Cipta Kerja.
Dalam ranah substansi, perbedaan pandangan juga ditunjukkan responden, terutama menyangkut ketenagakerjaan. Perbedaan pandangan terkait bidang ini cukup wajar mengingat dari semua kluster RUU Cipta Kerja, hampir separuh responden (48,5 persen) menaruh perhatian pada bidang ini. Besarnya perhatian terhadap sektor ini tak terlepas dari perubahan sejumlah aturan yang menyentuh hak pekerja.
Di kluster ketenagakerjaan terdapat beberapa hal yang disoroti pekerja, seperti waktu kerja, durasi kontrak, dan upah. Beragam aturan terkait dengan hal ini ditanggapi beragam oleh responden. Sebagian responden sepakat dengan beberapa ketentuan UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, sedangkan sebagian lagi lebih memilih aturan di RUU Cipta Kerja.
Dari aspek waktu kerja, misalnya, RUU Cipta Kerja mengubah ketentuan maksimal waktu lembur dari sebelumnya tiga jam sehari atau 14 jam seminggu menjadi 4 jam sehari atau 18 jam seminggu. Lebih dari separuh responden (54 persen) memilih aturan dalam UU sebelumnya, yakni batas maksimal lembur tiga jam dalam satu hari. Sementara sepertiga responden lainnya sepakat dengan aturan lembur yang tertera di RUU Cipta Kerja.
Respons berbeda ditunjukkan terkait dengan perubahan aturan cuti panjang. Di UU Ketenagakerjaan, pekerja dengan masa kerja enam tahun berhak cuti panjang minimal dua bulan pada tahun ketujuh dan kedelapan. Pada RUU Cipta Kerja, aturan ini dikembalikan pada perjanjian kerja atau peraturan perusahaan.
Sebanyak 53,6 persen responden lebih sepakat dengan aturan di RUU Cipta Kerja. Artinya, perjanjian kerja atau peraturan perusahaan diharapkan mengakomodasi hak cuti panjang pekerja. Adapun 30,7 persen responden memilih ketentuan cuti panjang diatur di UU seperti aturan sebelumnya.
Pesangon
Perbedaan pandangan juga terekam terkait hak pesangon. Dalam UU Ketenagakerjaan, setiap pekerja dengan masa kerja 24 tahun berhak meraih hingga 32 kali upah jika mereka terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Rinciannya, pekerja akan memperoleh uang pesangon hingga 18 kali upah, uang penghargaan masa kerja 10 kali upah, dan uang penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan 15 persen dari total pesangon dan penghargaan masa kerja. Jika pekerja memperoleh 28 kali upah dari uang pesangon dan penghargaan masa kerja, uang penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan yang diraih empat kali upah.
Ketentuan ini diubah di RUU Cipta Kerja. Bagi pekerja dengan masa kerja 24 tahun, uang pesangon yang diberikan oleh perusahaan sembilan kali upah dan uang penghargaan masa kerja sebanyak 10 kali upah. Selain itu, juga terdapat jaminan kehilangan pekerjaan maksimal 6 kali upah yang ditanggung pemerintah. Secara total, uang yang diperoleh pekerja terkena PHK 25 kali upah.
Terkait dengan perubahan aturan ini, 55,4 persen responden memilih ketentuan aturan 25 kali upah dengan ketentuan sebagian di antaranya (enam kali upah) dijamin pemerintah. Sementara 29,8 persen lainnya lebih sepakat dengan aturan di UU Ketenagakerjaan, yakni 32 kali upah. Adanya perbedaan pandangan ini boleh jadi disebabkan sejumlah kasus perusahaan yang sebelumnya gagal membayar uang pesangon hak pekerja sesuai dengan ketentuan UU Ketenagakerjaan.
Perbedaan pandangan dalam menyikapi RUU Cipta Kerja juga muncul terkait dampak yang akan ditimbulkan. Dari sisi pemerintah, RUU Cipta Kerja diyakini dapat menarik investasi ke Indonesia. Investasi ini diharapkan memberikan efek domino perekonomian, termasuk membuka lapangan pekerjaan.
Sementara publik terbagi pada dua pandangan dalam menilai dampak RUU Cipta Kerja. Lebih dari separuh responden (51,7 persen) menyatakan tak yakin aturan ini dapat berdampak pada investasi. Sebaliknya, 38,4 persen responden meyakini sejumlah perubahan aturan di RUU Cipta Kerja dapat berdampak pada perbaikan iklim investasi.
Dari segala aspek, tampak bahwa pro dan kontra terjadi di masyarakat terkait RUU Cipta Kerja. Pro dan kontra ini tentu dapat diselesaikan dengan jalur diskusi untuk mendengar suara masyarakat sesuai dengan semangat demokrasi.