Sepak Terjang Aktivis Indonesia dalam Solidaritas Asia Afrika
Aktivis Indonesia menjadi arsitek solidaritas Asia Afrika. Gerakan ini bukan model diplomasi tinggi, melainkan dirajut aktivis non-pemerintah berlatar mahasiswa, penulis, penyair, feminis, buruh, dan jurnalis.
Aktivis Indonesia menjadi arsitek utama solidaritas Asia Afrika pada 1955-1965. Pasca-Konferensi Asia Afrika 1955, belasan konferensi digagas untuk melawan kolonialisme dan imperialisme. Gerakan ini bukan model diplomasi tinggi antar-pemerintah, melainkan dirajut oleh aktivis non-pemerintah berlatar mahasiswa, penulis, penyair, feminis, buruh, dan jurnalis.
Gerakan solidaritas Asia Afrika oleh kalangan aktivis di Indonesia itu mengemuka dalam seminar daring bertajuk ”Indonesia dalam Gerakan Global dan Anti Imperialisme 1950-1960-an” yang digagas Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Sabtu (24/10/2020).
Seminar menghadirkan pembicara tiga kandidat doktor sejarah, yakni Wildan Sena Utama dari Universitas Bristol, Inggris; Tika Ramadhini dari Universitas Humboldt, Berlin, Jerman; dan Teuku Reza Fadeli dari Universitas York, Inggris. Seminar itu juga tersambung dengan Dekan FIB USU Budi Agustono, mahasiswa, serta dosen Program Studi Sejarah dari USU dan Universitas Indonesia.
”Pasca-Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, sebenarnya ada belasan konferensi yang mengusung gagasan solidaritas Asia Afrika. Namun, belum banyak historiografi di Indonesia yang membahas gerakan solidaritas ini,” kata Wildan.
Ia menjelaskan, selama ini, fokus historiografi pasca-KAA 1955 adalah tentang pembentukan Gerakan Nonblok. Namun, spirit dan gerakan yang muncul di kalangan aktivis belum banyak dibahas. Padahal, gerakan ini mempunyai peran penting karena mengusung diskursus antikolonialisme, imperialisme, dan mendukung promosi perdamaian dunia.
Salah satu gerakan solidaritas Asia Afrika yang pertama kali diselenggarakan pasca-KAA 1955 adalah Konferensi Mahasiswa Asia Afrika yang diadakan di Bandung pada akhir Mei hingga awal Juni 1956.
Delegasi mahasiswa Indonesia dipimpin Agustin Aminuddin. Delegasi lainnya adalah Emil Salim dari Universitas Indonesia. Emil pun pada akhirnya menjadi tokoh penting di Indonesia, antara lain, menjadi menteri pada masa Orde Baru.
Konferensi Mahasiswa Asia Afrika (KMAA) ini mendukung Dasasila Bandung yang merupakan hasil KAA Bandung. Delegasi mahasiswa juga mendorong pelajar berkontribusi meredakan ketegangan dunia, mendukung gerakan kemerdekaan di Aljazair, Palestina, dan Irian Barat.
Pasca-Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, sebenarnya ada belasan konferensi yang mengusung gagasan solidaritas Asia Afrika. Namun, belum banyak historiografi di Indonesia yang membahas gerakan solidaritas ini. (Wilsan Sena)
Hal penting yang dihasilkan KMAA adalah pertemuan mahasiswa delegasi Aljazair dengan Presiden RI Soekarno. Pertemuan itu difasilitasi oleh aktivis mahasiswa dari Indonesia.
”Pertemuan itu membuat Soekarno menyediakan satu kantor di Indonesia untuk mendukung perjuangan kemerdekaan Aljazair,” kata Wildan.
Seorang mahasiswa Aljazair, Lakhdar Brahimi, menjadi semacam duta besar informal di Indonesia. Dia memperjuangkan kemerdekaan Aljazair dari luar negeri, antara lain dengan menggalang dukungan dari negara-negara Asia Tenggara. Setelah negaranya merdeka, Lakhdar akhirnya menjadi Menteri Luar Negeri Aljazair dan tokoh Persatuan Bangsa-Bangsa. Karena kontribusi Indonesia, baru-baru ini didirikan patung Soekarno di Aljazair.
”Konferensi ini juga melahirkan beberapa gagasan penting lain yang berkontribusi dalam pelestarian kebudayaan dan bahasa nasional yang terancam oleh kolonialisme,” kata Wildan.
KMAA juga melahirkan gagasan yang mendorong agar fakultas pendidikan diperbanyak di setiap negara Asia Afrika serta meningkatkan kapasitas akademik setiap universitas. Pertemuan itu juga menggagas kerja sama antaruniversitas, diskusi kondisi akademik, pertukaran buku, karya seni, dan kebudayaan.
Konferensi pengarang
Pertemuan aktivis yang tidak kalah pentingnya adalah Konferensi Pengarang Asia Afrika (KPAA) pada 1958 di Tashkent, Uzbekistan. Indonesia, antara lain, diwakili oleh Pramoedya Ananta Toer, Sitor Situmorang, Rivai Apin, Utuy Tatang Sontani, Asmara Hadi, dan Dodong Djiwapradja.
Baca juga: RI Bertekad Jadi Hub Afrika di Asia
Konferensi ini melahirkan resolusi penting, yakni mendukung kebebasan dan kemerdekaan sastra rakyat, memperkuat kontak kultural seluruh dunia, serta menolak literatur yang diskriminatif dan menyebarkan kebencian.
”Pram dalam memoarnya menyatakan, sastra harus militan melawan imperialisme dan kolonialisme,” ujar Wildan.
Indonesia juga mengusulkan pembentukan Biro Pengarang Asia Afrika pada 1960 di Kolombo, Sri Lanka. Pengarang Indonesia pun mengirimkan wakilnya, yakni Hersri Setiawan.
KPAA kedua pun kembali dilaksanakan pada 1962 di Kairo, Mesir, yang mendorong pengarang menggagas penerjemahan. Antologi puisi dari para penyair Asia Afrika pun terbit dengan Sitor Situmorang sebagai salah satu penulisnya.
Para pengarang Indonesia, yang mayoritas berlatar belakang Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), juga menerbitkan antologi puisi. ”Dalam puisinya, para pengarang Indonesia menggambarkan perjuangan pembebasan Angola dan Kongo. Mereka juga mengecam pembunuhan aktivis di Kongo,” kata Wildan.
Aktivis perempuan Indonesia juga aktif dalam solidaritas Asia Afrika. Namun, sumber sejarah keterlibatan perempuan Indonesia saat ini masih terbatas. Pertemuan penting gerakan feminis, antara lain Konferensi Perempuan Asia Afrika tahun 1961 di Kairo, Mesir. Indonesia diwakili, antara lain, Fransisca Fanggidae.
”Konferensi ini mengangkat permasalahan peran perempuan dalam ekonomi, sosial, dan kebudayaan,” kata Wildan.
Keruntuhan solidaritas
Solidaritas Asia Afrika pun tak bisa bertahan lama. Pada pertengahan 1960-an, solidaritas mulai runtuh karena kehilangan patron dan aktivisnya. Soekarno yang merupakan penggagas solidaritas lengser dari kursi Presiden.
Solidaritas Asia Afrika pada akhirnya juga terpecah pada kubu China dan Uni Soviet yang berkompetisi menguatkan pengaruh di Asia Afrika.
Aktivis perempuan Indonesia juga aktif dalam solidaritas Asia Afrika. Namun, sumber sejarah keterlibatan perempuan Indonesia saat ini masih terbatas. Pertemuan penting gerakan feminis antara lain Konferensi Perempuan Asia Afrika tahun 1961 di Kairo, Mesir. Indonesia diwakili, antara lain, Fransisca Fanggidae.
Aktivis Indonesia yang mayoritas berlatar nasionalis progresif dan juga komunis juga ditangkap karena gejolak politik dalam negeri tahun 1965. Aktivis yang berada di luar negeri juga tak bisa pulang ke Tanah Air atau eksil.
Dekan FIB USU Budi Agustono mengatakan, fase 1950-an sampai 1960-an adalah masa penting untuk Indonesia, tetapi masih sangat sedikit menjadi tema penelitian atau diskusi. ”Pada masa itu, Indonesia menjadi bagian penting dalam gerakan global, terutama setelah diadakan KAA di Bandung,” katanya.
Baca juga: Peringatan Konferensi Asia Afrika Lebih Inklusif
Mempelajari sejarah tersebut, menurut Budi, juga menjadi hal yang sangat perlu untuk melihat peran penting Indonesia dalam geopolitik dunia. Pada masa itu, Indonesia dalam gerakan global condong ke China. Namun, Amerika Serikat juga terus mengintip perkembangan Indonesia.
Reza Fadeli mengatakan, kuatnya peran Indonesia dalam geopolitik juga ditandai pembangunan reaktor di Indonesia. Pada 1961, Soekarno melakukan peletakan batu pertama pembangunan reaktor atom di Bandung. ”Dalam pidatonya, Soekarno menegaskan, atom di Indonesia untuk kesejahteraan rakyat dan perdamaian dunia,” kata Reza.
Reza mengatakan, posisi Indonesia dalam geopolitik dunia juga semakin kuat setelah didirikan Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) pada Maret 1965 yang merupakan penguatan organisasi Lembaga Tenaga Atom.