Kunci keberhasilan pengembangan energi terbarukan ada di tangan pemerintah. Kebijakan yang ramah terhadap investasi, kemudahan perizinan, dan birokrasi yang sederhana adalah beberapa jalan keluarnya.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Skema feed in tariff atau patokan harga tenaga listrik dari sumber energi terbarukan berdasarkan komponen biaya produksi menjadi kunci keberhasilan pengembangan energi terbarukan. Selain itu, konsistensi kebijakan juga dibutuhkan untuk menjaga kepastian berusaha bagi para investor.
Dalam hal ini, jenis sumber energi terbarukan yang paling cepat dikembangkan adalah pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). China, India, dan Vietnam menjadi negara yang berhasil mengembangkan PLTS.
Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan pada Institute for Essential Services Reform (IESR) Marlistya Citraningrum mengatakan, pertumbuhan tenaga listrik yang dihasilkan PLTS adalah yang tertinggi dari tahun ke tahun. International Energy Agency (IEA) juga memperkirakan pertumbuhan kapasitas terpasang PLTS di 2040 akan menjadi 200.000 megawatt (MW) atau hampir dua kali lipat dari pertumbuhan saat ini.
China dan India adalah negara utama penyumbang pertumbuhan PLTS terbesar. Di Asia Tenggara, Vietnam adalah negara yang paling menonjol dalam mengembangkan tenaga surya.
”Dalam kurun dua tahun, kapasitas terpasang PLTS di Vietnam tumbuh pesat dari 100 MW pada 2017 menjadi 5.000 MW pada 2019. Akhir tahun ini, Vietnam menargetkan kapasitas terpasangnya menjadi 10.000 MW,” ujarnya dalam siaran pers, Senin (26/10/2020).
Menurut Marlistya, kunci keberhasilan Vietnam mengembangkan PLTS secara masif adalah kebijakan negara tersebut yang pro terhadap investasi sektor energi terbarukan. Vietnam menerapkan kebijakan feed in tariff dengan desain yang adaptif disesuaikan lokasi pengembangan PLTS.
Pemerintah Vietnam juga konsisten dalam membuat kebijakan untuk memberikan kepastian berinvestasi. Dengan kepastian regulasi dan dukungan penuh pemerintah, proyek PLTS di Vietnam dipandang lebih menarik dan ekonomis di mata pengembang.
”Dengan akses pendanaan yang terbuka, membuat pengembang dapat menghimpun dana dari berbagai sumber, termasuk pendanaan asing,” ucap Marlistya.
Vietnam menerapkan kebijakan ”feed in tariff” dengan desain yang adaptif disesuaikan lokasi pengembangan PLTS. Pemerintah Vietnam juga konsisten dalam membuat kebijakan untuk memberikan kepastian berinvestasi.
Indonesia, lanjut Marlistya, bisa mengadopsi cara-cara yang diterapkan Vietnam dan India. Indonesia perlu membuat kebijakan yang konsisten dan memberikan kepastian hukum, serta menjamin ketersediaan jaringan listrik dan penyerapan.
Indonesia juga perlu menjamin proses perizinan yang sederhana dan transparan, serta membantu menyediakan lokasi untuk pembangunan PLTS berskala besar. Selain itu, kampanye pentingnya pemanfaatan energi terbarukan di masyarakat juga perlu digalakkan.
Pemerintah Indonesia tengah memperbaiki iklim investasi di bidang energi terbarukan. Target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen dalam bauran energi nasional di 2025 berusaha keras untuk diwujudkan. Salah satunya dengan penyusunan Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) tentang harga listrik dari sumber energi terbarukan.
Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Harris Yahya menuturkan, RPerpres tersebut mengatur skema feed in tariff untuk listrik dari pembangkit listrik energi terbarukan dengan kapasitas maksimum 5 MW. ”Harganya pun berbasis lokasi, misalnya harga listrik dari pembangkit mikrohidro di Jawa tidak akan sama dengan yang di Papua,” ujarnya.
RPerpres tersebut mengatur skema ”feed in tariff” untuk listrik dari pembangkit listrik energi terbarukan dengan kapasitas maksimum 5 MW.
Dalam aturan sebelumnya, harga jual tenaga listrik dari energi terbarukan menggunakan patokan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik PLN di daerah pembangkit tersebut dibangun. Pemerintah mematok batas tertinggi harga tenaga listrik energi terbarukan adalah 85 persen dari BPP setempat. Aturan inilah yang dianggap tidak pro pada pengembangan energi terbarukan lantaran faktor keekonomiannya tak terpenuhi.
Sebelumnya, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma berharap, RPerpres tersebut memberikan nuansa keadilan bagi pengembangan dari sektor swasta. Selama ini harga tenaga listrik energi terbarukan disamakan untuk semua jenis teknologinya, baik yang bersumber dari tenaga panas bumi maupun hidro. Padahal, setiap teknologi atau jenis energi pembangkitnya memiliki harga jual yang berbeda-beda.
Surya menambahkan, hal yang menjadi keluhan pengembang energi terbarukan di Indonesia adalah kebijakan yang berubah-ubah. Setiap pergantian menteri, nyaris selalu ada perubahan kebijakan yang membingungkan pengembang. Terkadang, aturan yang diterbitkan bersifat pro terhadap pengembangan energi terbarukan dan kadang sebaliknya.
Untuk potensi energi terbarukan di Indonesia, data Kementerian ESDM menyebutkan, total potensinya 417.800 MW. Potensi terbesar ada di tenaga surya yang mencapai 207.800 MW peak (MWp), tenaga bayu 60.600 MW, bioenergi 32.600 MW, panas bumi 23.900 MW, dan gelombang laut 17.900 MW. Dari total potensi tersebut, yang termanfaatkan baru 10.400 MW atau sekitar 2,4 persen.