Riset dan inovasi bagian penting dalam ekosistem halal. Di banyak negara, inovasi dan tren riset ke depan yang mengusung kecerdasan buatan, ”internet of things” (IoT), mahadata, dan lain-lain merambah industri halal.
Oleh
IRWANDI JASWIR
·5 menit baca
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja sudah disahkan oleh DPR pada 5 Oktober lalu. Banyak catatan dialamatkan pada UU yang merupakan revisi terhadap sejumlah UU sebelumnya itu. Dalam konteks halal, UU Cipta Kerja banyak disorot terkait dengan integritas kehalalan (halal integrity). Pada Pasal 4A Ayat 1 dan 2 disebutkan, kewajiban bersertifikasi halal bagi pelaku usaha mikro kecil didasarkan pada pernyataan pelaku usaha sendiri (self declare).
Mekanisme ini nantinya akan diatur berdasarkan standar halal yang yang ditetapkan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Konsep self declare cukup berisiko seandainya pelaku usaha mikro dan kecil itu tak memiliki pengetahuan mendalam mengenai produk halal, terutama menyangkut penggunaan bahan tambahan dan prosesnya. Untuk itu, peraturan pemerintah (PP) atau aturan lain yang dibuat oleh BPJPH nanti sangat penting untuk menjaga integritas kehalalan ini.
Dalam konteks halal, UU Cipta Kerja banyak disorot terkait integritas kehalalan (halal integrity).
Terlepas dari berbagai reaksi dan kontroversinya, UU Cipta Kerja ini mencatat beberapa poin signifikan terhadap perkembangan industri halal Indonesia, yang seperti disampaikan Wakil Presiden Ma’ruf Amin ditargetkan menjadi negara produser produk halal terbesar dunia pada 2024.
Salah satu poin penting di UU Cipta Kerja adalah semangat membuat Indonesia lebih berorientasi industri. Sejatinya, UU ini berorientasi mempercepat pengembangan industri halal Indonesia dengan penyederhanaan berbagai aturan.
Indonesia sebagai negara Muslim terbesar seharusnya sudah lama menjadi pemain utama dunia dalam sektor halal yang pasarnya 3,1 triliun dollar AS per tahun.
Saat ini kue industri halal yang cukup menggiurkan itu didominasi oleh negara-negara yang bukan mayoritas Muslim. Sebut saja, Australia dan Selandia Baru yang menguasai daging halal dunia, Brasil yang menguasai pasar ayam halal dunia, Korea Selatan yang menguasai kosmetik, dan lain-lain. Bahkan, di Asia Tenggara, Thailand yang hanya memiliki 5 persen populasi Muslim menjadi negara yang paling menikmati kue industri halal ini.
Jepang dan China pun tidak mau ketinggalan. Wisata ramah Muslim menjadi target mereka sekarang. Belum lagi dengan negara-negara di Eropa, terutama negara-negara Balkan yang juga gencar membangun industri wisata ramah Muslim.
Ekosistem halal
Sebagai salah satu pelopor pengembangan disiplin sains halal dan banyak berinteraksi dengan para pemangku kepentingan (stakeholder) industri halal dunia, saya merasakan bahwa salah satu ketertinggalan Indonesia saat ini adalah belum terbentuknya ekosistem halal.
Tidak dimungkiri, sertifikasi halal Indonesia yang dikeluarkan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) termasuk sertifikasi halal yang sangat dihormati di dunia. Meski begitu, selama hampir 30 tahun, Indonesia lebih banyak fokus dengan sertifikasi ini saja. Peta jalan industri halal Indonesia baru hadir di ujung 2018.
Pada sebuah ekosistem halal, paling tidak ada lima sektor yang menjadi prioritas, yaitu produksi, jasa, infrastruktur, sumber daya manusia (SDM), dan dukungan pemerintah (government support). Di setiap sektor ini ada beberapa subsektor lagi yang menjadi inisiatif sehingga inisiatif keseluruhan bias puluhan jumlahnya. Sertifikasi halal seharusnya hanya salah satu dari puluhan inisiatif ini.
Sertifikasi halal seharusnya hanya salah satu dari puluhan inisiatif ini.
Ketika kita hanya fokus pada sertifikasi halal saja—bahkan di Indonesia, peralihan sertifikasi dari LPPOM ke BPJPH sesuai amanat UU Nomor 33 Tahun 2014 masih belum ”mulus” sampai sekarang—saat itulah kita lupa membangun inisiatif lain dalam ekosistem ini. Akibatnya, negara-negara lain yang menikmati kue industri ini dan kita tetap menjadi pasar empuk produk-produk halal mereka.
Apa yang dilakukan Malaysia—negara yang berada di peringkat teratas dalam Global Islamic Economy Index beberapa tahun terakhir—mungkin bisa dijadikan perbandingan. Negara jiran ini sudah memiliki peta jalan industri halal selama hampir 30 tahun. Di dalam ekosistem mereka, topik halal menjadi sentra poin bagi banyak agensi pemerintah.
Tidak heran, ketika Pemerintah Malaysia mencanangkan negara itu sebagai pusat halal dunia (world halal hub), di setiap kementerian ada divisi dan unit khusus tertentu yang membantu melahirkan program berkaitan dengan industri halal. Bahkan, di Kementerian Pendidikan, Kementerian Pendidikan Tinggi, dan Kementerian Riset sekali pun.
Paling tidak ada 21 agensi pemerintah saat ini terkait secara langsung dengan program halal di Malaysia.
Inovasi industri halal
Riset dan inovasi juga bagian penting dalam ekosistem halal. Di banyak negara, inovasi dan tren riset ke depan yang banyak mengusung kecerdasan buatan (AI), internet of things (IoT), blockchain, mahadata (big data), dan lain-lain mulai merambah industri halal.
Industri halal berbasis digital tumbuh menjamur. Sebuah perusahaan social commerce halal, yang didukung dengan dana melimpah dan teknologi mumpuni, baru-baru ini mengklaim sebagai yang terbesar di ASEAN. Dua tahun lalu, mereka ikut menjadi sponsor resmi klub olahraga terkaya dunia, Manchester United, senilai puluhan juta dollar AS setahun.
Traceability (ketertelusuran) halal yang menggunakan teknologi blockchain dan mahadata sudah dikembangkan Thailand dan Malaysia. Berbagai aplikasi teknologi informasi (IT) untuk panduan halal, terutama untuk kosmetik, kini sangat marak di Korea Selatan. Food forensic dengan pendekatan IoT menjadi tren di Jepang.
Traceability (ketertelusuran) halal yang menggunakan teknologi blockchain dan mahadata sudah dikembangkan Thailand dan Malaysia.
Bahkan, teknologi blockchain kini dikembangkan di rumah-rumah potong hewan di Singapura untuk memberikan kepastian integritas halal karena dengan teknologi ini, kita bisa tahu ”sejarah” dan asal-usul seekor ternak yang disembelih, termasuk bagaimana ternak tersebut ”ditangani’.
Itu belum termasuk kemajuan ilmu biosains dan nano teknologi. Produk-produk kosmetik dan farmaseutikal berbasis nano-materials yang halal sudah mulai banyak beredar. Komponen-komponen alternatif pengganti bahan yang dicurigai tidak halal semakin ditemukan melalui riset-riset bidang biosains. Bahkan, banyak alat dan biosensor baru pendeteksi ketidakhalalan tercipta melalui riset bidang ini.
Akhirnya, selama kita tidak membangun ekosistem halal yang menyeluruh, agak berat untuk menjadi pemain utama industri halal dunia.
Irwandi Jaswir, Profesor Bidang Sains Halal, International Islamic University Malaysia; Penerima King Faisal International Prize 2018)