Dikucilkan Setelah Disebut Positif Covid-19, Mantan Pasien Gugat RSUD Baubau
›
Dikucilkan Setelah Disebut...
Iklan
Dikucilkan Setelah Disebut Positif Covid-19, Mantan Pasien Gugat RSUD Baubau
Seorang warga Kota Baubau menggugat RSUD dan Gugus Tugas Covid-19 Baubau karena merasa ”di-Covid-kan”.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·5 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Tidak terima dengan status positif Covid-19 yang berujung pengucilan dari lingkungan, seorang warga Kota Baubau, Sulawesi Tenggara, menggugat RSUD Palagimata dan tim gugus tugas Covid-19 Baubau. Sidang perdana digelar dengan proses mediasi setelah penggugat mengajukan tuntutan.
Anipa (38), warga Kelurahan Tanganapada, Baubau, menggugat RSUD Palagimata Baubau dan Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan (GTPP) Covid-19 setelah statusnya terkonfirmasi positif Covid-19. Saat ini ia menetap di rumah orangtuanya di Kelurahan Lipu, Baubau, karena merasa dikucilkan oleh tetangga dan masyarakat di tempat tinggalnya.
”Saya tidak terima karena tidak diperlihatkan hasil rapid test-nya di RSUD Palagimata. Waktu itu saya dites karena mau melahirkan. Padahal, sebelumnya saya rapid test di Puskesmas Wajo hasilnya nonreaktif dan diperlihatkan,” kata Anipa saat dihubungi dari Kendari, Selasa (27/10/2020).
Ibu satu anak ini menceritakan, pada Senin (13/7/2020) ia melakukan uji cepat (rapid test) di Puskesmas Wajo saat memeriksakan kandungan. Usia kandungannya menginjak sembilan bulan. Di situ, ia ditunjukkan hasil nonreaktif Covid-19.
Pada Jumat (17/7/2020) dini hari, Anipa dilarikan ke RSUD Palagimata Baubau karena merasa kontraksi. Akan tetapi, sebelum masuk ruang bersalin, ia menjalani uji cepat di tenda pemeriksaan yang ada di rumah sakit tersebut. Di situ disampaikan hasilnya reaktif Covid-19.
”Saya minta mana hasilnya, tidak dikasih. Terus saya dikasih surat pernyataan yang bilang kalau terjadi apa-apa, saya akan dikuburkan dengan protokol kesehatan, dan semua itu tanggung jawab rumah sakit untuk memakamkan, bukan lagi keluarga. Saya tidak mau tanda tangan karena saya tidak dikasih lihat hasilnya, dan sebelumnya saya nonreaktif,” ucap Anipa.
Sejumlah orang dengan alat pelindung diri lengkap dengan baju hazmat lalu datang menanyakan apakah ia mau melahirkan dengan operasi. Akan tetapi, Anipa kembali menolak karena ia ingin melahirkan secara normal. Tidak menemui jalan tengah, ia meminta pulang dan menandatangani pernyataan pulang paksa.
Setelah beberapa jam di rumah, ia terpaksa kembali ke RSUD Palagimata karena harus menjalani persalinan. Ia lalu bersalin normal dan sang bayi lahir dengan selamat. Setelah melahirkan, pihak rumah sakit melakukan uji spesimen. Empat hari kemudian, saat Anipa telah berada di kediaman, hasil uji spesimen keluar. Di situ, ia disebutkan terkonfirmasi positif Covid-19.
”Nama saya benar, tetapi jenis kelaminnya tertulis laki-laki. Masak laki-laki melahirkan? Karena dibilang positif, saya lalu dijauhi tetangga dan dianggap membawa virus mematikan. Akhirnya saya ke rumah orangtua biar tenang,” ujarnya.
Atas kejadian itu, Anipa merasa pihak RSUD Palagimata dan tim GTPP Covid-19 Baubau bertanggung jawab atas nama baiknya dan sikap orang terhadapnya. Ia lalu mendaftarkan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Baubau pada Rabu (21/10/2020). Ia menuntut agar RSUD dan gugus tugas membayar kerugian sebesar Rp 500 juta.
Dihubungi secara terpisah, Direktur RSUD Palagimata yang juga Juru Bicara GTPP Covid-19 Baubau, dr Lukman, menerangkan, pihaknya menghargai setiap orang yang mengajukan gugatan secara resmi. Meski demikian, pihaknya dan pemerintah memiliki kewajiban untuk menjelaskan dan meluruskan informasi dan tudingan yang diajukan.
Saya pikir ini hanya masalah kesalahpahaman dari pasien dan kondisi pandemi.
Menurut Lukman, protokol kesehatan yang diterapkan memang mewajibkan setiap pasien yang datang ke RSUD menjalani pemeriksaan awal di lokasi yang disiapkan. Di situ, pasien didata dan dilakukan uji cepat. Secara prosedur, pihak rumah sakit telah melakukan protokol yang disyaratkan.
”Semua hal di rumah sakit itu jelas prosedurnya, dan pasien itu telah dilayani baik-baik. Pasien juga sebelumnya pulang dan bertanda tangan. Tetapi, karena kemanusiaan, tetap dibantu melahirkan dan bayinya selamat. Saya pikir ini hanya masalah kesalahpahaman dari pasien dan kondisi pandemi. Yang jelas, dari kami tidak ada langkah dan upaya yang berlawanan dengan hukum karena semua sudah sesuai mekanisme,” ungkapnya.
Terkait hasil uji spesimen yang berbeda jenis kelamin, Lukman melanjutkan, hal tersebut bukan kewenangan pihaknya untuk memperbaiki karena surat tersebut keluar dari GTPP Covid-19 Sultra. Meski demikian, dalam surat tersebut juga ada nomor induk kependudukan dan nomor sampel. ”Jadi, apa yang kami berikan itu adalah hasil dari provinsi, dan menurut saya itu penjelasan dan dasar hukumnya semua,” tambah Lukman.
Sidang perdana dengan agenda mediasi antarpihak berlangsung pada Selasa (27/10/2020) siang. Sidang yang diketuai Rommel Tampubolon itu berlangsung singkat. Menurut Hika D Asril Putra dari Humas Pengadilan Negeri Baubau, sidang ditunda karena surat kuasa dari tergugat II, yaitu GTPP Covid-19, tidak lengkap. Sidang mediasi lanjutan akan dilangsungkan pada Selasa (3/11/2020).
Sementara itu, epidemiolog Universitas Halu Oleo, La Ode M Sety, berpendapat, munculnya gugatan dari warga yang dikonfirmasi positif Covid-19 merupakan ekses dari penanganan Covid-19 yang kurang baik sejak awal, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Warga tidak mendapatkan informasi yang utuh sehingga muncul stigma bagi pasien Covid-19.
”Padahal, virus Covid-19 ini perlu pemahaman yang lengkap, dari transmisi hingga penanganan. Warga memang butuh informasi lengkap bagaimana agar imun pasien meningkat, kondisi kesehatan terjaga, dan semua warga memiliki pemahaman mendalam terhadap virus ini. Jika hanya setengah-setengah, akan timbul ketakutan tanpa penanganan yang jelas,” ucapnya.
Seharusnya, tambah Sety, pemerintah menjelaskan dengan baik kepada semua orang bahwa pasien Covid-19 tidak perlu mendapat stigma. Kepada pasien juga sebaiknya dijelaskan secara lengkap kondisi dan mekanisme seseorang disebut positif Covid-19. Kondisi kejiwaan pasien pun harus dijaga agar imunitas meningkat dan bisa segera sembuh. Komunikasi dan keterbukaan informasi harus ditunjukkan, terutama bagi pasien.
Warga, tutur Sety, sebaiknya berusaha menjaga solidaritas, terbuka akan informasi, dan saling membantu agar tidak menstigma orang yang terkonfirmasi positif Covid-19. ”Seharusnya bisa diselesaikan juga dengan musyawarah dan pemerintah memperbaiki komunikasinya dengan warga dan pasien,” kata Sety.