Ekspor produk tekstil Indonesia ke Turki anjlok hingga 49,79 persen atau hanya sebesar 168,9 juta dollar AS pada masa pandemi Covid-19.
Oleh
SHARON PATRICIA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kinerja ekspor produk tekstil Indonesia ke Turki menurun drastis hingga 49,79 persen dalam masa pandemi Covid-19. Perlu ada strategi untuk menyikapi hambatan perdagangan mengingat Turki merupakan negara keenam terbesar tujuan ekspor produk tekstil.
Data Kementerian Perdagangan menunjukkan, nilai ekspor produk tekstil ke dunia dengan kode HS 50 hingga HS 63 pada masa pandemi Covid-19 (Januari-Agustus 2020) merosot sampai 19,92 persen. Sementara untuk Turki, Indonesia hanya berhasil membukukan nilai ekspor sebesar 168,9 juta dollar AS, anjlok hingga 49,79 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Penurunan nilai ekspor tekstil ke Turki merupakan yang terbesar dibandingkan dengan lima negara tujuan utama ekspor di atasnya. Kelima negara tersebut adalah Amerika Serikat (turun 20,03 persen), Jepang (turun 14,14 persen), China (turun 25,31 persen), Korea Selatan (turun 14,48 persen), dan Jerman (turun 18,16 persen).
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Didi Sumedi menyampaikan, penurunan nilai ekspor tekstil ke Turki disebabkan oleh peningkatan aksi proteksi perdagangan akibat ketegangan AS dan China. Keadaan pun diperburuk dengan pandemi Covid-19.
”Kondisi ini memicu negara-negara mitra dagang mengambil sikap hati-hati dalam impor. Covid-19 juga menyebabkan pelemahan ekonomi, bahkan berpeluang resesi,” kata Didi dalam sambutan yang dibacakan oleh Sekretaris Ditjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Marthin Kalit.
Paparan ini dikemukakan dalam webinar bertemakan ”Ekspor Produk Tekstil Indonesia ke Turki: Tantangan dan Peluang”, Selasa (27/10/2020). Acara diselenggarakan oleh Direktorat Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan.
Marthin melanjutkan, hambatan perdagangan oleh Turki dilakukan dengan menerapkan penggunaan instrumen tarif yang dibebankan terhadap produk Indonesia. Turki menaikkan tarif rata-rata 26 persen untuk produk furnitur, peralatan medis, perkakas, besi, baja, alas kaki, karpet, dan tekstil.
Pada masa pandemi Covid-19, Turki mengaktivasi instrumen tarif sebagai salah satu kebijakan extra ordinary untuk menyelamatkan industri dalam negerinya. Pada 20 April 2020, Turki memutuskan menerapkan additional duties terhadap beberapa produk impor, termasuk tekstil, dengan rentang 4 persen-50 persen.
”Kebijakan ini awalnya bersifat sementara (hingga 30 September 2020). Namun, dalam perkembangannya, Turki memperpanjang penerapan additional duties hingga akhir tahun 2020. Pengenaan additional tariff ini berlaku bagi negara-negara yang belum memiliki perjanjian bilateral,” kata Marthin.
Hingga saat ini, Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (Comprehensive Economic Partnership Agreement atau CEPA) antara Indonesia dan Turki masih dalam tahap perundingan. Dengan kata lain, produk tekstil yang diekspor oleh Indonesia masih dikenai additional tariff oleh Turki.
Adapun hambatan nontarif (NTM) juga dikenakan bagi produk tekstil Indonesia. Selama 25 tahun terakhir, Turki melakukan sembilan kali penyelidikan antidumping terhadap Indonesia dan menempatkan Indonesia di urutan ke-6 sebagai negara yang paling banyak diselidiki oleh Turki.
”Dari sembilan tuduhan tersebut, semuanya berakhir dengan pengenaan BMAD (bea masuk antidumping) dan delapan di antaranya masih berlangsung sampai saat ini dengan durasi pengenaan lebih dari sepuluh tahun. Misalnya, untuk produk fitting dan polyester synthetic fiber Indonesia yang dikenai BMAD hingga 2023 dan tidak tertutup kemungkinan diperpanjang lagi,” kata Marthin.
Atase Perdagangan Indonesia di Turki Eric Nababan menyampaikan, penurunan nilai ekspor produk tekstil ke Turki juga disebabkan oleh menurunnya permintaan dalam negeri Turki. Di sisi lain, terdapat indikasi perubahan potensi ekspor Indonesia ke Turki yang dipengaruhi oleh perubahan kebutuhan selama pandemi dan kebijakan Pemerintah Turki.
Dalam masa pandemi, terdapat peningkatan ekspor untuk produk-produk yang dibutuhkan dalam proses produksi makanan, misalnya minyak sawit, cengkeh, kakao, dan tepung kelapa. Peningkatan signifikan juga terjadi untuk produk ban kendaraan bermotor, karet, timah, dan stainless steel.
Strategi ekspor
Eric menjelaskan, untuk mengantisipasi perubahan potensi ekspor dalam masa pandemi dan setelahnya, perlu dilakukan kajian yang komprehensif untuk menentukan potensi pasar ke Turki.
”Kita harus fokus menciptakan produk diferensiasi dengan mengembangkan produk yang memiliki permintaan tinggi dan dimonopoli oleh negara tertentu. Posisi tawar juga perlu ditingkatkan untuk menerapkan hambatan ekspor,” kata Eric.
Peningkatan hubungan baik di bidang politik dan ekonomi dengan Pemerintah Turki dan pemangku kepentingan lain juga perlu dilakukan. Selain itu, mendorong percepatan penyelesaian perundingan Indonesia-Turki (IT)-CEPA agar tidak terdapat additional tariff.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Jemmy Kartiwa Sastraatmaja menyampaikan, dalam menghadapi IT-CEPA, Indonesia dapat melakukan strategi dengan menyamakan level playing field (keadilan). Strategi ini dilakukan dengan memperbaiki aturan dan iklim industri dalam negeri untuk meningkatkan daya saing.
”Kita dapat mengoptimalisasi ekspor produk dengan nilai ekspor tinggi, misalnya pada HS 53 dan HS 59. Upaya ini harus dilakukan mengingat tren ekspor produk tekstil kita ke Turki cenderung menurun, sementara impor Indonesia dari Turki kian meningkat meski tidak dalam jumlah besar,” kata Jemmy.
Director Corporate Strategy and Business Development Sritex Group Abhay Kumar Agarwal menyoroti, meski Turki memberlakukan hambatan tarif dan nontarif bagi produk tekstil Indonesia, tetap ada produk tekstil yang ekspornya meningkat. Salah satunya, serat buatan dan benang yang tumbuh sekitar 3,55 persen dalam lima tahun terakhir.
Pertumbuhan ekspor produk tekstil, kata Agarwal, berarti produsen fiber dan spinners Indonesia merupakan pemasok tepercaya dengan kualitas benang yang konsisten. Produksi dalam negeri Turki juga tidak mampu memenuhi permintaan dari industri dalam negeri mereka.
”Kita harus mencoba meyakinkan mitra Turki bahwa serat dan benang sintetis adalah bahan baku untuk industri mereka dan harus tersedia bagi industri mereka dengan harga wajar dan jumlah memadai,” ujarnya.