Kekerasan, termasuk di lembaga pendidikan, kerap terjadi di Afghanistan. Serangan di barat Kabul, akhir pekan lalu, menyasar para tunas bangsa di negara itu.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Demikian sering terjadi, kekerasan seolah menjadi bagian dari kehidupan dan keseharian di Afghanistan. Kekerasan seperti menjadi ”bahasa” di negara itu dalam menyampaikan pesan dan tujuan. Serangan bom bunuh diri di sebuah pusat pendidikan di barat ibu kota Kabul, Sabtu (24/10/2020), menampilkan wajah kekerasan menyasar tunas bangsa, calon penerus Afghanistan. Menurut Kementerian Dalam Negeri Afghanistan, hingga Minggu (25/10), sedikitnya 24 orang tewas dan 57 orang terluka dalam insiden serangan tersebut.
Seperti diberitakan laman harian ini, sebagian besar korban tewas adalah remaja yang berkegiatan di lembaga pendidikan itu. Usia mereka berkisar 15-26 tahun. Lembaga bernama Kawsar e Danish itu adalah lembaga pendidikan luar sekolah—semacam lembaga bimbingan belajar—yang memberi bekal dan menyiapkan para siswanya menghadapi ujian ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Media Afghanistan melaporkan, lebih dari 5.000 siswa telah belajar di lembaga yang menjadi target serangan bom bunuh diri tersebut (Kompas.id, 25/10).
Informasi yang diberikan oleh seorang guru menyebutkan, para siswanya rata-rata berasal dari keluarga miskin, tetapi ingin mengubah nasib dan menapak masa depan yang lebih cerah. Ketua Dewan Tinggi Rekonsiliasi Afghanistan Abdullah Abdullah menilai, tindakan itu sebagai tak berperikemanusiaan dan hanya dilakukan oleh pengecut. Penyerang atau otak serangan tersebut tak ingin melihat Afghanistan melahirkan tunas bibit unggul pada masa depan yang diharapkan membangun kembali negara itu dari puing kehancuran dan keterpecahan akibat konflik panjang.
Saat ini, sebenarnya sedang berlangsung perundingan antara kubu Pemerintah Afghanistan dan kelompok Taliban. Negosiasi ini merupakan kelanjutan dari kesepakatan Taliban dan Amerika Serikat (AS), Februari lalu, sebagai bagian dari rencana AS menarik pasukannya dari Afghanistan. Perundingan digelar di Doha, Qatar, mulai 12 September lalu. Namun, perundingan itu tak menghentikan kekerasan di lapangan. Taliban menyatakan tak terlibat dalam serangan di Kawsar e Danish itu. Milisi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) mengklaim bertanggung jawab, seperti saat serangan di lembaga pendidikan, Agustus 2018, yang menewaskan 34 siswa.
Sebelum ada kesepakatan dalam perundingan antara Kabul dan Taliban, kekerasan demi kekerasan rasanya akan terus menghantui warga Afghanistan. Meski demikian, sungguh menyentuh tekad yang dilontarkan Latif Ibrahimi, salah satu siswa di Kawsar e Danish, seperti dikutip media Afghanistan, Tolo News. Musuh, demikian ia menyebut pelaku serangan tersebut, ingin menghalangi tunas muda Afghanistan dari pendidikan. Pelaku serangan ingin mereka berhenti sekolah. Namun, tegas Ibrahimi, hal itu tak mungkin. Kekerasan boleh jadi terus mengancam, tetapi tunas muda Afghanistan tidak gentar dan akan terus mengasah diri melalui pendidikan.