Kelayakan Kerja di Sektor UMKM Juga Perlu Diperhatikan
›
Kelayakan Kerja di Sektor UMKM...
Iklan
Kelayakan Kerja di Sektor UMKM Juga Perlu Diperhatikan
Semangat menciptakan lapangan kerja itu kerja yang layak, bukan eksploitatif. Hal ini harus dikawal, maka PP menjadi penting agar tidak kebobolan di sana.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Undang-Undang Cipta Kerja dinilai memberi berbagai kemudahan dan dukungan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah. Meskipun begitu, kelayakan kerja di sektor tersebut juga tetap harus diperhatikan dan dikawal.
Pendiri Fokus UMKM, Samsul Hadi, Senin (26/10/2020), mengatakan, Undang-Undang Cipta Kerja dinilai harus mampu memberikan satu rumusan dasar yang menjadi acuan bersama terkait dengan data pelaku UMKM di Indonesia. Peraturan pemerintah (PP) sebagai turunannya pun mesti semaksimal mungkin menutup peluang terjadi praktik kecurangan, semisal mengakali ketentuan di sisi upah minimum.
”Semangat menciptakan lapangan kerja itu kerja yang layak, bukan eksploitatif. Hal ini harus dikawal, maka PP menjadi penting agar tidak kebobolan di sana,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta.
Semangat menciptakan lapangan kerja itu kerja yang layak, bukan eksploitatif. Hal ini harus dikawal, maka PP menjadi penting agar tidak kebobolan di sana.
Selama ini, Fokus UMKM melalui berbagai forum selama ini turut memperjuangkan lahirnya basis data tunggal UMKM. Salah satunya di rapat dengar pendapat umum dengan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat RI pada 4 Mei 2020.
Basis data tunggal UMKM ini penting dan perlu ditopang dengan kriteria UMKM yang jelas. Dalam RUU Cipta Kerja yang saat ini sedang dalam proses diundangkan menjadi UU, kriteria UMKM tidak diatur secara gamblang. Detail kriteria itu akan diatur dalam PP.
Dalam Pasal 6 RUU itu disebutkan, kriteria UMKM dapat memuat modal usaha, omzet, indikator kekayaan bersih, hasil penjualan tahunan, atau nilai investasi, insentif dan disinsentif, penerapan teknologi ramah lingkungan, kandungan lokal, atau jumlah tenaga kerja sesuai dengan kriteria setiap sektor usaha. Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria UMKM diatur dengan PP.
Hal ini berbeda dengan regulasi sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM. UU ini mengatur kriteria usaha di tiap segmen UMKM berdasarkan batasan maksimal kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan. Batasan maksimal yang diatur dalam Pasal 6 UU itu disebutkan secara pasti nominalnya.
Samsul menilai, dengan adanya kejelasan kriteria UMKM di UU tersebut, besaran batasan maksimal kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan UMKM susah dikoreksi karena tidak mudah mengubah UU. Oleh karena itu, dalam RUU Cipta Kerja, ada upaya menaruh detail kriteria UMKM di PP agar kalau direvisi lebih cepat prosesnya.
Selain itu, ada pasal di RUU Cipta Kerja yang dinilai berisiko tinggi terhadap kelayakan upah bagi pekerja di sektor UMKM. Pasal 90B RUU itu menyebutkan, ketentuan upah minimum dikecualikan bagi usaha mikro dan kecil. Upah pada usaha mikro dan kecil ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh di perusahaan.
Samsul berpendapat, upah tenaga kerja jangan dianggap beban. Upah tersebut merupakan komponen biaya produksi yang riil dan harus dipenuhi pengusaha. Keunggulan produk Indonesia pun harus dibangun dari tenaga kerja berproduktivitas tinggi, bukan dari tenaga kerja murah.
”Sudah tidak zamannya lagi berkompetisi dengan adu murah tenaga kerja. Jadi, terkait pengupahan di usaha mikro dan kecil, memang harus dicari keseimbangan yang bagus untuk semuanya. Prinsipnya, enggak ada pengusaha mau hidup sendiri tanpa karyawan. Demikian pula sebaliknya,” katanya.
Sebelumnya, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Media Wahyudi Askar, menuturkan, ada potensi risiko atau masalah ketika nantinya PP sebagai turunan UU Cipta Kerja tidak dapat mendefinisikan tiap segmen UMKM dengan baik.
”Masalahnya ada pada definisi usaha mikro dan kecil yang belum jelas,” katanya.
Menurut Media, aturan baru nantinya jangan sampai merugikan buruh atau tenaga kerja di usaha mikro dan kecil yang selama ini sebagian di antaranya tidak ada masalah terkait upah minimum. Dampak pengecualian ketentuan upah minimum pada usaha mikro dan kecil bagi para buruh harus mendapat perhatian.
Sementara itu, Ketua Umum DPP Himpunan Pengusaha Mikro dan Kecil Indonesia (Hipmikindo) Syahnan Phalipi mengatakan, kebijakan pengupahan di usaha mikro dan kecil seharusnya memang dibedakan dengan di perusahaan besar. Apalagi, banyak pelaku usaha mikro dan kecil yang merasa berat ketika harus memenuhi ketentuan upah minimum.
Di usaha mikro kecil dapat dijumpai ada pekerja yang tidak mempermasalahkan ketika dibayar tidak sesuai upah minimum provinsi (UMP). Ada pula pelaku usaha mikro kecil yang tidak mampu membayar pegawainya sesuai UMP, tetapi turut membantu dengan berbagai cara.
”Misalnya, ada pelaku usaha mikro dan kecil yang menanggung uang makan pekerjanya. Atau, di beberapa kasus, juga ada yang memberi tumpangan tempat tinggal, meskipun sederhana, bagi pekerjanya,” kata Syahnan.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menuturkan, UU Cipta Kerja memberikan berbagai kemudahan bagi UMKM untuk tumbuh berkembang. Kemudahan bagi UMKM tersebut mencakup aspek perizinan dan pembiayaan, sertifikasi halal yang digratiskan, hingga dukungan di sisi pemasaran.
Beberapa hal yang diatur dalam UU Cipta Kerja akan didetailkan dalam PP. ”Presiden Joko Widodo menugaskan kami untuk segera mendorong UMKM naik kelas. Dengan landasan hukum UU Cipta Kerja, (tugas) ini menjadi tidak sulit,” kata Teten dalam dialog ”Covid-19: Penerapan Protokol Kesehatan di UMKM” yang digelar secara virtual, Senin.