Muktamar Bukan Hanya Memilih Ketua Umum
PPP akan menggelar Muktamar IX di Makassar, Sulawesi Selatan. Selain memilih ketua umum, muktamar PPP kali ini diharapkan juga dimanfaatkan guna memikirkan ulang platform partai yang lebih adaptif dengan perubahan zaman.
JAKARTA, KOMPAS — Muktamar IX Partai Persatuan Pembangunan yang menurut rencana digelar di Makassar, Sulawesi Selatan, idealnya tidak menjadi ajang pemilihan ketua umum definitif semata, tetapi kesempatan bagi partai untuk kembali ke khitah perjuangan dan memperbaiki partai. Sejumlah hal perlu menjadi perhatian peserta muktamar dan perwakilan kader dari daerah, yakni optimalisasi semangat fusi dan pelibatan yang lebih akomodatif terhadap empat unsur pendiri PPP tersebut.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PPP Lena Mariana Mukti mengatakan, momentum Muktamar IX PPP yang akan datang di Makassar merupakan kesempatan strategis bagi partai untuk membicarakan soal khitah perjuangan partai dan upaya memberdayakan unsur-unsur pendiri PPP.
Momentum Muktamar IX PPP yang akan datang merupakan kesempatan strategis bagi partai untuk membicarakan soal khitah perjuangan partai dan upaya memberdayakan unsur-unsur pendiri PPP.
Ada empat unsur pendiri PPP yang dinilai perlu untuk dirangkul kembali dan diakomodir menjadi kekuatan partai. Empat unsur atau kelompok tersebut ialah Nahdlatul Ulama (NU), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Muslimin Indonesia (MI) yang kini menjadi Parmusi (Persaudaraan Muslimin Indonesia), dan Partai Syarikat Islam (PSI).
”Kekuatan empat unsur ini selama ini belum terlalu diberdayakan dan saatnya perlu untuk diperkokoh sebagai landasan dari berdirinya PPP. Pada saat muktamar, kita sebaiknya tidak hanya memikirkan soal ketua umum partai saja. Sebab, kepemimpinan di PPP ini sifatnya kolektif kolegial. Oleh karenanya, yang bisa menjadi ketua umum itu bukan sekadar sosok yang mumpuni, melainkan juga memenuhi syarat sebagai kader,” papar Lena saat dihubungi, Selasa (27/10/2020).
Baca juga: Muktamar Jadi Momentum Kebangkitan PPP
Lena mengatakan, sebagai satu keluarga besar, empat unsur kekuatan yang menyusun fusi PPP, tahun 1973, harus diakomodir dan tidak boleh diabaikan. Dalam khitah perjuangan di garis-garis besar perjuangan partai juga jelas disebutkan kekuatan empat unsur ini. Cara merangkul empat unsur ini ialah melalui politik dan komunikasi yang akomodatif.
”Jangan, misalnya, karena tidak sepakat dengan pendirian atau sikap PPP selama ini, lalu mereka yang kritis tidak diikutsertakan dalam pengambilan kebijakan dan langkah partai. Demikian juga mereka yang berasal dari empat unsur fusi PPP,” katanya.
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PPP telah memberikan syarat caketum minimal harus pernah menjadi pengurus DPP PPP selama satu periode.
Menanggapi munculnya nama-nama tokoh yang diusulkan kader dari daerah untuk menjadi calon ketua umum, menurut Lena, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PPP telah memberikan syarat caketum minimal harus pernah menjadi pengurus DPP PPP selama satu periode. Menurut Lena, syarat itu tidak dapat ditawar.
Munculnya nama-nama seperti Sandiaga Uno, Khofifah Indar Parawansa, Saifullah Yusuf, yang diusulkan oleh sejumlah pengurus wilayah dan cabang di kabupaten/kota, dengan demikian, harus dicermati apakah telah sesuai dengan AD/ART PPP ataukah tidak.
Menurut Lena, PPP memiliki banyak kader yang mumpuni dan memenuhi syarat sebagai pimpinan partai. Nama-nama di luar PPP yang disebutkan dan diusulkan oleh para kader PPP di daerah juga belum tentu bersedia membangun PPP.
”Seperti Pak Sandiaga, saat ini, kan, sudah menjadi Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra. Sangat tidak elok kalau teman-teman cabang berpikir bahwa tidak ada kader partai yang mampu mengisi kursi kepemimpinan di PPP. Jadi, lebih baik teman-teman cabang berkonsentrasi membangun PPP, memperkokoh PPP, daripada mewacanakan soal ketua,” tuturnya.
Sebelumnya, nama-nama tokoh dari luar PPP diusulkan oleh kader dan pimpinan wilayah serta cabang PPP menjelang Muktamar IX PPP. Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani mengatakan, usulan itu merupakan bagian dari dinamika demokrasi yang dibuka di internal partai. Usulan itu boleh-boleh saja, tetapi AD/ART telah mengatur syarat calon Ketum PPP minimal harus pernah menjadi pengurus di jajaran DPP PPP atau memimpin wilayah selama satu periode. Aturan itu dilakukan karena pada prinsipnya PPP adalah partai kader.
Baca juga: Rumah Besar PPP yang Merapuh
Namun, menurut Arsul, hal ini bukan berarti PPP menjadi tertutup dengan tokoh atau pihak lain. ”Orang-orang siapa pun tokoh dan kelompok milenial kita buka masuk, tetapi tidak sebagai ketum. Boleh saja jadi waketum, sekjen, atau posisi lain. Jadi, fondasi partai jangan diubah karena kepentingan praktis,” ujarnya.
Nama-nama yang banyak disebut, seperti Sandiaga, Khofifah, dan Saifullah (Gus Ipul), menurut Arsul, juga belum ditanyai kesediaannya.
Nama-nama mereka baru merupakan usulan kader. Tokoh di luar partai, menurut Arsul, terganjal dengan AD/ART yang merefleksikan prinsip PPP sebagai partai kader.
”Sebagai usulan dalam ruang demokrasi internal yang terbuka, itu boleh saja, tetapi juga kita ingatkan kepada teman-teman bahwa PPP ini ketika didirikan itu fondasinya adalah partai kader. Di dalam AD/ART, perwujudan sebagai partai kader itu diatur, siapa pun yang mau jadi ketua umum harus pernah menjadi pengurus di level DPP PPP atau pernah menjadi ketua wilayah satu periode,” katanya.
Tokoh di luar partai yang ingin menjadi ketua umum terganjal dengan AD/ART yang merefleksikan prinsip PPP sebagai partai kader.
Dihubungi terpisah, juru bicara Sandiaga, Kawendra Lukistian, mengatakan, Sandiaga tetap berada di Partai Gerindra. ”Insya Allah saya sangat meyakini beliau berkomitmen untuk sama-sama semakin membesarkan Gerindra ke depannya. Komunikasi Bang Sandi pun dengan Pak Prabowo, Bang Dasco (Sufmi Dasco Ahmad), Bang Muzani (Ahmad Muzani), serta para pimpinan Gerindra lainnya sangatlah baik dan intens,” ujarnya.
Selain dari luar PPP, Arsul mengatakan, nama kader senior, seperti Pelaksana Tugas (Plt) Suharso Monoarfa dan Akhmad Muqowam, juga muncul sebagai usulan para kader di wilayah ataupun cabang.
Muqowam mengatakan, muktamar harus mampu menggerakkan kekuatan historis PPP yang merupakan fusi dari empat kekuatan Islam ketika itu menjadi suatu kekuatan yang efektif.
”Jangan pernah lupakan unsur fusi PPP selama PPP masih ada. Penghormatan terhadap unsur fusi PPP tahun 1973, yaitu NU, MI, Perti, dan SI, harus dilakukan. Itu fakta sejarah. Pengurus sekarang dan yang akan datang harus mampu mengaktualisasi motivasi fusi tersebut ke dalam PPP,” ujarnya.
Upaya untuk kembali kepada semangat fusi ini penting guna mengembalikan kekuatan PPP. Terlebih lagi, situasi yang dihadapi oleh PPP saat ini tidaklah mudah. Dalam Pemilu 2019, PPP mengirimkan anggota legislatif DPR RI terkecil di antara partai lainnya, yakni 19 kursi. Lebih miris lagi, menurut Muqowam, survei terakhir yang dilakukan sebuah lembaga survei, yang mengandaikan pemilu dilaksanakan hari ini, perolehan PPP hanya 0,6 persen. Walau ada yang tidak yakin dengan survei tersebut, hal itu paling tidak harus menjadi refleksi bagi PPP saat ini.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, mengatakan, PPP harus berbenah melalui muktamar kali ini. Sebab, persaingan di antara partai dengan basis pemilih Islam tidaklah ringan. Di kalangan NU, misalnya, PPP harus berbagi massa dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Muncul pula partai-partai baru berbasis pemilih yang serupa. Selain itu, pemilih juga banyak melirik partai-partai menengah, seperti Nasdem, yang belakangan dinilai memunculkan inovasi.
”Yang dibutuhkan oleh PPP juga inovasi-inovasi politik dan mendefinisikan ulang soal platform partai yang lebih adaptif terhadap perubahan zaman sehingga PPP memiliki target pemilih baru yang dapat mendongkrak suara partai. Di masa Romy (Romahurmuziy), sebenarnya ada beberapa inisiatif yang dilakukan. Misalnya, dengan mendekati pemilih milenial, tetapi itu tidak berlanjut karena dia tersangkut kasus korupsi,” kata Arya.
Yang dibutuhkan oleh PPP juga inovasi-inovasi politik dan mendefinisikan ulang soal platform partai yang lebih adaptif terhadap perubahan zaman.
Arya menilai, Suharso di atas kertas akan berpotensi menduduki kursi Ketum PPP. Saat ini, dia adalah menteri di pemerintahan yang berkuasa dan sekaligus merupakan figur yang mengayomi partai dalam masa-masa sulit. Namun, bukan tidak mungkin muncul tokoh-tokoh baru yang segar dan menawarkan inovasi-inovasi yang mampu bersaing di dalam muktamar.