Pekerja Inginkan Kenaikan Upah secara Proporsional
›
Pekerja Inginkan Kenaikan Upah...
Iklan
Pekerja Inginkan Kenaikan Upah secara Proporsional
Serikat pekerja menolak keputusan pemerintah yang tidak menaikkan upah minimum pada 2021. Pekerja berharap kenaikan upah secara proporsional diatur dengan memperhatikan kondisi sektor usaha selama pandemi.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keputusan pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan untuk tidak menaikkan upah pekerja pada 2021 menimbulkan keresahan. Serikat pekerja pun berharap kenaikan upah secara proporsional diatur dengan memperhatikan kondisi sektor usaha selama pandemi.
Keresahan pekerja ini menanggapi Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/11/HK.04/X/2020 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2021 pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang diteken Senin (26/10/2020).
Dalam surat edaran itu, pemerintah daerah diimbau agar menetapkan upah minimum provinsi (UMP) atau upah minimum kabupaten/kota (UMK) tahun 2021 sama dengan tahun 2020 pada akhir bulan ini. Keputusan itu mempertimbangkan perlindungan dan kelangsungan pekerja/buruh serta menjaga kelangsungan usaha selama pemulihan masa ekonomi.
Menanggapi hal tersebut, Selasa (27/10/2020), pekerja yang diwakili Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyatakan penolakan. Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan, penolakan mereka dilandaskan pada beberapa alasan. Salah satunya, kondisi usaha yang tidak semuanya terdampak pandemi.
”Tidak semua perusahaan kesulitan akibat pandemi Covid-19. Kami meminta keputusan kenaikan upah dilakukan secara proporsional,” kata Said yang mengharapkan kenaikan upah tahun depan tetap ada dengan kisaran 3 persen hingga 8 persen. Persentase itu lebih rendah dari kenaikan UMP 2020 sebesar 8,51 persen.
Selain itu, Said berpendapat, kebijakan tidak menaikkan upah ini berlawanan dengan sejarah krisis ekonomi yang dialami Indonesia sebelumnya. Ia pun membandingkan dengan apa yang terjadi pada tahun 1998 hingga 2000.
Saat itu, ia menyebut, UMP tetap naik 16 persen pada tahun 1998 ke 1999 di DKI Jakarta kendati pertumbuhan ekonomi tahun 1998 minus 17,49 persen. Begitu juga dengan upah minimum tahun 1999 ke 2000 yang naik 23,8 persen meski pertumbuhan ekonomi tahun 1999 minus 0,29 persen.
”Jika upah minimum tidak naik, daya beli masyarakat akan semakin turun. Daya beli turun akan berakibat jatuhnya tingkat konsumsi. Ujung-ujungnya berdampak negatif buat perekonomian,” ujarnya.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah dalam dialog bersama Satuan Tugas Penanganan Covid-19 yang disiarkan secara virtual hari Selasa (27/10/2020) menjelaskan, keputusan itu telah dibuat setelah diskusi panjang dengan Dewan Pengupahan Nasional (Depenas).
”Atas berbagai pandangan dan dialog dengan forum Depenas, kami mengeluarkan surat edaran penyesuaian upah minimum provinsi 2021 sama dengan UMP 2020. Setelah 2021, kebijakan akan dikembalikan ke peraturan perundang-undangan,” tuturnya.
Ia mengakui, keberlangsungan usaha menjadi pertimbangan yang diperhatikan dalam pengambilan keputusan tersebut. Meski demikian, pemerintah berjanji akan tetap memperhatikan kemampuan daya beli pekerja dengan bantalan hukum yang sudah disiapkan.
Kebijakan yang telah dibuat untuk melindungi daya beli pekerja antara lain subsidi upah, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menaker Nomor 14 Tahun 2020. Subsidi upah yang diberikan senilai Rp 1,2 juta per pekerja dengan upah di bawah Rp 5 juta.
Pada kesempatan itu, Ida melaporkan, penyaluran subsidi termin pertama sampai 23 Oktober telah sampai kepada 12,9 juta pekerja (98,30 persen target) dengan total dana yang disalurkan Rp 14,6 triliun. ”Penyaluran termin kedua akan dimulai minggu pertama November 2020,” katanya.
Di sisi lain, pemerintah pusat menilai pertumbuhan ekonomi sudah menunjukkan perbaikan sejak adaptasi kebiasaan baru diterapkan. Pertumbuhan ekonomi pada 2021 bahkan diproyeksikan akan kembali positif.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, adaptasi kebiasaan baru telah memperbaiki daya beli masyarakat. Selain itu, kenaikan minat investasi juga diharapkan mempercepat bangkitnya pertumbuhan ekonomi.
”Indeks konsumen sudah naik, demikian juga dengan utilisasi produksi yang meningkat rata-rata 60 persen. Artinya geliat pasar naik dan ini akan kita jaga sampai akhir tahun. Investasi sampai September juga ada kenaikan secara tahunan setelah kita membuka kembali 11 sektor industri,” tuturnya.
Dengan tren tersebut, pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada triwulan III-2020 hanya akan minus 3 persen sampai minus 1 persen secara tahunan dan minus 1,7 persen sampai 0,6 persen pada akhir Desember 2020. Adapun tahun depan, pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dapat kembali naik 4,5 persen sampai 5,5 persen.
”Kita berharap ke depan ini sesuai proyeksi, optimisme makin tinggi, dan pemulihan ekonomi berjalan, yakni dengan pertumbuhan 4,5-5,5 persen. Tren positif harus kita jaga bersamaan dengan menjaga tren kesehatan. Tetap disiplin protokol agar bisa mencegah penyebaran Covid-19 dan pemulihan ekonomi bisa dilanjutkan,” ujarnya.