Sejauh belum terjadi reformasi partai politik dan reformasi sistem pemilihan, jadilah pemilih yang rasional kritis. Tak perlu menjadi pemuja berlebihan. Tak perlu juga menjadi pembenci berlebihan.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Kontestan pemilihan kepala daerah 9 Desember 2020 ditengarai banyak didanai cukong. Itu temuan Komisi Pemberantasan Korupsi dan ditegaskan Menko Polhukam Mahfud MD.
Mahfud MD menyebutkan, berdasarkan data dari KPK, 82 persen calon kepala daerah dibiayai cukong. Akibatnya, menurut Mahfud, kepala daerah akan terjebak pada korupsi kebijakan yang menyusahkan negeri. Di sisi lain, harian ini, 26 Oktober 2020, melaporkan, belasan kandidat bermodal nekat. Dengan kekayaan minus (lebih banyak utang daripada harta), mereka ikut kontestasi pilkada.
Temuan harian ini berdasarkan analisis dari laporan harta kekayaan penyelenggara negara 1.472 calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah. Laporan harta kekayaan itu bersifat self assessment. Laporan mendasarkan pada kejujuran calon kepala daerah.
Data kuantitatif KPK menunjukkan, 82 persen dibiayai cukong. Sayang, data itu tidak ditelusuri lebih jauh, siapa mereka. Padahal, transparansi dan akuntabilitas penting agar bangsa ini mendapat pemimpin yang punya asketisme politik. Untuk itulah, pemantauan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menjadi penting.
Pilkada butuh biaya politik. Masalahnya, berapa besar biaya politik yang pantas. Biaya yang terlalu besar bisa juga dipertanyakan bagaimana pengembaliannya. Calon tanpa punya dana juga sebenarnya tidak masuk akal dalam politik Indonesia.
Sejarah politik Indonesia menunjukkan bahwa orang bisa berubah. Mengukur kualitas seseorang bukanlah dari sisi kekayaan. Orang harus dilihat saat dia tidak menjabat dan pada saat dia menjabat. Calon yang dipandang prorakyat sebelum kontestasi bisa berubah ketika kekuasaan di tangan. Kekuasaan itu memesona. Kekuasaan itu menggetarkan. Akibatnya, banyak orang mau membeli kekuasaan, mempertahankan kekuasaan, atau menambah kekuasaan.
Kembali pada soal pilkada, terlebih di era pandemi, kita mendorong publik untuk kritis menghadapi data kekayaan calon. Kritis terhadap calon yang tiba-tiba pro terhadap rakyat. Calon yang tiba-tiba membela kepentingan rakyat.
Calon yang tiba-tiba menjanjikan ini dan itu, sementara dukungan anggarannya tidak memungkinkan. Lihatlah rekam jejaknya semasa menjabat, betulkah semua kebijakan yang diambilnya untuk kepentingan rakyat? Tak perlu terbuai oleh retorika tak berdasar. Melihat rekam jejak dan melacak komitmen menjadi penting dalam memilih pemimpin.
Sejauh belum terjadi reformasi partai politik dan reformasi sistem pemilihan, jadilah pemilih yang rasional kritis. Tak perlu menjadi pemuja berlebihan. Tak perlu juga menjadi pembenci berlebihan. Tak perlu silau dengan kekayaan berlimpah yang dimiliki calon. Tak perlu juga bersimpati kepada calon yang tak punya kekayaan. Sikapi perbedaan politik dengan biasa-biasa saja. Sebab, kenyataannya, politik Indonesia masih dipahami sebagai siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana mendapatkannya. Reformasi partai penting.