Sebulan, Tiga Kasus Kepemilikan Senjata Api Ilegal di Bandara Soekarno-Hatta
›
Sebulan, Tiga Kasus...
Iklan
Sebulan, Tiga Kasus Kepemilikan Senjata Api Ilegal di Bandara Soekarno-Hatta
Tiga kasus kepemilikan senjata api terjadi di Bandara Soekarno-Hatta kurang dari sebulan terakhir. Pakar menilai kejadian itu terkait hilangnya rasa aman warga.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·3 menit baca
TANGERANG, KOMPAS — Kurang dari satu bulan, polisi mengungkap tiga kasus kepemilikan senjata api ilegal di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Fenomena itu dikaitkan dengan kurangnya rasa aman warga.
Kasus pertama kepemilikan senjata api ilegal di Bandara Soekarno-Hatta yang diungkap polisi terjadi pada 19 September 2020. Saat itu seorang calon penumpang pesawat berinisial SAS (54) kedapatan membawa senjata api jenis revolver. SAS berniat bepergian dari Jakarta menuju Makassar, Sulawesi Selatan.
”Ketika dilakukan pengecekan oleh petugas keamanan bandara, yang bersangkutan tidak dapat menunjukkan surat-surat atau kelengkapan administrasi senjata api itu,” kata Kepala Polresta Bandara Soekarno-Hatta Komisaris Besar Ferdian Adi Saputra, Selasa (27/10/2020), saat merilis pengungkapan kasus itu di Markas Polresta Bandara Soekarno-Hatta.
SAS saat ini masih menjabat sebagai direktur sebuah perusahaan di Sulawesi. Menurut pengakuannya, ia telah memiliki senjata api itu sejak 2015. Alasan kepemilikannya, alat untuk menjaga diri.
Ferdian mengatakan, senjata api revolver yang dibawa SAS merupakan buatan pabrik dan memiliki nomor registrasi yang terdaftar. Hingga saat ini, jajarannya masih menyelidiki asal atau sumber senjata api tersebut. Kepada polisi, SAS mengaku memperolehnya dari rekannya dengan cara membeli pada 2015.
Kasus kedua terjadi pada 29 September 2020. Polresta Bandara Soekarno-Hatta mendapat informasi dari PT Pos Indonesia (Persero) bahwa ada seseorang memesan amunisi sebanyak 50 butir dari Jakarta. Setelah melakukan penyelidikan, pemesan diketahui berinisial ZI (35) dan berdomisili di Padang, Sumatera Barat. Amunisi tersebut akan dikirim menuju Pekanbaru, Riau.
Polisi lalu bergerak menangkap ZI di Padang. ZI kemudian ditahan beserta barang bukti senjata api jenis air gun. Menurut Ferdian, ZI dulunya merupakan polisi yang kemudian diberhentikan secara tidak hormat.
Kasus kepemilikan senjata api ilegal yang ketiga diungkap pada 9 Oktober 2020. Sama seperti kasus kedua, kasus kali ini juga bisa diungkap berkat laporan PT Pos Indonesia yang menginformasikan ada pengiriman senjata api jenis revolver rakitan. Namun, dalam kasus ketiga ini, polisi belum dapat menangkap tersangka berinisial R yang menjadi penerima paket. ”Tersangka kasus ketiga ini masih dalam pengejaran kami,” kata Ferdian.
Polisi menjerat SAS dan ZI dengan Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang (UU) Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951. Mereka terancam hukuman penjara 20 tahun atau seumur hidup.
Secara terpisah, psikolog forensik Reza Indragiri Amriel berpendapat, pengungkapan tiga kasus kepemilikan senjata api ilegal dapat dimaknai sebagai tidak terpenuhinya rasa aman warga. Reza menggambarkannya pada suatu siklus di mana niat memiliki senjata api beranjak dari masyarakat yang merasa tak memiliki rasa aman.
Karena merasa tak memiliki rasa aman, fase berikutnya adalah masyarakat akan meninjau seberapa jauh otoritas berwenang mampu memulihkan rasa aman tersebut. Bila masyarakat berkesimpulan tidak ada otoritas yang bisa menciptakan rasa aman, mereka akan enggan melapor ketika merasa terancam atau menjadi korban.
”Maka, pada tahap berikutnya, mereka akan mulai mempersenjatai diri,” kata Reza.