Kejagung Selamatkan Uang Negara Ratusan Triliun Rupiah
›
Kejagung Selamatkan Uang...
Iklan
Kejagung Selamatkan Uang Negara Ratusan Triliun Rupiah
Kejagung membeberkan sejumlah capaian kejaksaan selama satu tahun di bawah kepemimpinan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin. Kejaksaan mengklaim telah menyelamatkan dan memulihkan keuangan negara ratusan triliun rupiah.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kejaksaan Agung membeberkan sejumlah capaian kejaksaan selama satu tahun di bawah kepemimpinan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin. Salah satunya, kejaksaan menyebutkan telah menyelamatkan dan memulihkan keuangan negara sebesar lebih dari Rp 425 triliun.
Meski demikian, capaian kejaksaan itu belum cukup untuk memuaskan publik. Capaian itu pun dinilai tercederai dengan kasus pelarian Joko Tjandra yang melibatkan oknum jaksa.
Kejaksaan Agung (Kejagung) merilis capaian kinerja satu tahun Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin pada Senin (26/10/2020). Ada banyak capaian yang dibeberkan, salah satunya mengenai penyelamatan dan pemulihan uang negara yang dilakukan dalam periode Oktober 2019-Oktober 2020.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejagung Hari Setiyono mengatakan, dalam bidang pidana khusus, Kejagung menyelamatkan keuangan negara dengan total Rp 19,62 triliun dan 1.412 ringgit Malaysia atau setara Rp 4,97 miliar.
Untuk pengembalian keuangan negara dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) di bidang pidana khusus mencapai Rp 7 triliun, dari denda perkara sebesar Rp 48,87 miliar dan biaya perkara senilai Rp 66,04 miliar. Dari bidang perdata dan tata usaha negara (TUN), total keuangan negara yang berhasil diselamatkan lebih besar, yaitu Rp 388,87 triliun dan 11,83 juta dollar AS.
Adapun keuangan negara yang berhasil dipulihkan dalam periode Oktober 2019-September 2020 mencapai Rp 11,13 triliun dan 409.906 dollar AS.
”Untuk pemulihan keuangan negara, Kejagung berhasil mengembalikan uang atau aset negara yang dikuasai pihak lain. Adapun dalam penyelamatan keuangan negara, negara bisa saja keluar uang, tetapi tak sebesar yang dituntut,” ujarnya.
Selain itu, dalam satu tahun terakhir, Kejagung menangani bahkan menuntaskan sejumlah kasus korupsi yang meresahkan publik. Salah satunya, kasus korupsi Jiwasraya. Enam terdakwa dalam kasus tersebut telah divonis bersalah oleh pengadilan. Tak hanya itu, penyidik telah melakukan upaya penyelamatan kerugian negara dengan nilai taksiran sekitar Rp 18,467 triliun atau lebih besar dari kerugian negara dalam kasus Jiwasraya yang diduga mencapai Rp 16,807 triliun.
Inovasi pendekatan
Hari menambahkan, Kejagung juga telah melakukan inovasi dalam penanganan korupsi yang merugikan perekonomian negara. Penanganan korupsi itu tidak hanya menitikberatkan pada pemulihan kerugian negara, tetapi juga dibandingkan dengan potensi kerugian serta efek domino akibat tindak pidana korupsi tersebut.
”Dalam dugaan tindak pidana korupsi importasi tekstil pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tahun anggaran 2018-2020, misalnya, Kejagung melakukan inisiasi berupa pendekatan dengan penghitungan potensi kerugian perekonomian negara. Dasar penghitungannya, penurunan aktivitas industri dalam negeri akibat lonjakan impor barang yang diselidiki dan potensi pengeluaran rumah tangga yang hilang akibat pemutusan hubungan kerja industri dalam negeri,” kata Hari.
Dalam kasus importasi tekstil itu ditemukan, ada delapan perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) selama kurun waktu 2016-2019. Hal itu diketahui dari laporan Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI). Dampaknya, aktivitas industri dalam negeri merugi sebesar Rp 65,35 triliun. Adapun kerugian perekonomian akibat pengeluaran rumah tangga dari pekerja yang di-PHK diperkirakan senilai Rp 19,73 miliar.
”Penghitungan kerugian itu menggunakan pendekatan irreducible approach atau kerugian yang terjadi tidak mungkin lebih rendah daripada angka tersebut,” kata Hari.
Pendekatan baru itu diharapkan tidak hanya mendorong pendekatan yang sama dalam perkara korupsi yang merugikan perekonomian negara, tetapi juga mendorong perbaikan tata kelola di bidang yang menjadi obyek korupsi. Dalam jangka panjang, perbaikan tata kelola tersebut diharapkan dapat meningkatkan perekonomian dan pendapatan negara.
Ekspektasi publik
Sekalipun sejumlah capaian dibeberkan Kejagung, pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, melihat hal itu belum cukup untuk bisa memuaskan publik.
Dalam jajak pendapat lewat telepon oleh Litbang Kompas pada 14-16 Oktober 2020 terlihat, hanya sekitar 32 persen responden yang merasa puas dengan penegakan hukum di satu tahun pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Adapun yang menyatakan ketidakpuasannya, lebih besar atau mencapai sekitar 64 persen.
Abdul menengarai, ketidakpuasan publik tersebut dipengaruhi oleh kasus pelarian Joko Tjandra, yang melibatkan sejumlah oknum penegak hukum, salah satunya jaksa Pinangki Sirna Malasari. Joko Tjandra merupakan terpidana kasus pengalihan hak tagih utang Bank Bali tahun 2009. Saat itu, ia divonis dua tahun penjara. Namun, Joko kabur dan baru berhasil ditangkap Bareskrim Polri, akhir Juli lalu.
Selain itu, menurut dia, keberhasilan mengembalikan uang negara tidak langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat justru merasakan adanya stigmatisasi bahwa ketika bersentuhan dengan penegakan hukum mulai terjadi proses pemiskinan.
Pasalnya, mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan, dakwaan, hingga proses di pengadilan, semuanya membutuhkan biaya yang besar. Apalagi, jika harus mengeluarkan biaya untuk menyewa kuasa hukum.
”Stigma bahwa proses hukum itu sulit, mahal, tentunya juga ikut memengaruhi kepuasan masyarakat terhadap aspek penegakan hukum pemerintah dan memengaruhi bagaimana kesan masyarakat sehari-hari terhadap penegakan hukum di lapangan,” katanya.