Wapres: Prinsip Syariah dan Aspek Bisnis Harus Seimbang
›
Wapres: Prinsip Syariah dan...
Iklan
Wapres: Prinsip Syariah dan Aspek Bisnis Harus Seimbang
Wakil Presiden Ma\'ruf Amin mengingatkan pentingnya keseimbangan kepatuhan prinsip syariah dan aspek bisnis jalankan ekonomi dan keuangan syariah. Tanpa keseimbangan itu, bisa bangkrut atau melanggar norma agama.
Oleh
Nina Susilo
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keseimbangan antara kepatuhan prinsip syariah dan pemenuhan aspek bisnis dalam menjalankan ekonomi dan keuangan syariah menjadi kunci. Tanpa keseimbangan, praktik ekonomi dan keuangan syariah bisa terjerumus ke dua ekstrem—aktivitas ekonomi yang tidak sesuai agama atau malah bangkrut.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengingatkan pentingnya kedua hal tersebut berjalan beriringan dalam setiap aktivitas ekonomi dan keuangan syariah saat membuka Forum Internasional Isu Fikih Kontemporer yang diselenggarakan secara daring dari kediaman resmi Wapres, Jakarta, Selasa (27/10/2020).
Aktivitas ekonomi syariah yang hanya mengedepankan aspek bisnis tanpa memedulikan kepatuhan prinsip syariah bisa jadi akan terjerumus pada aktivitas ekonomi yang dilarang agama. Akibatnya, hasil yang didapat tidak boleh dicatatkan sebagai pendapatan.
Aktivitas ekonomi syariah yang hanya mengedepankan aspek bisnis tanpa memedulikan kepatuhan prinsip syariah bisa jadi akan terjerumus pada aktivitas ekonomi yang dilarang agama. Akibatnya, hasil yang didapat tidak boleh dicatatkan sebagai pendapatan.
Sebaliknya, aktivitas ekonomi syariah yang hanya mengedepankan aspek kesyariahan tanpa memedulikan aspek bisnis bisa dipastikan tidak akan berkembang dan bahkan bisa segera bangkrut. ”Oleh karena itu, aspek bisnis dan aspek syariah dua-duanya harus terus melekat dalam setiap aktivitas ekonomi dan keuangan syariah,” tutur Wapres Amin.
Namun, dinamika kehidupan sesuai zaman membuat praktik ekonomi dan keuangan saat ini sangat berbeda dengan di masa Nabi dan sahabat Nabi masih hidup. Karenanya, menurut Amin, para ulama kontemporer dituntut untuk melakukan ijtihad, yaitu upaya sungguh-sungguh untuk memberikan jawaban secara syar’i terhadap setiap permasalahan ekonomi yang muncul saat ini.
Di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia yang berperan sebagai pembuat fatwa tersebut. Fatwa terkait ekonomi ditetapkan Komisi Fatwa MUI, sedangkan fatwa terkait keuangan dan bisnis syariah ditangani Dewan Syariah Nasional MUI.
Fatwa sebagai ”roh”
Ketua Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso, dalam acara sama, menambahkan, fatwa adalah roh dari jiwa ekonomi dan keuangan syariah. Sebab, fatwa memberikan batasan suatu transaksi sesuai prinsip syariah atau tidak.
Namun, menurut Wimboh, tantangan saat ini adalah bagaimana supaya fatwa bisa diimplementasikan dengan baik dan dipahami semua pihak. Diakui, tidak banyak sumber daya manusia keuangan yang memahami secara detail dan komprehensif terkait proses implementasi fatwa.
Diharapkan proses penyusunan fatwa juga mendengarkan pendapat para pakar dari berbagai disiplin keilmuan, seperti ekonomi, keuangan, manajemen risiko, psikologi, sosiologi, dan ilmu lain yang terkait. Fatwa juga diharap mempertimbangkan arah ekonomi keuangan ke depan.
Selain itu, diharapkan proses penyusunan fatwa juga mendengarkan pendapat para pakar dari berbagai disiplin keilmuan, seperti ekonomi, keuangan, manajemen risiko, psikologi, sosiologi, dan ilmu lain yang terkait. Fatwa juga diharap mempertimbangkan arah ekonomi keuangan ke depan.
Sementara Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mencontohkan integrasi instrumen keuangan sosial yang ada di Indonesia, yakni cash wakaf link sukuk yang bisa menjadi alternatif dalam mendukung pergerakan aktivitas ekonomi, pasar keuangan, dan mempercepat pemulihan ekonomi nasional.