Buah Imajinasi Jatuh di Kolong Panggung
Saat London diamuk pandemi, Newton memilih menyingkir dari Universitas Cambridge London, pulang ke rumahnya. Suatu hari, ketika duduk di bawah pohon, sebuah apel jatuh dan menimpa kepalanya. Selanjutnya adalah sejarah.
Musim panas tahun 1665 menjadi hari-hari yang menakutkan di London. Pada bulan Mei, 43 orang meninggal secara misterius dengan kulit menghitam dan bengkak pada simpul-simpul sarafnya.
Berselang sebulan, jumlah korban meninggal telah menjadi 6.137 orang, bulan berikut bertambah jadi 17.036, dan meledak di bulan Agustus jadi 31.159 orang! Encyclopedia Britannica kemudian mencatat, dalam 18 bulan telah tewas 100.000 orang dari 460.000 populasi penduduk kota London waktu itu.
Black death adalah pandemi sampar yang memerosokkan London ke dalam lubang hitam kematian. Kekacauan inilah yang membuat Isaac Newton mengambil keputusan untuk pulang kampung. Ia meninggalkan London menuju desanya di Woolsthorpe Manor, Lincolnshire, untuk menyelamatkan diri dari serangan epidemi gelombang kedua yang melanda Inggris.
Sebelumnya, antara tahun 1347-1351 black death gelombang pertama telah menewaskan ribuan orang di negara itu. Bahkan tercatat lebih dari 200 juta orang tewas di seluruh Eropa disergap pandemi yang berasal dari kutu tikus itu.
Fakta ini menjadi tambah mencekam ketika kau dan aku membacanya di tengah-tengah kecamuk pandemi korona seperti sekarang ini. Suasana suram menjadi dominan membekap hidup kita, setidaknya sejak Maret 2020 sampai hari ini, ketika kau membaca tulisan ini.
Kita semua seperti terperangkap dalam labirin, yang seolah tak memiliki jalan keluar. Suara sirene kematian menggema di jalan-jalan setiap hari, banyak kudengar orang-orang mulai mudah meledak karena frustrasi, banyak pula di antaranya kesulitan meneruskan hidup karena tak ada lagi pendapatan. Ayah, ibu, saudara, dan orang-orang terdekat yang kita kenal tiba-tiba dalam hitungan hari sudah tiada. Situasi yang absurd, tak terpahami oleh logika biasa….
Baiklah, bukan itu yang ingin kuceritakan hari ini. Ketika Newton wafat tahun 1726, John Conduitt sebagai asistennya berkisah bahwa saat London diamuk pandemi, Newton memilih menyingkir dari Universitas Cambridge London. Meski terus berada di rumah, Newton tak henti melakukan berbagai eksperimen keilmuan.
Suatu hari, kata Conduitt, Newton sedang duduk di bawah pohon, tanpa sengaja sebuah apel jatuh dan menimpa kepalanya. Secara spontan ia menoleh ke atas, matanya menerawang ke langit yang jauh….
Konon, sejak itu Newton terus bertanya, mengapa sebuah apel yang terlepas dari pohonnya selalu jatuh ke tanah? Mengapa benda-benda yang melayang di angkasa bisa jatuh juga ke Bumi?
Baca juga : Drupadi Terkapar di Jalanan Kota
Para filsuf Yunani kuno di masa lalu sesungguhnya sudah mengamati bahwa benda-benda secara alami selalu bergerak ke tanah. Newton kemudian menjawab pertanyaan besar manusia dengan hukum gravitasi bumi. Bahwa apel yang jatuh disebabkan oleh tarikan Bumi, yang menjadi salah satu ciri dari planet biru ini. Gravitasi yang bekerja antara dua benda berbanding lurus dengan massa setiap benda itu, dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak kedua benda.
Rumus ini membuat Newton bisa memprediksi gaya gravitasi sebuah benda dengan perhitungan F = G(m1m2/r2). F adalah gaya gravitasi, m1 dan m2 adalah massa setiap benda (kilogram), r adalah jarak kedua benda, serta G merupakan konstanta gravitasi. Sederhananya, setiap benda yang jatuh sangat dipengaruhi oleh massa benda itu. Semakin besar massa kedua benda dan semakin dekat jaraknya, maka semakin besar pula tarikan gravitasinya.
Kalau kau sekarang pergi ke Woolsthorpe Manor, kau bisa menyaksikan sebuah pohon apel flower of kent (jenis apel hijau) yang tumbuh di halaman rumah leluhur Newton. Sering pula pohon ini dijuluki sebagai Newton’s Apple Tree. Bahkan Pusat Penelitian Buah Inggris mengambil bagian dari pohon ini untuk kemudian ditanam di beberapa tempat.
Selain menjadi terkenal karena Newton, pohon ini menjadi bertambah populer karena kelangkaannya. Padahal buahnya yang hijau kemerahan, bukanlah buah yang siap langsung disantap seperti apel merah di mejamu hari ini. Tekstur dagingnya yang kenyal, membuatnya lebih cocok untuk dimasak sebagai bagian dari makanan.
Agak aneh, mengenang cerita penemuan hukum gravitasi itu malah kemudian membuatku teringat pertunjukan wayang kulit. Di masa kecil, hampir setiap pekan bapak mengajakku menonton pertunjukan wayang kulit di pelosok-pelosok desa.
Tahun 1970-an, terdapat dalang terkenal di Bali barat yang bernama Nang Lenyog. Ia tak hanya pandai menyabetkan wayang dan bertutur, tetapi juga pandai menyelipkan guyonan lokal yang sedang populer di tengah-tengah masyarakat. Tokoh punawakan seperti Sangut dan Delem, yang biasanya jadi antagonis, hampir selalu menjadi juru bicara rakyat terhadap masalah-masalah sosial, budaya, adat, dan agama sekitar kita.
Baca juga : Jalan Lain Merawat Kesedihan
Aku mengidolakan tokoh Hanoman dalam epos Ramayana. Selain kuat dan pandai berkelahi, Hanoman juga bisa terbang dan hampir selalu mencabut pohon-pohon di sekitarnya untuk kemudian dijadikan senjata membunuh para raksasa. Bapak selalu bilang, kalau aku mengidolakan Hanoman, sehabis pentas sebaiknya berada di dekat panggung.
”Pasti ada para raksasa yang mati dan jatuh di bawah panggung.” Aku percaya. Oleh sebab itulah, aku selalu duduk paling depan kalau ada pertunjukan wayang kulit. Setidaknya aku akan menjadi yang pertama mendapatkan bangkai wayang yang hancur sehabis terlibat dalam peperangan hebat. Setiap pertunjukan usai, aku buru-buru menuju kolong panggung.
Ketika datang dengan wajah kecewa karena tak mendapatkan bekas-bekas wayang itu, bapak selalu bilang,”Nanti kita bikin….” Benar saja, bapak selalu menepati kata-katanya, ia membuatkan aku tokoh Hanoman dari kertas semen lengkap dengan pohonnya. Sejak itu aku mengembara bersama Hanoman dari hutan ke hutan dan terbang dari satu langit ke langit lain, sampai kemudian lelah dan kami tertidur pulas.
Baru belakangan ini aku sadari, mengapa bapak selalu memintaku untuk memungut bekas-bekas wayang yang remuk setelah berperang, walau sebenarnya tindakan itu sia-sia. Dalang tak pernah membuang wayang sejelek dan selecek apa pun bentuknya.
Nang Lenyog, punya dua wayang tokoh Delem: satu yang hampir-hampir rusak dan satunya lebih baru, mungkin duplikasi dari wayang yang rusak itu. Keduanya selalu dikeluarkan dari keropak, peti khusus wayang, tetapi hanya Delem baru yang ”ditarikan”.
Kata bapak, Delem yang hampir rusak itu ibarat tetenger atau pengingat yang menjadi spirit dari seluruh pergelaran wayang. Biasanya tetenger itu anugerah dari Hyang Mahadalang, Sang Hyang Tunggal. Anugerah diperoleh seorang dalang setelah menjalani laku spiritual, seperti berpuasa, semadi, dan berpantang terhadap banyak hal.
Baca juga : Anak-anak Pelipur Umur
Pertunjukan wayang selalu menjadi visualisasi kekuatan imajinasi. Ia menunjukkan betapa imajinasi kita bisa menjangkau sampai ke hal-hal yang tadinya hanya berkelebat dalam ajaran. Rama dalam epos Ramayana adalah awatara, ia tak lain adalah inkarnasi Tuhan sebagai Wisnu, yang turun untuk menyelamatkan dunia dari keangkaramurkaan.
Bhawagadgita menyebut: Yada yad hi dharmasya glanir bhavati bharata abhyutthanam adharmasya/tadatmanam srjamy aham paritranaya sadhunam vinasaya ca duskrtam/dharma smasthaparanarthaya sambavami yuge yuge//. (Manakala kebenaran merosot dan kejahatan merajalela, pada saat itulah Aku akan turun menjelma ke dunia, wahai keturunan Bharata, untuk menyelamatkan orang-orang saleh dan membinasakan orang jahat, dan menegakkan kembali kebenaran, Aku sendiri menjelma dari zaman ke zaman).
Rama menjelma sebagai awatara ke-7 untuk meredam kekuatan jahat raksasa bernama Rahwana. Kesaktian Rahwana bahkan disebutkan mengguncang tatanan Kahyangan yang mengkhawatirkan para dewa. Oleh sebab itulah, kekuatan itu harus dieliminasi agar tidak merasuki banyak manusia dan dewa.
Kisah ini diceritakan dan kemudian ditulis jauh sebelum Newton menggunakan kekuatan imajinasinya untuk menemukan teori tentang gravitasi Bumi. Dalam wayang kau punya kesempatan memperkaya imajinasimu dengan menghidupkan Rama, Hanoman, Laksamana, Sita, Kalika, dan Marica.
Tokoh-tokoh yang tadinya hanya bisa kudengarkan lewat lantunan nyanyian yang diperdengarkan bapak dalam tradisi mabebasan, kini benar-benar menjelma dan hidup secara visual di depan matamu. Mabebasan tak lain adalah menembangkan kisah-kisah kepahlawanan dalam kitab suci untuk menurunkan ajaran moral dan melengkapi pembacaan manusia terhadap kitab suci.
Baca juga : Metamorfosis Drestarata
Saran bapak memintaku memungut bangkai wayang yang kalah perang di kolong panggung, baru kini bisa kumengerti. Ia memintaku menggunakan segenap kekuatan imajinasiku untuk menghayati kisah-kisah kepahlawanan yang menjelma dalam dunia wayang.
Wayang adalah dunia paralel yang ”diciptakan” sebagai turunan dari realitas keras, yang terkadang justru memperumit hidup manusia. Dalam dunia paralel itulah, inkarnasi Tuhan seperti Rama menurunkan ajaran-ajaran yang menjadi pedoman hidup dalam menghadapi realitas keras.
Hari-hari belakangan ini, kita membutuhkan tempat bersandar yang kokoh. Sebagaimana hukum-hukum Newton kemudian menjadi tempat bersandar untuk mengetahui massa Bumi dan kecepatan satelit di angkasa, wayang memberi pegangan hidup yang kaya akan kreativitas. Tak hanya ajaran moral, kesadaran memelihara nalar yang sehat, bahkan kreativitas kesenian pun diberi wadah.
Memungut bangkai wayang ibarat mengukur sejauh mana kau dan aku masih memiliki ”gravitasi” terhadap dunia imajinasi. Jika gravitasi itu makin melemah, bisa dipastikan daya kreativitasmu semakin kering dan bersiaplah menjadi pecundang.
Newton meninggalkan flower of kent sebagai pohon imajinasi yang menghasilkan buah pengetahuan. Wayang justru diciptakan untuk menyuburkan imajinasi sebagai sumber kreativitas sebelum pengetahuan benar-benar dilahirkan.
Jika nanti kepalamu tertimpa buah apel yang jatuh dari pohonnya, pertanyaannya tak lagi mengapa buah jatuh ke tanah, tetapi mengapa buah itu tak kau petik sebelum jatuh. Bukankah itu sumber kreativitas yang akan selalu menghasilkan sumber kehidupan yang baru?
Mari, petik buah imajinasi itu dan berkreativitas seperti dalang yang menghasilkan pertunjukan megah dan menumbuhkan harapan….