Para Pencari Solusi pada Era Digital
Masih terngiang lontaran Bu Tejo dalam film pendek ”Tilik”, yang kira-kira terjemahannya begini, “Jadi orang itu, ya, harus solutif (punya solusi)!” Kaum muda selalu ada menjawab tantangan bernada nyinyir itu.
Sejumlah kaum muda masih menjaga sumpahnya menjadi agen perubahan di ranah masing-masing. Jika pada 1928 diplomasi jadi andalan, kini terobosan teknologi mendominasi. Masalah royalti karya musik di jagat digital hingga urusan susu basi ada jalan keluarnya.
Laporan keuangan The Store Front (TSF) itu terpampang di akun Instagram dan yang lebih rinci bisa diunduh dari situs the-storefront.club, pada Minggu (25/10/2020). Di situ tertulis, ”Penghasilan Musisi Rp 2.956.000”, dan “Penghasilan TSF Rp 328.500”.
Angkanya tergolong kecil. Toko daring yang menjual berkas musik digital dari musisi dalam negeri itu baru berjalan sebulan, tepatnya 25 September 2020. Waktu itu, katalognya baru 29 judul album, minialbum, ataupun singel.
”Kami sepakat enggak gajian dari toko ini,” kata Argia Adhidhanendra (23), inisiator TSF pada Senin (26/10/2020). Dia menjalankan toko itu bersama lima teman sebayanya, yang sebelum pandemi sama-sama sering menggelar pentas musik.
Di tempat lain, rapper Joe Million (28) sedang bersuka hati. Transferan sebesar Rp 522.000 dari TSF masuk rekeningnya. Dua albumnya, Vulgar dan Million Cypher Vol 1 terjual sebanyak 58 unit. Setiap album harganya Rp 10.000, tak lebih mahal daripada sepiring nasi berlauk telur.
Sebelum menjual di TSF, Jayawijaya Parulian Nababan, nama lahir Joe, memasang lagu bikinannya di berbagai layanan streaming musik, seperti Spotify, Tidal, Pandora, dan Apple Music sejak 2016. Baru pada 2018, ia merasakan hasilnya, itu pun cuma dari Spotify. ”Yang lainnya paling belasan ribu,” keluhnya.
Sekitar 20 lagu itu memberinya penghasilan Rp 1 juta. Itu angka setahun. Dari jumlah itu, separuhnya harus kembali lagi ke layanan streaming itu untuk memperpanjang layanan, ibaratnya biaya menyewa toko. Padahal, untuk rekaman satu lagu, ongkosnya di atas Rp 500.000. ”Jadi, ya, anggap saja habislah. Enggak kerasa,” ujarnya.
Bagi pemusik berpasar spesifik seperti Joe, mengharap hasil besar dari layanan streaming itu seperti mengail di samudra. Harian The Guardian mencatat, sebuah lagu harus diputar sebanyak 1.000 kali untuk menghasilkan uang sekitar Rp 46.600 (sekitar 3 dollar AS). Andaikan Joe bisa menjual 1.000 ”keping” untuk satu album saja di TSF, dia bisa mengantungi Rp 9 juta.
Persoalan ”pelitnya” pembagian royalti ini makin mendesak pada masa pandemi. Pemusik kehilangan order panggung. Pemusik Inggris, Evan Greer, pernah membuat petisi daring untuk Spotify agar menaikkan royalti hingga tiga kali lipat. Tuntutan itu tertiup angin.
Pola koperasi
Penyedia musik streaming yang dinilai lebih royal membagi royalti adalah Bandcamp. Platform ini membagi sekitar 85 persen harga jual lagu kepada musisi atau pemegang haknya. Platform musik lainnya yang mengusung etos serupa adalah Resonate. Sayangnya, dua penyedia musik daring ini kurang populer di Indonesia lantaran metode pembayarannya terbatas pada kartu kredit dan Paypal.
Argia menjadikan dua penyedia itu sebagai model. Argia, Danang Joewono, Abdul Defashah, Aliyya Asra, Kevin Silalahi, dan Rofi Ayyashy di TSF cuma mengutip 10 persen dari harga jual. Pembeli bisa membayar lewat transfer bank, atau pindai kode QR (misalnya Gopay).
Konsumen mendapat berkas musik digital untuk diunduh di gawai masing-masing. Metode streaming tak mereka pilih karena butuh peladen besar.
Baca juga: Siasat Seni Indie Kala Pandemi
”Modalnya besar banget untuk bisa streaming,” katanya. Modal awal TSF sekitar Rp 6 juta, hasil patungan para pendiri, juga saweran teman-teman. Makanya, mereka berusaha transparan dalam hal laporan keuangan.
Harga album di toko itu bervariasi. Singel ”Ati Bolong” dari hara (proyek solo Rara Sekar) dijual dengan harga Rp 7.000. Sementara album Melografik dari produser Greybox harganya Rp 120.000. Harga jual itu terserah pemilik lagu.
”Menurut rencana (potongan 10 persen) itu dipakai untuk membantu band-band, misalnya mereka butuh tambahan dana rekaman atau bikin kaset, yang biayanya enggak besar-besar amat,” kata Argia yang mengadopsi cara kerja koperasi.
Pada akhir tahun, Argia menargetkan punya katalog 100 judul. Mereka masih mencari band-band bagus, tak cuma dari Jakarta.
Menurut rencana (potongan 10 persen) itu dipakai untuk membantu band-band, misalnya mereka butuh tambahan dana rekaman, atau bikin kaset, yang biayanya enggak besar-besar amat
Era baru agrikultur
Pemanfaatan teknologi juga diterapkan di ranah peternakan dan pertanian. Dari Malang, Jatim, Hadi Apriliawan (31) menciptakan mesin yang bernama Sulis, alias susu listrik. Dengan metode kejut listrik, mesin itu mengawetkan susu sapi tanpa merusak protein dan gizi lainnya.
”Kami mengombinasikan alat kejut listrik dengan efek panas medium. Susu bisa bertahan dalam kulkas hingga lebih dari dua minggu,” kata Hadi, yang dihubungi dari Jakarta.
Hadi adalah anak peternak sapi perah tradisional di Banyuwangi. Dia mencermati, peternak kerap terpaksa menjual susu ke industri besar dengan harga murah, yaitu sekitar Rp 4.000 sampai Rp 5.000 per liter; tidak setimpal dengan ongkos produksinya.
Penyebabnya, susu sapi perahan mereka hanya awet paling lama dari pagi hingga sore. Artikel tentang pengawetan sushi dengan alat kejut listrik di Jepang menginspirasinya. Di bangku kuliah, Hadi meneliti potensi alat itu untuk produk susu.
Setelah bergelar master Bioteknologi dari Universitas Brawijaya, alat bernama Sulis itu tercipta. Peternak tradisional yang pakai alat ini mendapat hasil manis. Menurut Hadi, mereka bisa menjual susu murni yang telah dikemas menarik dengan harga sekitar Rp 32.000 per liter, dengan laba bersih hingga Rp 25.000 per liter.
Penggunaan alat pasteurisasi itu tak terbatas pada susu, tetapi juga bisa dipakai pada minuman lain, seperti teh, kopi, jus, dan sirup. Menurut dia, target pengguna mesinnya adalah pengusaha UKM, yang berperan besar pada perekonomian negara.
Mulai 2015, Hadi memproduksi mesin Sulis lebih banyak lagi melalui perusahaan yang ia dirikan, PT Maxzer Solusi Steril di Malang. Mesin Sulis berkapasitas 10 liter dijual Rp 13 juta. Perusahaan itu telah memproduksi 50 unit mesin dalam berbagai ukuran.
Dia menuturkan, sebuah perusahaan di Jepang menawarinya memproduksi dan menjual mesin itu di ”Negara Sakura” tersebut. Namun, Hadi berkukuh produksinya tetap berlangsung di Indonesia, supaya bisa menyerap tenaga kerja.
Cari petani muda
Inovasi dari pelaku agrikultur berusia muda seperti Hadi inilah yang berusaha dicari oleh gerakan Aku Petani Indonesia. Adhitya Herwin Dwiputra (27) menginisiasi gerakan ini ketika mengurusi kebun kopi milik orangtuanya di Pagaraalam, Sumsel pada 2016.
Lewat media sosial, Adhit mengunggah permasalahan tanaman kopi. Unggahan itu disertai solusi yang ia dapat dari jurnal, ataupun buku rujukan. Terkadang, dia juga konsultasi ke dosen dan seniornya.
”Gerakan itu untuk edukasi dan mengangkat sisi positif pertanian. Soalnya, pemberitaan sektor pertanian sering tidak menguntungkan,” tutur Adhit, yang bergelar sarjana pertanian dari Universitas Gadjah Mada ini.
Kampanye lebih serius digencarkan sejak 2017. Agenda besarnya adalah mengajak kaum muda menjadi petani, atau pengusaha di bidang agrikultur. Kampanye di dunia maya dirasa perlu turun ke dunia nyata.
Baca juga: Prestasi Seni Anak Muda di Tengah Pandemi Covid-19
Bersama timnya, dengan menyisihkan uang gaji, Adhit berkampanye ke kampus-kampus, seperti di Aceh, Medan, Palembang, Bogor, hingga Gresik. Mereka juga membuat kompetisi inovasi pertanian bagi siswa SMA/SMK dan mahasiswa di tahun 2018. Pemenangnya dapat modal untuk mewujudkan inovasi.
Menurut Adhit, Indonesia butuh petani muda. Sebab, ia memprediksi, kebutuhan beras dalam negeri pada tahun 2035-2045 melonjak sampai 100 juta ton. ”Kami tidak mau anak muda enggan memikirkan pertanian,” ujarnya.