Pengembangan Pariwisata agar Juga Menjamin Keberlanjutan Komodo
›
Pengembangan Pariwisata agar...
Iklan
Pengembangan Pariwisata agar Juga Menjamin Keberlanjutan Komodo
Pengembangan Taman Nasional Komodo, terutama di Rinca, salah satu pulau utama habitat komodo, diingatkan agar memperhatikan segala aspek untuk menjamin keberlangsungan satwa endemik Indonesia ini.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Habitat komodo di Pulau Rinca, Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur, menjadi salah satu fokus pemerintah dalam pengembangan proyek Kawasan Strategis Pariwisata Nasional. Namun, pengembangan ini harus memperhatikan sejumlah aspek untuk menjamin keberlangsungan satwa endemik Indonesia ini.
Koordinator Program Komodo Survival Deni Purwandana mengatakan, pihaknya tidak mengikuti proses perencanaan hingga pelaksanaan proyek pembangunan sarana dan prasarana di Pulau Rinca. Namun, ia berharap pihak pengembang sudah memiliki strategi terhadap dampak yang diakibatkan baik tehadap habitat maupun spesiesnya.
”Beberapa rekomendasi dari kami terhadap kegiatan ekoturisme yang sudah berjalan adalah meminimalkan gangguan, misalkan saja terhadap sarang aktif pada bulan-bulan betina menjaga sarang,” ujarnya ketika dihubungi dari Jakarta, Selasa (27/10/2020).
Berdasarkan kajian berjudul Effects of human activities on Komodo dragons in Komodo National Park yang terbit di jurnal Biodiversity and Conservation (2018) yang menempatkan Deni sebagai salah satu penulis, terdapat pengaruh nyata dari aktivitas manusia yang memengaruhi ciri/perilaku individu ataupun populasi komodo.
Dalam menganalisis pengaruh tersebut, peneliti membandingkan respons fenotipik (perilaku serta ukuran dan kondisi tubuh) dan struktur demografi (usia, rasio jenis kelamin, kelangsungan hidup, dan kepadatan populasi) komodo dengan berbagai aktivitas manusia di seluruh taman nasional. Temuan tersebut menunjukkan bahwa komodo memperlihatkan respons yang lebih jelas terhadap aktivitas manusia yang tinggi dibandingkan dengan aktivitas manusia yang lebih rendah.
Peneliti juga menyimpulkan bahwa komodo yang terpapar aktivitas ekowisata memiliki massa tubuh yang lebih besar, kondisi tubuh yang lebih baik, dan kemampuan bertahan hidup yang lebih tinggi. Hal ini terjadi karena aktivitas ekowisata juga turut menyediakan komodo nutrisi jangka panjang sebagai konsekuensi dari pemberian makanan oleh manusia.
Meski demikian, peneliti juga melihat ada potensi negatif akibat perubahan perilaku ini yang mungkin dapat mengubah struktur demografi melalui kompetisi intraspesifik atau persaingan antarorganisme dari spesies yang sama. Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu dilakukan penghentian pemberian nutrisi/pakan oleh manusia, pengembangan ekowisata alternatif, dan pengaturan spasial ekowisata.
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati menilai, proyek pariwisata Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) di Pulau Rinca dapat merusak lingkungan dan tidak mempertimbangkan habitat asli Komodo. Bahkan, proyek ini juga dianggap mendapatkan perlawanan dari masyarakat lokal.
Proyek pariwisata di Labuan Bajo juga dinilai tidak memberikan keadilan akses terhadap air bersih bagi masyarakat. Berdasarkan temuan Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (Kruha), layanan air di wilayah tersebut semakin diprioritaskan untuk perhotelan. Pada 2019, Kruha mencatat terdapat 55.000 warga di Labuan Bajo masih kekurangan air bersih.
Selain itu, menurut Susan, proyek KSPN di sejumlah wilayah juga turut andil dalam merampas tanah-tanah masyarakat, khususnya yang tinggal di kawasan pesisir. ”Di Mandalika, Nusa Tenggara Barat, banyak terjadi perampasan tanah masyarakat. Ini membuktikan bahwa KSPN tidak menempatkan hak dan kepentingan masyarakat sebagai prioritas utama,” ujarnya.
Prinsip kehati-hatian
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wiratno dalam siaran persnya menyatakan, kegiatan pengangkutan material pembangunan harus menggunakan alat berat. Sebab, faktor jarak dan aksesibilitas membuat pengangkutan ini tidak dimungkinkan menggunakan tenaga manusia.
Meski demikian, Wiratno menegaskan, pembangunan hingga penggunaan alat-alat berat, seperti truk dan ekskavator, dalam proyek pembangunan di Pulau Rinca telah dilakukan dengan prinsip kehati-hatian. Seluruh aktivitas juga diawasi oleh lima hingga sepuluh petugas penjaga untuk menjamin keselamatan dan perlindungan terhadap komodo, termasuk para pekerja proyek.
”Berdasarkan pengamatan, jumlah biawak komodo yang sering berkeliaran di sekitar area penataan sarpras (sarana prasarana) di Loh Buaya diperkirakan kurang lebih 15 ekor. Beberapa di antaranya memiliki perilaku yang tidak menghindar dari manusia. Petugas secara intensif melakukan pemeriksaan keberadaan komodo,” tuturnya.
Menurut Wiratno, jumlah populasi komodo di Lembah Loh Buaya relatif stabil, bahkan meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Total jumlah komodo pada 2018 sebanyak 2.897 ekor dan pada 2019 bertambah menjadi 3.022 ekor atau bertambah 125 ekor. Konsentrasi populasi berada di Pulau Komodo dan Pulau Rinca.
Ia menegaskan, aktivitas wisata pada kondisi saat ini dinilai tidak membahayakan populasi komodo di areal Lembah Loh Buaya seluas 500 hektar atau sekitar 2,5 persen dari luas Pulau Rinca yang mencapai 20.000 hektar. Namun, hal ini dengan catatan komoda mendapatkan perlindungan secara serius dan konsisten dengan meminimalkan kontak satwa.
Presiden Joko Widodo pada awal 2020 berencana membenahi terus Labuan Bajo dan menjadikannya destinasi wisata superpremium. Bahkan, pemerintah menargetkan Labuan Bajo pada 2023 menjadi tempat penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 dan ASEAN. Dalam menyambut KTT ini, sejumlah infrastruktur pendukung terus dibangun, seperti penambahan fasilitas hotel dan perbaikan bandara.