Pemberian vaksin Covid-19 harus menunggu persetujuan Badan Pengawas Obat dan Makanan. Meski untuk kepentingan darurat, vaksin harus teruji klinis keamanan, khasiat, dan mutunya.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penggunaan vaksin untuk kepentingan darurat tidak berarti mengabaikan aspek keamanan, efikasi, dan mutunya. Kalaupun vaksin Covid-19 sudah ada, penggunaannya harus menunggu izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan.
”Produk vaksin Covid-19 buatan Sinovac di China kemungkinan sudah ada November-Desember nanti. Tetapi, penyuntikannya menunggu BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Kalau mau cepat harus menggunakan skema penggunaan untuk darurat (emergency use authorization/EUA),” kata Kepala Divisi Unit Klinik dan Vaksinasi Bio Farma Mahsun Muhammadi dalam diskusi daring yang diselenggarakan Kawan Vaksin, Rabu (28/10/2020).
Sementara vaksin Sinovac yang akan diproduksi Bio Farma masih harus menunggu uji klinis fase tiga, yang laporan awalnya baru ada pada Januari 2021, sedangkan laporan lengkap baru ada pada Maret-April mendatang. ”Kapasitas produksi vaksin Covid-19 Bio Farma bisa 250 juta dosis per tahun,” lanjutnya.
Mahsun mengatakan, di seluruh dunia belum ada yang memakai vaksin Covid-19 secara massal. ”Walaupun ada sejumlah negara menggunakan EUA, dengan jumlah terbatas untuk tenaga medis dan tentara, seperti di China. Sejauh ini belum ada laporan efek samping yang dilaporkan. Tetapi ini vaksin baru, jadi harus tetap dipantau,” tuturnya.
Direktur Registrasi Obat BPOM Riska Andalusia mengatakan, alasan penggunaan untuk darurat adalah persetujuan penggunaan dalam kondisi darurat. Prosesnya harus tetap benar; walaupun ada yang disederhanakan, tidak boleh meninggalkan keamanan, efikasi, dan mutu vaksin.
Sesuai standar keamanan, BPOM akan memantau cara pembuatan obat yang baik (CPOB) ke sarana produksi vaksin di China, yang direncanakan pada awal November 2020. Pemantauan dilakukan terhadap tiga perusahaan penghasil vaksin yang saat ini produknya masih menjalani uji klinis fase tiga, yaitu Sinovac, Sinopharm, dan CanSino.
Pemantauan, lanjut Riska, dilakukan sebelum bisa mengeluarkan izin edar untuk penggunaan darurat (UEA). ”Persetujuan yang dikeluarkan BPOM bukan semata-mata izin atau stempel. Dalam persetujuan, kami harus membuat kajian yang menyeluruh meliputi tiga aspek: khasiat, keamanan, dan mutunya,” ungkapnya.
Setelah dikeluarkan izin edar, berikutnya akan memasuki tahapan pengawalan dan pengawasan label hingga iklan. ”Tidak boleh ada label obat atau vaksin yang menyesatkan masyarakat. Semua proses ini dilakukan untuk melindungi masyarakat,” ucapnya.
Persetujuan yang dikeluarkan BPOM bukan semata-mata izin atau stempel. Dalam persetujuan, kami harus membuat kajian yang menyeluruh meliputi tiga aspek: khasiat, keamanan, dan mutunya.
Menurut Riska, pemantauan obat dan vaksin tetap diperlukan sekalipun sudah ada izin edar. ”Sekalipun sudah lolos uji klinis dan mendapatkan izin edar, bukan tidak mungkin ada efek samping dalam jangka panjang atau terhadap kelompok tertentu. Karena itu, pengawasan vaksin sangat penting,” ujarnya.
Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal Sukoso mengatakan, selain keamanan dan efikasi, sertifikat halal untuk vaksin menjadi penting agar mendapatkan penerimaan dari masyarakat. Penerimaan ini menjadi penting karena selama ini cakupan imunisasi atau vaksinasi di Indonesia masih rendah.
”Selama ini penolakan vaksin dengan alasan halal-haram termasuk paling keras. Karena itu, vaksin Covid-19 harus disiapkan komunikasinya dengan baik. Perlu komunikasi dengan NU dan Muhammadiyah serta tokok-tokoh masyarakat lain,” ujarnya.
Penerimaan masyarakat menjadi salah satu kunci keberhasilan vaksinasi. ”Jika mayoritas warga tidak mendapat kekebalan dari vaksin dan tidak menerapkan 3M (memakai masker, mencuci tangan, serta menjaga jarak dan menghindari kerumunan), wabah sulit diatasi. Untuk Covid-19 paling tidak 70 persen penduduk harus mendapat vaksin agar tercapai kekebalan kelompok. Itu berarti sekitart 160 juta orang,” katanya.