Beraktivitas fisik rutin, tubuh tak hanya sehat, tetapi juga bugar. Aktivitas fisik bukan sekadar bergerak, melainkan dilakukan secara rutin dan sistematis. Menu makan sehat dan beragam juga jangan dilupakan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
Dengan melakukan aktivitas fisik secara rutin, tubuh tidak hanya menjadi sehat tetapi juga bugar. Kondisi ini diperlukan untuk meningkatkan imunitas tubuh, terutama untuk melawan infeksi dari berbagai sumber penyakit.
Namun, sebagian masyarakat belum menerapkan gerakan aktivitas fisik yang benar. Aktivitas fisik bukan sekadar bergerak dan berkeringat, melainkan juga harus dilakukan secara rutin, teratur, dan sistematis. Intensitas aktivitas yang dilakukan pun perlu disesuaikan dengan kondisi setiap individu.
Pendiri Gizi Kebugaran yang juga Ketua Umum Asosiasi Nutrisionis, Olahraga, dan Kebugaran Indonesia (Anoki) Mury Kurwari di Jakarta, Selasa (27/10/2020), mengatakan, pola hidup aktif saja tidak cukup untuk membuat tubuh sehat dan bugar. Seseorang perlu melakukan aktivitas fisik yang disertai dengan latihan rutin.
Aktivitas fisik dengan olahraga ini berbeda dengan kegiatan yang sekadar menggunakan otot dan mengeluarkan kalori seperti mencuci dan menyapu. (Mury Kurwari)
”Untuk meningkatkan kesehatan dan kebugaran, seseorang perlu melakukan aktivitas fisik secara teratur, terencana, terstruktur, dan sistematis. Itu bisa dilakukan dengan joging ataupun bersepeda. Jadi, aktivitas fisik dengan olahraga ini berbeda dengan kegiatan yang sekadar menggunakan otot dan mengeluarkan kalori seperti mencuci dan menyapu,” katanya.
Menurut dia, olahraga dengan intensitas sedang bisa dilakukan selama 150 menit per minggu atau tiga kali seminggu dengan durasi 30 menit setiap latihan. Sementara untuk olahraga dengan intensitas tinggi bisa dilakukan selama 75 menit per minggu. Namun, selama satu minggu disarankan bisa melakukan dua kali latihan dengan intensitas sedang dan satu kali dengan intensitas tinggi.
Latihan dengan intensitas tinggi yang dilakukan secara terus-menerus juga tidak baik bagi kesehatan tubuh. Pada umumnya, tubuh membutuhkan waktu pemulihan sekitar 24-48 jam setelah melakukan latihan dengan intensitas tinggi. Jika latihan yang dilakukan terlalu berat, sistem imunitas tubuh justru bisa menurun.
Murry menuturkan, dari penelitian yang dilakukan pada 2018 menunjukkan, latihan intensitas sedang yang dilakukan secara teratur dapat meningkatkan kemampuan sistem kekebalan tubuh secara signifikan. Selain itu, latihan intensitas sedang juga dapat mengurangi risiko gangguan pada sistem pernapasan.
”Agar bisa dilakukan secara rutin, pilih olahraga yang disukai dan mudah dilakukan. Pastikan pula olahraga bisa dilakukan di mana saja dan bisa dilakukan sendiri. Latihan sederhana bisa dilakukan, seperti jalan di tempat dengan kecepatan sedang,” tutur dia.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi masyarakat yang kurang melakukan aktivitas fisik sebesar 33,5 persen. Jumlah ini meningkat dari 2013 yang tercatat 26,1 persen. Selain kurang aktivitas fisik, perilaku sedentari atau kebiasaan terlalu banyak duduk seperti duduk di depan komputer, menonton televisi, main gim, dan rebahan terus meningkat selama masa pandemi.
Beban kesehatan masyarakat menjadi makin berat karena gaya hidup lain yang lebih banyak dijalankan adalah gaya hidup yang memicu terjadinya penyakit tidak menular. Dari data yang Riskesdas, 95,5 persen penduduk berusia lebih dari lima tahun kurang mengonsumsi sayur dan buah.
Selain itu, konsumsi rokok pada usia remaja usia 10-18 tahun juga tinggi, yakni 9,1 persen pada 2018. Prevalensi perokok remaja ini meningkat dari tahun sebelumnya, yakni 7,2 persen pada 2013 dan 8,8 persen pada 2016.
Empat pilar
Hardinsyah, Guru Besar Ilmu Gizi IPB University sekaligus Ketua Umum Perhimpunan Pakar Gizi dan Pangan Indonesia, menyebutkan, kesadaran masyarakat yang rendah dalam menjalankan gaya hidup yang sehat disebabkan karena rendahnya pemahaman yang dimiliki. Karena itu, edukasi tentang pentingnya gizi seimbang perlu disampaikan secara terus-menerus. Pemenuhan gizi seimbang pada masyarakat adalah salah satu investasi untuk memperoleh generasi unggul di masa depan.
Ia mengatakan, terdapat empat pilar utama yang harus diperhatikan dalam pemenuhan gizi seimbang, yakni rajin berolahraga, menjaga berat badan normal, mengonsumsi beragam jenis pangan, serta menjalankan prinsip hidup bersih. Apabila seseorang dapat memenuhi indeks gizi seimbang, risiko penyakit tidak menular, seperti diabetes, penyakit kardiovaskular, serta kanker, dapat dihindari.
”Pada orang yang tidak memenuhi gizi seimbang juga berisiko mengalami sindrom metabolik. Kondisi ini meningkatkan berbagai risiko penyakit, termasuk Covid-19. Tanda-tanda orang yang mengalami sindrom ini, antara lain, lingkar perut lebih dari 90 sentimeter pada pria dan lebih dari 80 sentimeter pada perempuan, kadar tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg (milimeter air raksa), dan gula darah puasa sekitar 100mg/dl,” tutur Hardinsyah.
Merujuk pada data Kementerian Kesehatan, ia menyatakan, Indonesia mengalami beban ganda pada gizi masyarakat. Selain beban pada kurang gizi, masalah gizi berlebih yang ditandai dengan kegemukan dan obesitas juga menjadi masalah yang dihadapi.
Tercatat, 30,8 persen anak balita mengalami tengkes atau stunting dan 17,7 persen lainnya mengalami gizi kurang. Selain itu, 48,9 persen ibu hamil mengalami anemia.
Di lain sisi, 35,4 persen penduduk usia remaja dan dewasa mengalami kegemukan dan obesitas dan sekitar 31 persen termasuk dalam kelompok yang mengalami kegendutan. Masalah gizi ini sangat terkait dengan konsumsi makanan dan minuman yang tidak seimbang.
Ini terutama karena konsumsi gula, garam, dan lemak yang berlebih. Batasan yang dianjurkan adalah dalam sehari paling banyak mengonsumsi sekitar empat sendok makan atau 50 gram gula, satu sendok teh atau 5 gram garam, dan lima sendok makan atau 67 gram lemak.
Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Kirana Pritasari menuturkan, sejumlah upaya telah dilakukan untuk meningkatkan mutu gizi masyarakat. Itu meliputi, perbaikan pola konsumsi makanan yang sesuai standar perbaikan gizi, meningkatkan perilaku sadar gizi, meningkatkan aktivitas fisik, serta peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi ke masyarakat.
”Persepsi masyarakat saat ini masih banyak yang salah yang menganggap makanan sehat dan bergizi seimbang itu sulit diterapkan dan berbiaya mahal. Ini persepsi yang keliru sehingga kita harus lebih gencar melakukan sosialisasi agar penerapan gizi seimbang bisa optimal di masyarakat,” ujarnya.