Putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memberi pelajaran kepada Kejaksaan Agung untuk lebih berani menuntut sesuai perbuatan terdakwa yang bisa dibuktikan di persidangan, apalagi menimbulkan kerugian besar.
Oleh
REDAKSI
·3 menit baca
Enam terdakwa kasus korupsi di PT Asuransi Jiwasraya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Mereka diputus membayar uang penggantinya Rp 16,8 triliun pula.
Seperti diberitakan, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (26/10/2020) malam, menyatakan, Direktur Utama PT Hanson International Tbk Benny Tjokrosaputro dan Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Heru Hidayat terbukti melakukan korupsi di PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan melakukan pencucian uang. Keduanya dihukum penjara seumur hidup, seperti tuntutan jaksa. Mereka pun diputuskan membayar uang pengganti total Rp 16,8 triliun, yang adalah uang pengganti terbesar dalam kasus korupsi selama ini (Kompas, 27/10/2020).
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat, kerugian keuangan negara dalam dugaan korupsi di PT Asuransi Jiwasraya mencapai Rp 16,81 triliun. Benny dan Heru dihukum berat karena keduanya tak hanya terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Majelis hakim menilai, mereka juga menggunakan keahliannya untuk merusak pasar modal dan perasuransian di negeri ini. Tak ada hal yang meringankan para terdakwa.
Sebelumnya, empat terdakwa kasus korupsi di PT Asuransi Jiwasraya lebih dahulu dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Mereka adalah bekas Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya Hary Prasetyo, eks Direktur Utama Hendrisman Rahim, bekas Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Syahmirwan, serta bekas Direktur PT Maxima Integra Tbk, Joko Hartono Tirto. Putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta itu, untuk terdakwa Hendrisman dan Syahmirwan, lebih tinggi daripada tuntutan jaksa penuntut umum yang meminta keduanya dihukum 20 tahun dan 18 tahun penjara (Kompas, 13/10/2020).
Masih seorang tersangka lagi dalam kasus korupsi di PT Asuransi Jiwasraya, Piter Rasiman, yang kini menunggu pengadilan. Dari perkembangan kasus itu, jaksa masih mungkin menetapkan tersangka baru lagi. Selain itu, masih ada juga perkara korupsi yang menarik perhatian publik, yang ditangani Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), atau kepolisian, yang perlu dituntaskan untuk menjawab rasa keadilan dalam masyarakat.
Putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta dalam kasus korupsi dan pencucian uang di PT Asuransi Jiwasraya itu seolah menjadi pelepas dahaga saat ”kerongkongan” pemberantasan korupsi di negeri ini nyaris kering. Tingkat kepercayaan kepada KPK, sebagai lembaga yang semestinya menjadi pemimpin dalam pemberantasan rasuah, seperti dilaporkan Litbang Kompas, Juni lalu, berada di titik terendah. Masyarakat juga menyaksikan, pimpinan KPK disidang karena diduga melakukan pelanggaran kode etik.
Putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta juga memberikan pelajaran kepada jajaran Kejaksaan Agung untuk lebih berani menuntut sesuai perbuatan terdakwa yang bisa dibuktikan di persidangan, apalagi menimbulkan kerugian yang besar di masyarakat dan memperburuk citra bangsa ini. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yang diubah dengan UU No 20/2001, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memungkinkan terdakwa perkara korupsi dituntut dan dijatuhi hukuman mati jika perbuatannya itu dilakukan saat negara dalam kondisi krisis, berulang-ulang, atau negara dalam kondisi bencana.
Indonesia Corruption Watch (ICW), awal Oktober lalu, menemukan, terdakwa korupsi selama Januari-Juni 2020 rata-rata dihukum hanya selama tiga tahun penjara. Bahkan, untuk kasus suap, yang adalah juga tindak pidana korupsi, hanya dihukum rata-rata 1 tahun 7 bulan penjara. Putusan itu tak hanya tidak menjerakan, tetapi bisa membuat pelaku korupsi ketagihan. Tidak ada usaha dalam waktu singkat yang menghasilkan kekayaan sebesar hasil korupsi.
Putusan Pengadilan Tipikor Jakarta itu memberikan pesan yang jelas bahwa Indonesia masih menempatkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Pemberantasan korupsi harus digalakkan, antara lain, melalui hukuman penjara dan sanksi uang pengganti yang berat, sepadan dengan perbuatan terdakwa. Pesan ini sejalan dengan Peraturan Mahkamah Agung No 1/2020 tentang Pedoman Pemidanaan untuk Tindak Pidana Korupsi. Bukan dihukum ringan dan tak jera melakukan korupsi lagi.