Bebaskan Lingkungan Pendidikan dari Kekerasan Seksual
›
Bebaskan Lingkungan Pendidikan...
Iklan
Bebaskan Lingkungan Pendidikan dari Kekerasan Seksual
Selain mewujudkan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan meminta adanya kebijakan internal untuk memastikan lingkungan pendidikan bebas dari kekerasan seksual.
Oleh
Sonya Hellen Sinombo
·4 menit baca
Di tengah gencarnya kampanye stop kekerasan seksual, praktik kekerasan seksual di lingkungan pendidikan di berbagai jenjang, termasuk pendidikan berbasis agama, masih terus terjadi. Selain sulit terungkap, para korban kekerasan menemui jalan buntu untuk mendapat keadilan dan pemulihan, menyusul berbagai hambatan saat melaporkan kasus yang menimpanya.
Karena itu, selain mewujudkan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meminta adanya kebijakan internal di seluruh jenjang Pendidikan untuk memastikan lingkungan pendidikan sebagai ruang aman yang bebas dari kekerasan seksual.
Kebijakan tersebut untuk membangun mekanisme pencegahan, penanganan dan pemulihan untuk korban kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan sekolah.(Alimatul Qibtiyah)
“Kebijakan tersebut untuk membangun mekanisme pencegahan, penanganan dan pemulihan untuk korban kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan sekolah,” ujar Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah dalam pernyataan pers yang dibacakan bersama Siti Aminah Tardi (Komisioner Komnas Perempuan), Selasa (27/10/2020) lalu.
Selama ini, Komnas Perempuan melihat, sudah ada kebijakan terkait pencegahan kekerasan seksual di kalangan pendidikan, misalnya Surat Keputusan Dirjen No 5494 Tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), Kementerian Agama.
SK Dirjen tersebut disusun agar menjadi acuan atau rujukan bagi upaya pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual pada lingkungan sivitas akademika PTKI, agar tidak terjadi reviktimisasi (tindakan penghakiman pada korban) dan mencegah keberulangan.
Dalam pedoman tersebut diatur bagaimana langkah-langkah pencegahan kekerasan seksual melalui penyediaan sarana dan prasarana pencegahan. Misalnya, adanya RPS (rencana pembelajaran semester) tentang kurikulum berperspektif jender, modul pembelajaran mata kuliah dasar umum yang mengintegrasikan perspektif jender, adanya sosialisasi nilai-nilai antikekerasan, terutama anti kekerasan seksual saat pengkaderan organisasi intra kampus.
Selain itu, dilakukan pemasangan CCTV di tempat yang rawan kekerasan, pencahayaan yang maksimal, dan memaksimalkan kinerja satpam di lingkungan PTKI. Bahkan, kamar mandi/kamar kecil harus dibuat terpisah antara laki-laki dan perempuan.
Selain di Kemenag, di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, menurut Alimatul, sejak beberapa waktu lalu sudah ada rencana penerbitan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi.
“Kami mendorong adanya perubahan paradigma, yakni kampanye nama baik kampus yang bisa selesaikan kasus kekerasan seksual, bukan malah menutup-nutupinya,” kata Alimatul.
Terkait praktik kekerasan di lingkungan pendidikan, Siti Aminah mengungkapkan bahwa dari pengaduan langsung ke Komnas Perempuan dalam rentang tahun 2015 sampai Agustus 2020, yang menunjukkan lingkungan Pendidikan tidak bebas dari kekerasan. Sepanjang periode itu, pengaduan kasus kekerasan seksual meningkat, 2015 (3 kasus), 2016 (10 kasus, 2017 (3 ) kasus 2018 (10 kasus) 2019 (15 kasus), dan sampai Agustus 2020 (10 kasus).
“Kasus yang diadukan merupakan puncak gunung es karena umumnya kasus-kasus kekerasan di lingkungan pendidikan cenderung tidak diadukan/dilaporkan antara lain karena merasa malu dan tidak tersedianya mekanisme pengaduan, penanganan dan pemulihan korban,” kata Siti Aminah.
Karena itu, Komnas Perempuan berharap dengan adanya pelaporan tersebut, seharusnya sistem penyelenggaraan pendidikan nasional semakin serius mencegah dan menangani kekerasan seksual.
Kampus paling tinggi
Kekerasan terjadi di semua jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan usia dini sampai dengan pendidikan tinggi. Dari 51 kasus yang diadukan, universitas menempati urutan pertama (27 persen), disusul oleh pesantren atau pendidikan berbasis agama Islam (19 persen), SMU/SMK (15 persen), Sekolah Menengah Pertama (7 persen), dan TK, Sekolah Dasar, dan Sekolah Luar Biasa (3 persen). Adapun institusi berbasis agama, dalam hal ini Islam dan Kristen.
“Kekerasan seksual merupakan bentuk kekerasan terbanyak yang diadukan, yaitu mencapai 45 kasus sebanyak 88 persen yang terdiri dari perkosaan, pencabulan, dan pelecehan seksual,” kata Siti Aminah.
Kekerasan seksual di universitas terkait dengan relasi kuasa di antaranya relasi dosen sebagai pembimbing skripsi atau pembimbing penelitian. Sementara di lingkungan pesantren, tindakannya berupa memanipulasi santriwati sehingga terjadi perkawinan antara korban dengan pelaku; atau dengan kata lain terjadi pemaksaan perkawinan.
Ada pula yang dimanipulasi dengan alasan memindahkan ilmu, ancaman akan terkena azab atau tidak akan lulus dan hapalan akan hilang. Pelaku mulai dari guru/ustad, kepala sekolah, dosen, dan lain-lain.
Dalam keterangan pers juga diungkapkan kasus kekerasan seksual di Jombang yang menimpa seorang perempuan yang melibatkan anak pimpinan pondok pesantren, yang sampai saat ini proses hukum kasusnya tidak berjalan sesuai keadilan korban.