Hanya Diberi Tugas, Siswa di Pedalaman NTT Pusing Tujuh Keliling
›
Hanya Diberi Tugas, Siswa di...
Iklan
Hanya Diberi Tugas, Siswa di Pedalaman NTT Pusing Tujuh Keliling
Pembelajaran jarak jauh yang hanya mengandalkan tugas dari guru tanpa penjelasan materi akan menjadi beban bagi siswa. Guru dituntut kreatif meski dalam situasi tak mudah seperti pandemi Covid-19 saat ini.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Sambil mengernyitkan dahi, Maria Eusabia Marsela Metom (9) memelototi lembar demi lembar bundelan tugas setebal 18 halaman. Sesakali ia mengulum ujung pena lalu melepas kemudian mengulumnya kembali. Ia tampak berpikir keras bercampur gelisah. Lebih dari sebulan, tugas yang diberikan guru belum berhasil dia kerjakan hingga tuntas.
”Soal terlalu sulit. Bikin saya punya kepala pusing!” ujar siswa kelas IV Sekolah Dasar Negeri Bakateu, Kecamatan Malaka Tengah, Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (17/10/2020) siang. Siswi yang akrab dipanggil Sela itu lalu meletakkan pena di atas meja dan menutup lembaran tugas pembelajaran jarak jauh untuk masa pandemi Covid-19.
Sela tak bisa mengerjakan soal Matematika dengan pokok bahasan mencari pecahan biasa senilai. Soal itu muncul dalam lembar tugas tanpa penjelasan memadai tentang bagaimana cara mengerjakannya. Secara teori, mencari pecahan senilai dilakukan dengan membagi atau mengalikan pembilang dan penyebut dengan satu bilangan yang sama. Sela tak pernah mendapat penjelasan itu.
Padahal, sebelum membaca soal Matematika, Sela sudah beberapa kali mengurut kening. Salah satunya saat ia membaca soal pada halaman 10. Begini redaksinya, ”Apa yang harus disiapkan untuk penampilan tari Bungong Jeumpa agar menarik?”
Sela mengaku baru pertama kali mendengar nama tarian itu. ”Tarian ini dari mana?” ujarnya. Ia baru tahu tarian itu berasal dari Aceh setelah bertanya kepada Google.
”Kalau tarian Likurai, saya bisa jawab,” katanya lagi. Likurai adalah tarian lokal sebagian masyarakat Pulau Timor, termasuk Kabupaten Malaka. Sela sering kali menari tarian itu dalam sejumlah acara. Ia menganggap soal yang diberikan guru tidak sesuai dengan daerah mereka, sama seperti soal pada halaman 18 yang meminta mereka mencari tahu asal-muasal sejarah Tugu Yogyakarta.
Setelah ditelusuri, soal yang diperoleh Sela ternyata diambil gurunya dari salah satu website. Soal diberikan begitu saja tanpa diawali penjelasan materi pelajaran. Materi yang diberikan pun tidak kontekstual. Soal dimaksud juga memiliki tingkat kesulitan yang tidak bisa dijangkau siswa di daerah seperti Sela yang tinggal di wilayah perbatasan Indonesia-Timor Leste itu.
Seorang guru di SDN Bakateu yang enggan menyebutkan namanya menuturkan, guru terus berupaya mencari metode yang tepat. Pembelajaran jarak jauh, baik dalam jaringan maupun luar jaringan, adalah hal yang baru bagi guru. ”Pada dasarnya guru menginginkan yang terbaik baik siswa. Namun, jika berhadapan dengan teknologi, guru mengikuti saja standar dari pusat,” ujarnya.
Setelah ditelusuri, soal yang diperoleh Sela ternyata diambil gurunya dari salah satu website. Soal diberikan begitu saja tanpa diawali penjelasan materi pelajaran.
Banyak guru yang belum menguasai teknologi sehingga mereka mengambil tugas dari internet. Terlebih lagi ada tuntutan penyeragaman oleh pemerintah. Itu yang membuat guru dilema. Ditegaskan, pembelajaran jarak jauh tidak akan efektif. Ke depan akan dilaksanakan pembelajaran tatap muka dengan protokol kesehatan.
Ternyata bukan hanya Sela dan teman-teman di Malaka. Kesulitan serupa juga diceritakan Anastasia Yeni Ulu (37) saat membimbingnya anaknya dalam mengerjakan soal yang diberikan guru. Anaknya, Kevin, murid kelas VII Sekolah Menengah Pertama Don Bosco di Atambua, ibu kota Kabupaten Belu. Tidak hanya sulit, beban tugas yang diberikan juga terlalu banyak.
”Anak saya sampai pusing karena tugas terlalu banyak. Kadang kami bantu, tetapi kemampuan kami juga terbatas. Kami coba cari di internet, tetapi tidak semua ada jawaban. Jalan pintas, dia salin dari orang lain. Kalau begini terus, anak kami pasti tidak tahu apa-apa,” kata Anastasia yang sehari-hari bekerja sebagai pedagang.
Model pembelajaran lewat penugasan oleh sejumlah sekolah dianggap tidak efektif. Di SMA Negeri Bolan, sekolah tetap menggelar pembelajaran tatap muka setiap Senin hingga Jumat. Waktu pagi untuk siswa kelas X dan siang hari untuk siswa kelas XI dan XII. Kendati daerah jauh dari episentrum, protokol kesehatan diterapkan secara ketat.
Pembelajaran tatap muka tetap dilakukan dengan sejumlah pertimbangan. Dari sisi pembelajaran, metode tatap muka langsung dianggap lebih efektif. Materi dari guru lebih mudah diserap. Para siswa dijamin dapat mengikuti pelajaran dengan baik. Selain itu, di sisi lain, pembelajaran dalam jaringan juga tidak bisa diikuti semua siswa karena keterbatasan sarana dan jaringan telekomunikasi.
”Di tengah kondisi semacam ini, kualitas pembelajaran tetap dijaga. Bagaimanapun, masa depan anak-anak adalah yang utama,” kata Kepala SMA Negeri Bolan Donatus Bria Seran. Sekolah yang terakreditasi B itu berada di Desa Bolan. Bolan yang berada di tepian Laut Timor itu berjarak sekitar 6,5 kilometer dari Betun, ibu kota Kabupaten Malaka.
Di tengah kondisi semacam ini, kualitas pembelajaran tetap dijaga. Bagaimanapun, masa depan anak-anak adalah yang utama. (Donatus Bria Seran)
Sementara itu, guru SMP Katolik Santo Yoseph Noelbaki, Veronika Keneka Demon, memilih mendatangi siswanya. Ia mengajar di sejumlah titik kumpul yang disepakati bersama siswanya, baik di rumah maupun di bawah pohon. Veronika datang membawa perangkat pembelajaran dan papan tulis. Pembelajaran berlangsung dengan protokol kesehatan ketat sebab daerah itu hanya berjarak sekitar 15 kilometer dari Kota Kupang.
Veronika yang hampir 10 tahun menjadi guru Matematika itu menuturkan, ada guru yang hanya menitipkan tugas, tetapi ada juga yang ingin melakukan pembelajaran tatap muka. ”Semua tergantung pada sekolah dan guru. Apakah gara-gara pandemi ini lalu guru seenaknya saja memberi tugas? Seharusnya kesempatan ini mendorong guru mencari cara yang kreatif,” ujarnya.
Sebagai guru Matematika, ia merasa kesulitan mengajar dalam jaringan atau memberikan buku berisi meteri dan tugas untuk dikerjakan siswa. Sebagai ilmu pasti, Matematika harus dijelaskan secara detail berikut contoh soal yang juga wajib diulangi beberapa kali. Matematika oleh sebagian siswa masih diangap pelajaran sulit sehingga perlu sentuhan langsung guru ke murid.
Pengajar pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Kristoforus Djawa Djong, berpendapat, tidak dibenarkan jika guru hanya memberikan tugas tanpa menjelaskan materi pembelajaran kepada siswa. Siswa sulit memahami. Akibatnya, tujuan pembelajaran tidak dapat tercapai.
Saat ini, Djong dan tim tengah menerapkan metode pembelajaran pada masa adaptasi normal baru di Kabupaten Rote Ndao, NTT. Ia menyarankan, daerah yang bukan zona merah penularan Covid-19 dapat menyelenggarakan pembelajaran tatap muka secara terbatas. Mereka menggunakan rumah penduduk, rumah ibadah, dan sekolah. Guru dituntut mendatangi siswa.
Pandemi Covid-19 tak boleh membuat guru kehilangan daya kreasi, apalagi sengaja manfaatkan momentum itu dengan bekerja seadanya. Pandemi, meski tak tahu kapan berakhir, tentu akan reda suatu saat nanti seiring ditemukan obat dan vaksin. Sementara masa depan peserta didik sebagai penerus bangsa akan berlangsung lintas generasi. Stop beri tugas tanpa pembelajaran karena hanya membuat siswa pusing tujuh keliling.