Penurunan kemampuan belajar akibat pembelajaran jarak jauh yang tidak efektif bisa berdampak seumur hidup bagi kelompok siswa tertentu, terutama siswa miskin. Perlu intervensi khusus pemerintah untuk mencegah hal itu.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Pembelajaran jarak jauh yang tidak efektif selama masa pandemi Covid-19 akan berdampak pada penurunan kemampuan belajar siswa. Dampak paling nyata dialami siswa dari keluarga miskin yang bahkan sejak sebelum pandemi tidak bisa mengakses pendidikan berkualitas.
Siswa tanpa akses gawai dengan fitur yang memadai untuk pembelajaran daring, akses internet, guru yang adaptif, sekolah yang memberikan dukungan memadai, serta orangtua yang mampu mendampingi saat belajar atau menyediakan fasilitas pembelajaran daring akan kehilangan kesempatan belajar. Mereka umumnya bersekolah di sekolah negeri di wilayah perdesaan, terutama di luar Jawa.
Setelah sekolah ditutup pada pertengahan Maret 2020 untuk mencegah penularan Covid-19, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk menjaga keberlanjutan pendidikan dan meningkatkan kualitas pendidikan jarak jauh (PJJ). Namun, kendala yang dialami siswa ataupun guru relatif belum beranjak.
Survei yang dilakukan Pusat Penelitian Kebijakan (Puslitjak), Balitbang dan Perbukuan, Kemendikbud, pada 5-18 Agustus 2020, misalnya, menunjukkan pembelajaran jarak jauh (PJJ) masih jauh dari efektif, bahkan menurun. Kendalanya masih sama dengan kondisi pada April-Juli 2020 berdasarkan survei-survei yang dilakukan sejumlah lembaga.
Ketidaksiapan guru melakukan pembelajaran daring (dalam jaringan) tidak serta-merta dapat diselesaikan dengan pelatihan-pelatihan. Dari 384 guru yang disurvei Puslitjak Kemendikbud, hanya 54,9 persen guru yang melaksanakan pembelajaran bermakna, dengan meminta siswa membuat proyek sederhana atau kreativitas.
Jangan memberikan pembelajaran yang berbasis proyek (project based learning), 25 persen dari 4.568 yang disurvei Save the Children mengatakan, guru sama sekali tidak memantau anak-anak mereka. Bahkan survei SMERU Institute terhadap 290 guru di Jawa dan luar Jawa menunjukkan, sejumlah guru tidak melakukan pembelajaran setiap hari (30 persen guru di Jawa dan 50 persen guru di luar Jawa dan pedesaan).
Kemampuan atau kompetensi guru memengaruhi proses pembelajaran, demikian juga akses internet. Guru dengan akses internet lebih baik, umumnya di Jawa dan perkotaan, juga memiliki kecenderungan lebih besar mengajar setiap hari. Dukungan sekolah terhadap guru, termasuk untuk pelatihan untuk PJJ, dan dukungan orangtua terhadap anak juga memengaruhi pembelajaran.
Orangtua dengan pendidikan tinggi mempunyai kesadaran baik akan pendidikan anak, ada akses ke teknologi digital dan internet, kondisi ekonomi yang baik, serta jumlah keluarga yang sedikit lebih mudah mendukung anak belajar di rumah. (Florischa Ayu Tresnatri)
”Orangtua dengan pendidikan tinggi mempunyai kesadaran baik akan pendidikan anak, ada akses ke teknologi digital dan internet, kondisi ekonomi yang baik, serta jumlah keluarga yang sedikit lebih mudah mendukung anak belajar di rumah,” kata Florischa Ayu Tresnatri, peneliti SMERU Institute di program RISE Indonesia, dalam diskusi daring yang diselenggarakan Persatuan pelajar Indonesia (PPI) Australia, Rabu (28/10/2020).
Pemetaan
Dampak dari semua itu, PJJ menjadi tidak efektif. Berdasarkan kajian SMERU Institute, jika permasalahan ini berlanjut hingga Oktober 2020 (rencana semula sekolah dibuka kembali pada Oktober) maka dapat dipastikan siswa yang berada dalam situasi kurang beruntung berpotensi mengalami penurunan kemampuan belajar (learning loss).
Karena itu, perlu ada pemetaan dampak PJJ untuk mengambil langkah prioritas bagi siswa yang paling terdampak. Untuk ini, kata Anggi Afriansyah, peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, perlu survei cepat dengan melibatkan sekolah dan juga pemerintah daerah. Selain itu juga evaluasi atas kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan terkait PJJ selama ini.
”Survei perlu dilakukan cepat dan diumumkan kepada publik,” kata Anggi dalam diskusi tersebut. Ini penting untuk mendorong keterlibatan masyarakat dalam pendidikan karena tanggung jawab pendidikan bukan hanya di pemerintah. Pendidikan berbasis komunitas harus diperkuat, dan pemerintah daerah harus proaktif karena merekalah yang paling tahu peta pendidikan di daerahnya.
Koordinasi pusat-daerah-sekolah juga harus diperkuat, terutama dalam hal menyederhanakan implementasi kebijakan. Menurut Muhammad Hali Aprimadya, mahasiswa program doktoral Kebijakan Publik di Universitas Nasional Australia, pembuatan kebijakan terkait PJJ harus kolektif sebagaimana dalam keputusan bersama tiga menteri terkait pembukaan sekolah di zona hijau dan kuning.
Dengan PJJ yang diperkirakan masih akan berlangsung hingga beberapa bulan ke depan, perlu ada upaya sistematis untuk meningkatkan kualitas PJJ. Kapasitas guru harus diperkuat terutama yang pembelajarannya berbasis daring. Guru juga perlu dipersiapkan untuk menyusun pengajaran yang memperhatikan keragaman kemampuan belajar antarsiswa dalam kelasnya.
”Ketika sekolah ditutup, masing-masing kelompok siswa (dari keluarga kaya dan miskin) mengalami penurunan hasil belajar. Tetapi ketika sekolah dibuka kembali nanti, siswa dari keluarga kaya secara perlahan bisa pulih kembali. Mereka bisa mengakses bimbingan belajar, misalnya. Sebaliknya siswa miskin akan sulit pulih,” kata Florischa.
Sejumlah studi menunjukkan, penurunan kemampuan belajar siswa saat ini akan memengaruhi perkembangan pengetahuannya yang akan berdampak pada pendapatan mereka kelak. Belum lagi jika mereka tidak dapat melanjutkan pendidikan atau putus sekolah karena dampak krisis akibat pandemi ini.
Karena itu, intervensi khusus pemerintah diperlukan untuk mengatasi dampak penurunan kemampuan belajar tersebut. Tanpa intervensi pemerintah, penurunan kemampuan belajar pada siswa saat ini akan berdampak seumur hidup. Mereka akan menjadi ”generasi yang hilang” tersapu gelombang pandemi Covid-19.