Kebutuhan Hidup Layak Tidak Lagi Menjadi Acuan
Komponen kebutuhan hidup layak atau KHL tak lagi menjadi acuan penghitungan upah minimum ke depan. Kementerian Ketenagakerjaan masih mencari pengganti KHL tersebut.
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan sebagai aturan turunan Undang-Undang Cipta Kerja meniadakan komponen kebutuhan hidup layak dari perhitungan upah minimum. Rancangan peraturan pemerintah itu juga tidak mengatur secara detail batasan jenis pekerjaan yang dapat dibayar dengan upah per jam. Hak pekerja untuk mendapatkan upah demi kehidupan yang layak dikhawatirkan terancam.
Penghapusan komponen kebutuhan hidup layak (KHL) ditegaskan dalam Pasal 43 Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengupahan. Saat ini, RPP itu sedang dibahas dalam forum tripartit antara pemerintah, pengusaha, dan perwakilan serikat buruh.
Dalam draf yang merevisi PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan itu, upah minimum tidak lagi ditetapkan berdasarkan KHL dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Sebagai gantinya, upah minimum ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan, yang datanya bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Wakil Ketua Serikat Buruh Muslim Indonesia Sukitman Sudjatmiko, Kamis (29/10/2020), mengatakan, perwakilan serikat buruh meminta agar penetapan upah minimum harus tetap mempertimbangkan penghasilan dan pemenuhan KHL. Namun, pengusaha dan pemerintah menilai rumusan pasal itu harus disesuaikan dengan rumusan RUU Cipta Kerja.
Sebelumnya, RUU Cipta Kerja telah menghapus komponen KHL dalam faktor penetapan upah minimum. Sebagai gantinya, Pasal 88 RUU Cipta Kerja mengamanatkan, ketentuan lanjutan mengenai kebijakan pengupahan nasional itu diatur dalam peraturan pemerintah.
Sukitman menambahkan, perwakilan unsur serikat pekerja dan buruh akan berjuang memasukkan ketentuan yang melindungi hak buruh di rancangan peraturan turunan. Sebab, RPP itu belum final dan masih akan dibahas lagi di rapat-rapat lanjutan.
Perwakilan serikat buruh meminta agar penetapan upah minimum harus tetap mempertimbangkan penghasilan dan pemenuhan KHL. Namun, pengusaha dan pemerintah menilai rumusan pasal itu harus disesuaikan dengan rumusan RUU Cipta Kerja.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) Mirah Sumirat berpendapat, penghitungan upah minimum yang tidak memasukkan komponen KHL akan berakibat fatal pada kelayakan taraf hidup pekerja. Sejak 2006, penetapan upah minimum sudah didasarkan pada komponan KHL.
Organisasi Buruh Dunia (ILO) mendefinisikan KHL sebagai standar kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seorang pekerja atau buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik, nonfisik, dan sosial untuk kebutuhan satu bulan. Kebutuhan yang dicakup adalah makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, transportasi, sampai kebutuhan rekreasi.
Selama ini, KHL ditetapkan berdasarkan survei yang dilakukan Dewan Pengupahan Nasional dan Kementerian Ketenagakerjaan, dan harus diperbarui setidaknya lima tahun sekali.
Menurut Mirah, meskipun standar komponen KHL saat ini belum sempurna, solusinya bukan berarti menghapuskan KHL sama sekali dari penetapan upah minimum. Standar KHL tetap harus ada untuk memberi perlindungan upah. ”Kalau ideal atau tidak, memang tidak ideal, belum sempurna. Tetapi bukan berarti KHL dihapuskan juga,” katanya.
Mirah tidak terkejut dengan RPP yang isinya tidak jauh berbeda dari RUU. Ia meyakini PP yang hanya bersifat peraturan turunan tidak akan berbeda jauh dari isi UU. Di sisi lain, ASPEK bersama mayoritas serikat buruh memang telah menolak keberadaan RUU Cipta Kerja sejak awal.
Rapat-rapat forum tripartit untuk membahas rancangan PP hanya dihadiri oleh empat serikat buruh, dari total sembilan konfederasi dan serikat buruh yang diundang pemerintah.
”Kami secara tegas tidak ikut masuk dalam pembahasan rancangan PP. Kami tetap meminta Presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang,” ujarnya.
Baca juga : Standar Upah Tidak Berubah
Mencari pengganti
Saat dikonfirmasi, Direktur Pengupahan Kementerian Ketenagakerjaan Dinar Titus Jogaswitani membenarkan, komponen KHL tidak lagi menjadi acuan dalam penetapan upah minimum. Penetapan upah minimum akan memperhatikan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan. ”Kami masih mencarikan pengganti KHL,” katanya.
Terkait indikator apa yang akan digunakan sebagai standar pengganti KHL kelak, Dinar mengaku, pemerintah belum memutuskannya. ”Belum diputuskan, masih kami cari. Sepertinya kami akan menggunakan data dari BPS yang lebih akurat dan independen,” ujar Dinar.
Komponen KHL tidak lagi menjadi acuan dalam penetapan upah minimum. Penetapan upah minimum akan memperhatikan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan. Kami masih mencarikan pengganti KHL.
Baru-baru ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2020 tentang KHL. Dalam Permenaker itu, jumlah komponen KHL ditambahkan dari 60 jenis menjadi 64 jenis dan beberapa komponen nilainya berkurang.
Dinar mengatakan, setelah PP tentang Pengupahan disahkan, Permenaker 18/2020 yang baru itu otomatis tidak akan berlaku lagi. ”Permenaker itu amanat dari PP yang lama. Dengan berlakunya UU Cipta Kerja ini, PP tentang Pengupahan juga direvisi. Jadi, KHL akan dicarikan standar penggantinya,” katanya.
Upah per jam
Selain KHL yang dihilangkan dari faktor penetapan upah minimum, RPP tentang Pengupahan juga tidak mengatur dengan tegas batasan jenis pekerjaan yang bisa menggunakan skema upah berdasarkan satuan waktu. Isu upah per jam ini menjadi perhatian buruh sejak awal pembahasan RUU Cipta Kerja karena dikhawatirkan bisa menurunkan standar upah minimum.
Dalam forum tripartit, buruh meminta agar ada batasan sektor atau jenis pekerjaan untuk pekerja yang dibayar dengan upah per jam. Jika tidak diatur, itu berpotensi membuat berbagai jenis pekerjaan bisa dibayar dengan upah per jam.
”Meskipun, sebenarnya kalaupun dibatasi jenis pekerjaannya, tetap saja pengusaha akan melihat ke UU. Sebab, di UU (Cipta Kerja) saja sekarang tidak ada batasannya. PP itu, kan, lebih rendah dari UU,” kata Mirah.
Baca juga : Mendadak Terjun Bebas
Terkait ketentuan upah per jam, Dinar mengatakan, RPP tidak bisa mengatur secara detail jenis pekerjaan yang upahnya boleh dibayar per jam dan yang tidak. Pembatasan akan dibuat berdasarkan kriteria tertentu. ”Kalau diatur detail, nanti ketika ada jenis pekerjaan baru bisa susah masuk. Nanti akan dibuat kriterianya,” katanya.
RPP tentang Pengupahan ini baru akan berlaku untuk penetapan upah minimum 2022. Untuk upah minimum 2021, pemerintah sudah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/11/HK.04/2020 tentang Penetapan Upah Minimum 2021 pada Masa Pandemi Covid-19 yang isinya tidak menaikkan maupun menurunkan upah minimum demi mengakomodasi kepentingan pengusaha dan pekerja.
Sampai Kamis sore, sudah ada 27 dari 34 provinsi yang sepakat mengikuti aturan dalam SE dan menetapkan upah minimum provinsi 2021 sesuai dengan besaran saat 2020. Targetnya, pengumuman UMP itu akan disampaikan oleh gubernur tiap provinsi pada Sabtu (31/10/2020).
Keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan upah minimum tahun 2021 akan dibarengi perpanjangan beberapa program bantuan sosial. Penyaluran bantuan sosial tersebut untuk memperkecil dampak upah minimum yang tidak naik terhadap penurunan daya beli pekerja (Kompas, 29 Oktober 2020).
Baca juga : Upah Tidak Naik, Pekerja Tetap Terima Bansos
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah juga mempertimbangkan kondisi dunia usaha sehingga kenaikan upah minimum ditunda. Keputusan tidak menaikkan upah akan berdampak terhadap daya beli.
Pemerintah akan mengantisipasinya dengan memperpanjang beberapa program bansos tunai untuk mengompensasi potensi penurunan daya beli, terutama pada 60 persen masyarakat kelompok termiskin.
”Program itu, antara lain, Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, subsudi gaji untuk pekerja dengan gaji bersih di bawah Rp 5 juta per bulan, bantuan tunai produktif untuk UMKM, dan Kartu Prakerja,” ujarnya. (KARINA ISNA IRAWAN)