Memupus Sumbu Konflik di Keerom
Keerom termasuk daerah di Papua yang rawan konflik sosial. Pada pilkada tahun ini, masyarakat berharap munculnya pemimpin yang menyiapkan program pembangunan ekonomi yang membuka banyak lapangan pekerjaan.
Kabupaten Keerom bertetangga langsung dengan Kota Jayapura, kota terbesar di Papua sekaligus ibu kota provinsi tersebut. Namun, tingkat kemajuan antara kedua daerah itu sangatlah timpang. Keerom pun menanti sentuhan dingin pemimpin hasil Pilkada 2020 untuk mengubah itu semua.
Tepat 1 Oktober 2020, situasi keamanan di Kabupaten Keerom, Papua, bergejolak. Ratusan orang yang tidak lulus tes calon pegawai negeri sipil melampiaskan kekecewaan dengan membakar Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Kantor Badan Pemberdayaan Masyarakat Kampung.
Massa menyerang dan membakar kedua kantor di Distrik Arso, ibu kota Keerom. Beberapa jam setelah kejadian, polisi mengamankan kembali situasi di Keerom dengan mengerahkan sekitar 200 personel. Situasi keamanan di Arso baru kembali kondusif keesokan harinya. Polisi menangkap lima orang terkait pembakaran kedua kantor itu dan penutupan jalan Trans-Papua di Arso.
Di lokasi kejadian, Welem Sonbay, pegawai Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Keerom, menatap puing-puing kantornya itu dengan wajah muram. Tampak garis polisi berwarna kuning telah dipasang di area kantor yang terbakar.
Saat kejadian, Welem bersama tiga rekannya sedang mengikuti rapat secara daring dengan Kementerian Tenaga Kerja. Rapat pada sore itu membahas terkait relaksasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
Awalnya, Welem mengira aksi massa di depan kantornya itu hanyalah unjuk rasa biasa. Namun, tak disangka massa mulai melempari kantor dengan batu hingga membakarnya.
”Kami semua melarikan diri saat massa mulai melempari kantor dengan batu. Puji Tuhan kami semua berhasil selamat dalam peristiwa ini. Namun, arsip kantor selama 10 tahun hangus terbakar,” ungkap Welem.
Peristiwa itu bukanlah gangguan keamanan pertama di Keerom pada tahun ini. Pada Mei lalu, terjadi bentrokan antarwarga di Kampung Ifia-fia, Distrik Arso Barat, karena masalah batas wilayah. Dalam peristiwa itu, satu orang meninggal dan delapan orang terluka karena terkena panah serta benda tajam lainnya.
Unjuk rasa juga berulang kali terjadi di Keerom. Massa memblokade Kantor Bupati pada 21 Januari 2019 karena keterlambatan pelantikan Wakil Bupati Piter Gusbager. Pada 8 Juni 2020, sekitar 100 aparatur sipil negara juga melakukan hal serupa karena belum mendapatkan uang tunjangan kinerja selama dua triwulan.
Baca juga : Gangguan Keamanan di Keerom, Polisi Tangkap Lima Orang
Para pegawai dari lima puskesmas pun menggelar unjuk rasa dan menutup Kantor Dinas Kesehatan sebanyak empat kali selama September 2020 karena belum mendapatkan sejumlah insentif. Gejolak itu reda setelah Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Keerom Ronny Situmorang diberhentikan dari jabatannya pada 30 September.
Berbagai kejadian itu membuat Kepolisian Daerah Papua menetapkan Keerom sebagai satu dari lima daerah di Papua yang rawan gangguan keamanan saat pilkada. Terdapat 11 daerah di Provinsi Papua yang menggelar pilkada Desember nanti.
Kenapa Keerom begitu mudah bergejolak?
Sekretaris Dewan Adat Keerom Laurens Borotian mengungkapkan, penyebab utama seringnya terjadi konflik sosial di Keerom karena rasa tidak puas masyarakat asli terkait layanan publik, seperti kesehatan dan pendidikan. Selain itu, masyarakat juga mengeluhkan minimnya lapangan pekerjaan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Keerom sangat timpang dengan Kota Jayapura. Padahal, Keerom berbatasan langsung dengan ibu kota provinsi tersebut. IPM Keerom pada 2019 pada angka 66,59 dengan status sedang, sedangkan IPM Kota Jayapura mencapai 80,16 dengan status sangat tinggi.
Data IPM itu menunjukkan kesenjangan yang lebar antara Keerom dan Kota Jayapura dari indikator umur harapan hidup, rata-rata lama sekolah, harapan lama sekolah, dan pendapatan per kapita per tahun. Masih berdasarkan data BPS, persentase penduduk miskin di Keerom pada 2019 mencapai 16,83 persen. Angka tersebut tak berubah banyak sejak 2017.
”Pembangunan hanya terlihat di dua distrik atau kecamatan, yakni Arso dan Skanto. Lebih banyak tenaga kesehatan dan pendidikan di dua distrik ini. Seharusnya, pemda lebih meningkatkan pengawasan agar seluruh aparatur sipil negara tidak meninggalkan tempat tugas,” ungkap Laurens. Total terdapat 11 distrik di kabupaten seluas 9.365 kilometer persegi ini.
Baca juga : Polisi Temukan Ladang Ganja di Perbatasan Papua-PNG
Laurens memaparkan, Keerom memiliki potensi sekitar 5.000 hektar di setiap distrik untuk sektor peternakan dan pertanian. Namun, terkesan hanya transmigran yang lebih dominan mengelola kedua sektor tersebut.
Adapun masyarakat asli lebih banyak mengelola tanaman keras seperti cokelat. Ketika hama menyerang tanaman, warga tak bisa berbuat banyak. Bahkan, ada warga yang terjerumus berjualan ganja yang diselundupkan dari negara tetangga, Papua Niugini, untuk menyambung hidup. Negara itu berbatasan langsung dengan Keerom.
Dalam tiga bulan terakhir ini saja, pihak kepolisian bersama TNI juga Bea dan Cukai mengungkap lima kasus penyelundupan ganja dari Papua Niugini ke Jayapura melalui Keerom.
Laurens menilai, seharusnya ada pembinaan dari Pemkab Keerom bagi masyarakat asli sehingga dapat turut berpartisipasi dalam sektor pertanian dan peternakan. ”Masyarakat sangat kurang dalam budidaya padi, jagung, dan tanaman hortikultura seperti cabai dan tomat. Masyarakat juga masih minim dalam usaha beternak sapi walaupun memiliki lahan yang sangat luas,” papar Laurens.
Hal inilah yang menjadi tantangan utama para calon kepala daerah pada Pilkada Keerom 9 Desember nanti. Sebanyak tiga pasangan calon akan bertarung, yakni Muhammad Markum-Malensius Musui, Piter Gusbager-Wahfir Kosasih, dan Yusuf Wally-Hadi Susilo.
Muhammad Markum selaku bupati petahana menuturkan, pihaknya menyiapkan sejumlah program strategis yang fokus pada sejumlah aspek kehidupan masyarakat. Hal itu, antara lain, membebaskan biaya pendidikan; beasiswa bagi mahasiswa asli Keerom; penyediaan fasilitas kesehatan yang representatif di kampung; bantuan afirmatif bagi tokoh agama, perempuan, serta adat; dan pembangunan rumah komunitas adat terpencil.
”Semua program strategis kami sesuai visi meneguhkan jati diri masyarakat Keerom yang mandiri dan bersahaja sebagai beranda terdepan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” tutur Markum.
Sementara, Piter Gusbager, yang merupakan wakil bupati petahana, mengatakan, pihaknya telah menyiapkan sejumlah misi utama apabila terpilih sebagai bupati Keerom. Hal itu, antara lain, percepatan ekonomi berbasis potensi unggulan, meningkatkan moda transportasi dan infrastruktur dasar, memantapkan mutu sumber daya manusia dengan wajib belajar selama 12 tahun, dan pembangunan kawasan perbatasan serta kawasan khusus.
”Semua program yang dicanangkan dalam misi kami sesuai dengan visi membawa Keerom yang inovatif, mandiri, bangkit, dan berkelanjutan,” papar Piter.
Hingga tulisan ini diturunkan, pasangan Yusuf Wally-Hadi Susilo maupun tim suksesnya belum merespons saat dihubungi Kompas.
Siapa pun yang terpilih nanti, masyarakat Keerom tentu berharap sang pemimpin mampu mengangkat kesejahteraan mereka. Ini pula yang diharapkan dapat memupus semua sumbu konflik.